Budaya Pop

Pengalaman seorang Developer Game Main PS 4 bersama Ibunya

Mohammad Fahmi — Asumsi.co

featured image

Video game adalah sebuah bahasa. Layaknya bahasa Inggris, Indonesia, Jepang, atau bahasa nonkonvensional lain seperti musik dan matematika, video game punya kosa kata yang mungkin hanya dipahami orang-orang yang menggelutinya.

Hal ini saya sadari setelah membaca artikel dari developer game asal Belanda, Rami Ismail, serta video dari YouTuber Razbuten tentang pengalaman mereka mengenalkan video game kepada orang-orang spesial dalam hidup mereka. Keduanya menggunakan istilah video game sebagai bahasa saat membahas mengenai hal-hal standar seperti fungsi barang ataupun skema tombol yang umumnya terasa natural di tangan orang yang bisa main game, tapi sangat asing bagi non-gamer ataupun pemain kasual.

Saya pun jadi teringat, apakah ibu saya yang dulu sering menemani saya bermain game masih cukup fasih dalam berkomunikasi dengan video game? Saya putuskan untuk mencoba mengajaknya bermain PlayStation 4. Mengenalkannya lebih jauh ke bagaimana wujud dunia yang digeluti anaknya ini.

Saya berprofesi sebagai developer game sedangkan ibu saya berprofesi sebagai dosen komunikasi. Saya rutin main game di komputer atau konsol, sedangkan ibu saya cukup rutin main game di ponselnya.

Ibu saya pun setuju dengan ajakan saya. Maka saya siapkanlah PlayStation 4 di ruang keluarga. Game yang kami mainkan antara lain adalah Journey, Coffee Talk, Spelunky, dan Uncharted: Drake’s Fortune. Detail mengenai game yang dimainkan akan saya jelaskan juga di bawah.

Jujur, sebenarnya ada banyak game yang lebih cocok untuk saya kenalkan ke ibu saya. Sayangnya, saya cukup dibatasi dengan pilihan game yang telah saya install di PlayStation 4 saya. Seandainya pilihan saya lebih luas, kemungkinan besar saya akan mengganti Uncharted dengan The Last of Us, dan Spelunky dengan Fez atau Super Mario Odyssey.

Saya pun memasang sebuah aturan. Selama ibu saya bermain, saya tidak memberitahunya sama sekali soal kontrol di game kecuali kepepet. Saya pun tidak memberitahukan apa pun yang berhubungan dengan gameplay dari game yang dimainkan.

Tanpa panjang lebar lagi, mari bergabung dalam pengalaman saya dan ibu saya bermain game bersama!

Journey

Journey adalah sebuah game yang sangat unik. Di dalamnya, kamu berperan sebagai seorang pengembara tanpa nama dan tanpa latar belakang cerita jelas. Tanpa penjelasan apa-apa, kamu memulai perjalanan dengan karakter ini melalui gurun pasir, dasar laut, dan gurun salju.

Jika kamu beruntung, di tengah perjalanan kamu bisa bertemu seorang pengembara lain dan melanjutkan perjalanan bersamanya. Uniknya, pengembara lain tersebut adalah pemain yang juga tengah memainkan game ini di belahan dunia lain. Lebih uniknya lagi, kalian tidak akan bisa berkomunikasi secara verbal. Segala jenis komunikasi dilakukan dengan gerakan-gerakan terbatas.

Dengan fitur yang tidak umum tersebut, Journey menunjukkan bahwa terkadang cara berkomunikasi terbaik adalah dengan tidak berkomunikasi secara verbal sama sekali. Hal ini juga yang membuat Journey terasa seperti sebuah perjalanan spiritual yang hangat.

Sebagai sebuah game yang hampir tidak memiliki kata-kata sama sekali, Journey sukses menuntun ibu saya soal kontrol dan ke mana ia harus pergi. Satu hal yang menurut saya amat menarik, di tengah petualangannya di padang pasir, ibu saya memutuskan untuk belok ke salah satu tempat rahasia. Ketika ditanya alasannya, ia hanya menjawab “tempatnya keliatan bagus aja, makanya mama mampir.”

Setelah sampai ke checkpoint pertama dengan waktu yang cukup singkat, saya pun mengajaknya untuk mencoba game lain.

Coffee Talk

Game berikutnya tidak lain dan tidak bukan adalah game buatan saya. Coffee Talk adalah sebuah visual novel, game di mana kebanyakan aktivitas yang dilakukan pemain hanya membaca cerita. Bedanya dengan visual novel pada umumnya, percabangan cerita di Coffee Talk tidak ditentukan berdasarkan pilihan dialog, tapi dari minuman apa yang kamu sajikan ke pengunjung kafe tempat game berlangsung. Inti dari game ini terletak di pengalaman bersantai di kafe tengah malam, sambil mendengarkan curhatan karakter-karakter yang datang.

