Isu Terkini

Pelajaran Kemanusiaan dari Penembakan di Christchurch

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Tragedi penembakan massal yang terjadi saat ibadah salat Jumat di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, Jumat, 15 Maret 2019, menyisakan duka mendalam. Terdapat total 50 nyawa melayang, satu di antaranya orang Indonesia, dan puluhan luka-luka akibat aksi brutal tersebut. Namun, selalu ada hikmah dan pelajaran berharga dari peristiwa memilukan tersebut.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengutuk keras aksi brutal tersebut dan bersumpah tidak akan menyebut nama teroris penembakan di Christchurch. Pernyataan itu merupakan bagian dari pidato panjang pertamanya di hadapan parlemen sejak aksi teror di Christchurch, Jumat pekan lalu. Jacinda Ardern berbicara di hadapan parlemen Selandia Baru pada Selasa, 19 Maret 2019.

Baca Juga: Penembakan di Selandia Baru dan Aturan Kepemilikan Senjata Api yang Ingin Diperketat

“Dia mencari banyak hal dari aksi terornya, tetapi ada satu aksinya yang terkenal, dan itulah sebabnya Anda tidak akan pernah mendengar saya menyebut namanya,” kata Jacinda Ardern yang mengenakan kerudung berwarna hitam emas, seperti dikutip dari Sky News, Rabu, 20 Maret 2019.

“Kami di Selandia Baru tidak akan memberinya apa pun, bahkan tidak akan menyebut namanya. Dia adalah seorang teroris, dia adalah seorang penjahat, dia adalah seorang ekstremis. Tetapi selama saya berbicara, dia tidak akan disebutkan namanya.”

Jacinda Ardern, masyarakat Selandia Baru, serta masyarakat di seluruh penjuru dunia mengecam keras aksi penembakan massal tersebut. Tragedi kemanusiaan ini memang meninggalkan cerita pilu, namun satu hal penting yang harus dijalankan adalah segera bangkit dari keterpurukan.

Tumbuhnya Solidaritas Umat Manusia dari Penjuru Dunia

Peristiwa memilukan di Christchruch pekan lalu ternyata menjadi pelajaran penting dan berharga bagi umat manusia di seantero dunia. Tentu tragedi itu juga bisa mengubah persepsi Barat yang keliru menganggap Islam sebagai ajaran serta paham yang menakutkan hingga melegalkan kekerasan. Justru sebaliknya, Islam merupakan agama yang cinta damai dan penuh kasih sayang.

Tragedi itu membuat solidaritas umat manusia tumbuh dengan sendirinya. Sentimen toleransi juga semakin menguat di dunia barat, seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan sebagainya. Bahkan nuansa kedamaian, saling menghormati perbedaan, bersimpati, dan empati, begitu terasa sampai hari ini.

Bahkan, ada pemandangan menenangkan ketika warga di Selandia Baru terlihat berjaga-jaga di bagian pintu masuk masjid ketika warga muslim sedang melaksanakan sholat. Bahkan dalam sebuah video yang viral beberapa hari terakhir, sejumlah warga juga tampak berjaga hingga di bagian dalam masjid. Mereka duduk di ruangan salat masjid untuk memastikan saudara muslimnya bisa beribadah dengan khusyu, aman dan tenang sampai selesai.

Tak hanya itu saja, pemandangan lain yang juga terjadi belakangan di Selandia Baru adalah beberapa wanita juga memakai penutup kepala sebagai tanda penghormatan terhadap masjid yang dijaganya. Tindakan warga Selandia Baru itu tentu jadi contoh karena merupakan bentuk simpati dan solidaritas kemanusiaan dengan sesama.

Merasakan Beratnya Jadi Minoritas

Di belahan bumi mana pun, menjadi minoritas memang selalu berat dan banyak rintangan. Selalu merasa terancam, dilanda kekhawatiran,diliputi ketakutan terhadap mayoritas yang sebagian besar kerap bertindak semaunya dan sering melegalkan kekerasan. Namun, peristiwa di Selandia Baru seperti mengajarkan kita untuk merasakan menjadi minoritas.

Apa yang dirasakan? Tentu tak mudah menjadi minoritas, apapun bentuknya. Baik minoritas agama, suku dan budaya. Sekali lagi, minoritas kerap menjadi sasaran tindakan diskriminatif, kekerasan verbal dan fisik, dicurigai hingga sering mendapatkan ketidakadilan.

