Isu Terkini

Penangkapan Mahasiswa Papua dan Keadilan yang Tak Kunjung Datang

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Jalan Kalasan, di Surabaya, Jawa Timur sempat mencekam tatkala Asrama Mahasiswa Papua dikepung pihak kepolisian sejak Minggu, 2 Desember 2018 sore hingga malam kemarin. Para mahasiswa yang berada di asrama tersebut diminta keluar. Ada puluhan personel Brimob memadati depan asrama dengan peralatan lengkap. Petugas linmas, satpol PP, sampai organisasi Pemuda Pancasila juga ikut mendesak para mahasiwa untuk pergi meninggalkan lokasi.

Kapolrestabes Surabaya Kombes Rudi Setiawan pun ikut turun tangan dengan memegang pengeras suara dan meminta sebagian penghuni untuk keluar, kecuali penghuni asli asrama. Di depan asrama bahkan telah disediakan dua bus untuk mengangkut tamu asrama tersebut.

“Ini demi keamanan dan kondusifitas Surabaya,” kata Rudi Setiawan.

Atas permintaan polisi yang katanya mengatasnamakan keamanan dan kondusifitas, satu demi satu tamu asrama Papua keluar dan pergi meninggalkan Jalan Kalasan. Ada 50 orang yang dipulangkan ke Malang menggunakan bus dari Terminal Bungurasi, 50 orang ke sejumlah daerah di Jawa Timur, dan 80 orang yang memang tinggal di Surabaya, hingga tersisa 13 orang penghuni asrama.

Sikap Represif Ormas Terhadap Mahasiswa Papua

Sekretaris Pemuda Pancasila Surabaya Baso Juherman mengatakan pengepungan asrama itu memang terjadi karena pihaknya telah mengawasi gerak-gerik warga asal tersebut Papua sejak Sabtu, 1 Desember 2018. “Kemarin (Sabtu), mereka menggelar aksi peringatan Papua Merdeka. Kami tidak ingin ada aksi separatisme di Surabaya. Kami ingin Surabaya kondusif,” kata Juherman.

Ya, memang sekitar 200 mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi demo menuntut hak penentuan nasib rakyat Papua di Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu, 1 Desember 2018 pagi. Tak hanya di Surabaya, aksi damai juga dilakukan di berbagai daerah oleh mahasiswa dan pemuda asli Papua. Aksi ini diadakan untuk memperingati hari kemerdekaan dari Belanda pada 1 Desember.

Para peserta aksi damai di berbagai daerah itu sayangnya mendapatkan sikap yang respresif oleh gabungan organisasi masyarakat. Data yang dihimpun The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), setidaknya ada 539 demonstran yang akhirnya ditangkap oleh kepolisian. Jumlah mereka yang ditangkap: 18 orang di Kupang, 99 orang di Ternate, 43 orang di Ambon, 27 orang di Manado, 24 orang di Makassar, dan 233 orang di Surabaya, sedangkan di Papua sendiri ada 95 orang yang ditangkap padahal aksi masih baru sekedar rencana.

Advokat HAM dari Civil Liberty Defenders Veronica Koman mengungkapkan bahwa rentetan kekerasan dan represivitas aparat Indonesia terjadi karena budaya rasisme pada orang asli Papua. Budaya ini masih ada dan belum hilang hingga sekarang. Semua itu terbukti ketika sejumlah Ormas yang menyerang massa aksi mahasiswa Papua di Surabaya, hingga mengakibatkan tiga anggota AMP yang kepalanya bocor, dan 16 anggota lainnya luka-luka.

Keadilan yang Tak Kunjung Sampai di Papua

Di depan Gedung RRI Surabaya di Jalan Pemuda, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan orasi menuntut penentuan nasib sendiri. “Kami memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua sebagai solusi demokratis,” kata Dorlince Iyouwauw selaku perwakilan AMP.

Dorlince juga menyebut, pihaknya menuntut bangsa Indonesia dan Amerika Serikat bertanggung jawab atas tindakan penindasan yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Papua Barat. Yel-yel Papua Merdeka dipekikkan oleh massa AMP di sela-sela orasi.

Aksi ini dilakukan bertepatan dengan peringatan 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan Papua Barat atas Belanda. Tanggal 1 Desember itu menjadi satu momen penting dalam perjuangan Papua yang terus diperingati setiap tahunnya. Di mana saat itu menjadi kali pertama Parlemen Papua Barat, di bawah administrasi Belanda, mengibarkan bendera Bintang Kejora, sebagai simbol pengakuan status berdirinya negara Papua Barat.

Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua Barat kepada UNTEA pada 1 Oktober 1962. UNTEA adalah mekanisme internasional yang melibatkan PBB untuk menyiapkan satu jajak pendapat apakah rakyat Papua memilih memisahkan diri atau integrasi dengan Indonesia.

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) melalui jajak pendapat ini menghasilkan keputusan rakyat Papua terintegrasi dengan Indonesia. Maka sejak saat itu, administrasi Papua dikendalikan oleh pemerintah Indonesia, namun sejak itu pula pengibaran bendera Bintang Kejora dinilai sebagai tindakan makar, dan berujung pada tindakan kekerasan dan penangkapan seperti yang terjadi kemarin.

Share: Penangkapan Mahasiswa Papua dan Keadilan yang Tak Kunjung Datang