Ibu saya bermain game ini sebentar sebelum akhirnya berkata, “Iki baca tok kan?” Ia pun memutuskan untuk menyudahi sesi bermain Coffee Talk dengan komentar, “Mama kerja dengerin curhatan orang, kok di game disuruh dengerin curhatan orang lagi,. Ya setidaknya kau sudah menghasilkan karya yang bisa dibanggakan ya.”

Oke, Ma!

Spelunky

Spelunky adalah sebuah platformer yang menempatkan pemain sebagai penjelajah situs arkeologi layaknya Indiana Jones. Game indie ini sering disebut sebagai “restoran yang dikunjungi oleh para koki” karena banyaknya developer game yang menyukai Spelunky, terutama dari segi desain game (perkara aturan permainan dan detail lainnya, tidak ada hubungannya dengan desain grafis).

Begitu melihat visual Spelunky, ibu saya langsung merasa akrab karena tampilannya yang memang sangat terinspirasi game klasik di era 90-an. Ia pun lebih cepat memahami kontrol Spelunky karena menurutnya game ini mengingatkan dia kepada Super Mario World yang lebih dari dua puluh tahun silam sering ia mainkan bersama saya.

Ketika mulai, ia langsung memilih bermain sebagai karakter wanita, sesuatu yang menurut saya membuktikan betapa pentingnya representasi dalam game. Lucunya, meskipun bisa mengendalikan karakter dengan baik, ibu saya berhati-hati sekali dalam bermain sampai-sampai ia tidak berani lompat jauh atau mendekati monster yang berkeliaran.

Pada akhirnya, petualangan ibu saya di Spelunky tidak bertahan lama akibat bom yang ingin ia lemparkan ke musuh malah mengenai dirinya sendiri.

Tiga Game yang Ditolak

Setelah mengenalkan ibu saya kepada beberapa game indie, saya merasa sudah waktunya untuk mengenalkan ibu saya ke game AAA. Sebenarnya 15 menit pertama dari The Last of Us adalah game sempurna untuk ini. Sayangnya, saya hanya memiliki The Last of Us di PlayStation 3, bukan di konsol yang tengah kami mainkan.

Saya pun mencoba mengenalkannya pada Final Fantasy VII Remake, game reka ulang dari Final Fantasy VII yang dirilis pada 1997. Lucunya, belum sempat saya bicara apa-apa, ibu saya langsung bilang “Final Fantasy ini yang fantasi-fantasi sci-fi itu kan? Ga mau!”

Saya pun mengajaknya bermain Dishonored 2, game action first person tentang balas dendam yang tentunya langsung ia tolak mentah-mentah juga.

Terakhir saya coba ajak ibu saya bermain P.T., sebuah demo eksperimental untuk game horor Silent Hills yang digarap Hideo Kojima. Begitu mendengar kata horor, lagi-lagi ibu saya menolak. Akhirnya pilihan pun jatuh ke game AAA terakhir yang ada di konsol saya.

Uncharted Drake’s Fortune

Ya, untuk yang terakhir, saya mengajak ibu saya bermain game pertama seri Uncharted. Game shooter action penuh adegan sinematik ini tadinya saya pikir cukup menjadi pengganti The Last of Us, ternyata saya salah.

Di adegan pembuka, ibu saya berkomentar sambil menaruh DualShock 4, “Ini cuma nonton doang? Mana mainnya?” Begitu bagian gameplay tembak-tembakan dimulai, tidak butuh lama sampai ibu saya menyerah.

Agak sayang, memang, karena adegan pembuka Uncharted tidak menawarkan nilai emosional dengan akting hebat seperti The Last of Us. Mungkin sesi bermain The Last of Us kami perlu disimpan untuk di masa depan saja.

Setelah bermain keempat game tersebut, saya tidak ingin menghabiskan waktu ibu saya lebih lama lagi. Kami pun memutuskan untuk mengakhiri sesi ini. Tidak banyak yang diucapkan ibu saya soal game-game yang telah ia mainkan. Satu-satunya komentarnya, “Game yang mirip Super Mario tadi, mama suka, mungkin lain kali mau coba main, bisa cepet jago tuh harusnya mama.”

Tidak mengherankan, memang, mengingat Spelunky adalah satu-satunya game di daftar yang cocok dengan pemahaman umum orang-orang tentang video game.

Dengan pilihan terbatas dan proses pengenalan yang kurang maksimum, percobaan mengenalkan game modern ke ibu saya ini bisa dibilang gagal. Tapi saya berencana untuk mencoba mengajaknya bermain game modern lagi. Nanti, dengan proses pengenalan kendali yang lebih layak, dan pilihan game yang lebih banyak.

*Mohammad Fahmi adalah pengembang game independen asal Jakarta. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai jurnalis game. Ia dapat ditemukan di dunia maya di @fahmitsu.

Share: Pengalaman seorang Developer Game Main PS 4 bersama Ibunya