Setidaknya peristiwa berdarah di Selandia Baru bisa menjadi pelajaran penting, terutama bagi masyarakat Indonesia. Bahwa pentingnya untuk menata ulang persepsi dan pandangan dalam hidup bermasyarakat. Merasakan sebentar menjadi minoritas akan sedikit memberikan gambaran betapa terjalnya hidup saudara kita yang kerap dipersekusi karena status minoritasnya.

Masyarakat perlu berpikir dan belajar menempatkan diri bagaimana menjadi minoritas, bagaimana rasanya hidup sebagai kelompok kecil dalam tatanan sosial masyarakat yang lebih luas. Hal itu semata-mata agar masyarakat tak merasa superior terhadap masyarakat lain sehingga selalu merasa berhak melakukan apa saja termasuk menggunakan kekerasan dan kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Setelah merasakan menjadi minoritas, coba lah masuk ke hal-hal konkret yakni menghormati dan menghargai saudara sebangsa dan setanah air yang statusnya minoritas, terutama di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat akan selalu dipenuhi suasana saling menghormati, damai dan kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat.

Ternyata Masih Ada Manusia Berhati Emas dengan Memaafkan

Kekerasan tak perlu dibalas kekerasan. Apalagi kekerasan bukanlah solusi karena masih ada jalan yang lebih layak ditempuh dalam menyelesaikan masalah yakni perdamaian. Semua agama mengajarkan perdamaian, bukan permusuhan dan itu mutlak. Tidak ada satu agama pun yang membenarkan cara-cara kekerasan

Farid Ahmed salah satu orang yang kehilangan istrinya, Husna, dalam peristiwa berdarah di Selandia Baru. Istri Farid Ahmed menjadi salah satu korban meninggal dalam insiden penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, pada Jumat, 15 Maret 2019 lalu.

Tentu tak mudah bagi Ahmed menerima kenyataan pahit itu. Namun, ternyata ia masih memiliki hati emas. Ahmed tak ingin perasaan yang berkecamuk di hatinya meruntuhkan mentalnya, apalagi ia mengetahui bahwa Husna meninggal setelah menyelamatkan sekelompok muslimah dan anak-anak keluar dari masjid.

Bahkan, Ahmed menerima dengan iklhlas dan mengaku telah memaafkan pelaku penembakan brutal di Masjid Al Noor tersebut. “Saya ditanya, ‘bagaimana perasaanmu tentang orang yang membunuh istrimu?’, dan saya berkata, ‘saya mencintai orang itu karena dia adalah manusia, saudara lelaki saya’,” katanya kepada New Zealand Herald, Senin, 18 Maret 2019.

Ahmed mengatakan ia tidak mendukung, apalagi membenarkan apa yang telah diperbuat sang pelaku teror. “Dia salah. Tapi mungkin dia terluka, mungkin sesuatu terjadi padanya dalam hidupnya, tapi intinya adalah, dia adalah saudara lelaki saya,” ujarnya.

Bahkan, Ahmed mengatakan tak menaruh dendam mendalam kepada sang pelaku. “Saya telah memaafkannya dan saya yakin jika istri saya masih hidup, dia akan melakukan hal yang sama,” ucapnya

Bila ada kesempatan, Ahmed pun ingin bertemu dengan ibu dari sang pelaku. Ahmed akan memeluknya dan memanggilnya “bibi”. Hal itu pun akan dilakukannya bila bertemu dengan saudara perempuan sang pelaku. “Saya akan memeluknya dan berkata ‘kamu tidak berbeda dari saudara perempuanku’.”

Menurut Ahmed beberapa orang mungkin akan menganggapnya gila saat melakukan hal tersebut. “Tapi saya berbicara dari hati, saya tidak berpura-pura, jika saya mendapat kesempatan (bertemu ibu atau saudara perempuannya), saya akan memeluknya.”

Ahmed berharap sang pelaku pun bisa memiliki sikap yang sama dengannya. Setelah insiden buruk itu, Ahmed berharap Tarrant dapat bercermin dan mengubah hidupnya. “Anda masih hidup, Anda punya kesempatan.”

Ahmed menilai, setiap manusia memang memiliki dua sisi, kejahatan dan kemanusiaan. Alih-alih membenci dan membunuh, ia mendambakan jika sang pelaku mampu mengeluarkan sisi kemanusiannya. “Jika saya bisa mengubah satu orang dari kekejamanan menjadi kebaikan, saya akan merasa terhormat.”

Share: Pelajaran Kemanusiaan dari Penembakan di Christchurch