Isu Terkini

Penangkapan Robertus Robet dan Ancaman Serius Kebebasan Berekspresi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Aktivis sekaligus Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet ditetapkan polisi sebagai tersangka dalam kasus ujaran kebencian, Kamis, 7 Maret 2019. Robet diduga melakukan penghinaan terhadap TNI ketika memelesetkan mars ABRI saat Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Kamis, 28 Februari 2019 lalu. Penangkapan Robet dianggap sebagai ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.

Video orasi Robet pada Aksi Kamisan di Istana Negara pekan lalu itu ternyata menuai kontroversi dan kritik di media sosial. Nyanyian Robet di video tersebut dinilai menghina TNI. Alhasil, ia pun akhirnya ditangkap.

Robet diduga melanggar Pasal 45 A ayat (2) jo 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP terkait tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan/atau berita bohong (hoax), dan/atau penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.

Robet Diduga Hina TNI

“Pada hari Kamis, 7 Maret 2019, pukul 00:30 WIB, telah dilakukan penangkapan terhadap pelaku dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia,” kata Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis, 7 Maret 2019.

Penangkapan Robet sendiri diduga lantaran mengkritik TNI. Tim pendamping hukum aktivis Robertus Robet, Nurkholis Hidayat menuturkan, Robet ditetapkan sebagai tersangka karena orasinya saat aksi Kamisan pada Kamis pekan lalu, 28 Februari 2019. Orasi Robet diduga mengandung ujaran kebencian.

Sebelum ditangkap, Robet bercerita bahwa rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat, itu sempat didatangi dua orang yang mengaku tentara pada Rabu, 6 Maret 2019 malam. “Pembantu saya bilang dua orang yang mengaku aparat militer datang mencari saya pukul tiga sore,” kata Robertus Robet.

Seperti diketahui, Robet sendiri merupakan seorang dosen Program Studi Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Robet juga pernah mengenyam pendidikan S3 Filsafat Sosial Politik Driyakara pada 2008. Robet juga tercatat sebagai lulusan S2 University Birmingham dan S1 Sosiologi UI.

Penangkapan Robet Dianggap Ancaman Kebebasan

Dalam rilis yang diterima langsung Asumsi.co dari Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, Kamis, 7 Maret 2019, kasus penangkapan Robertus Robet dianggap merupakan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi. Bahkan, ada upaya kriminalisasi terhadap Robet yang bisa menimbulkan ketakutan di masyarakat.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bersama LBP Pers memiliki catatan atas penetapan tersangka dan upaya paksa yang dilakukan kepolisian terhadap Robertus Robet. Yang pertama, kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2). Selanjutnya dalam Pasal 28 E ayat (3) secara eksplisit menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat.

Pasal 22 ayat (3) UU Undang-Undang (UU) No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekpresi tersebut yang secara internasional juga dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12 tahun 2005. Apa yang dilakukan Robertus Robet telah secara tegas didukung oleh Konstitusi, pengekangan terhadap hak itu adalah pelanggaran hukum serius serta mencederai amanat konstitusi.”

Lalu yang kedua, penjeratan dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait Ujaran Kebencian sangatlah tidak masuk akal karena yang mendasar adalah Robet melakukannya tidak melalui sistem elektronik namun secara offline. Kedua,  secara subtansi pasal rumusan Pasal 28 ayat 2 UU ITE tersebut memiliki kesamaan norma dengan rumusan dalam KUHP khususnya tentang tindak pidana ujaran kebencian sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 KUHP.

Keduanya memiliki syarat kuat bahwa perbuatan ujaran kebencian itu harus bersifat propaganda dan penghasutan bukan sekedar “penghinaan” atau “tuduhan”. Yang lebih fatal adalah karena baik UU ITE dan KUHP mendasari pidana ini kepada perbuatan berbasis SARA dan atau golongan dalam masyarakat, pejabat pemerintah ataupun lembaga negara tidak masuk dalam kategori ini. Pemaksaan penggunaan pasal ini adalah upaya kriminalisasi pada Robertus Robet.

Ketiga, penjeratan menggunakan Pasal berita bohong atau Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 tentang pidana menyiarkan berita dan pemberitaan bohong mempidana perbuatan dengan 3 unsur penting, yaitu pertama, harus ada berita dan pemberitaan dimana ujaran itu harus memiliki informasi di dalamnya, kedua, ada unsur keonaran di masyarakat dan ketiga, patut menduga bahwa berita dan atau pemberitaan itu bohong.

Menurut ICJR dan LBH Pers, dalam konteks ini, refleksi dari akademisi Robet tersebut sangat tidak pas dikategorikan menyebabkan keonaran, karena isu Dwifungsi TNI tersebutlah yang menjadi penyebab keonaran di masyarakat dengan dibuktikan pada banyaknya penolakan rencana diaktifkannya kembali Dwifungsi TNI. Lebih lanjut, ujaran Robertus Robet dinilai tak memiliki nilai informasi, karena apa yang ia sebutkan telah lama digunakan dalam pergerakan mahasiswa sehingga tidak lagi relevan menyebutkan apakah nyanyian itu berita bohong atau tidak.

Dan poin keempat, penjeratan menggunakan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia juga sangat tidak tepat. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa. Dengan demikian semestinya jika lembaga kepolisian ataupun TNI yang merasa terhina, seharusnya yang berhak melakukan pengaduan adalah Kapolri atau Panglima TNI sebagai pejabat struktural yang dimandatkan untuk memimpin lembaga tersebut.

Sementara poin terakhir, ICJR dan LBH Pers melihat tindakan intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh kepolisian seperti yang diterapkan kepada Robertus Robet tanpa mengikuti prosedur yang diterapkan dalam KUHAP merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Tindakan tersebut jelas ditujukan untuk menimbulkan iklim ketakutan kebebasan berekspresi di tengah tengah masyarakat.

Maka dari itu pihak ICJR dan LBH Pers memiliki tiga poin desakan kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia. Pertama, Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk mengikuti aturan perundang-undangan dan memperhatikan hak asasi manusia terkait kebebasan berekspresi, kedua mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menghentikan kasus saudara Robertus Robet karena telah melanggar hak asasi manusia dan justru mengancam kehidupan berdemokrasi.

Sementara poin terakhir adalah meminta Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk mengevaluasi kinerja penyidik yang telah melakukan proses hukum terhadap Robertus Robet sebagai bentuk keseriusan menjaga amanat Konstitusi, Reformasi dan Demokrasi.

Share: Penangkapan Robertus Robet dan Ancaman Serius Kebebasan Berekspresi