Isu Terkini

Nilai Rupiah Naik-Turun, Kok Bisa? (Part I)

Zaid Naqy Robbani — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Minggu pertama bulan September kemarin, rasanya menjadi periode yang cukup melelahkan bagi nilai tukar Rupiah (IDR) relatif terhadap Dollar Amerika Serikat (USD) akibat “guncangan” yang cukup parah. Pada minggu pertama bulan Oktober ini, Rupiah pun kembali mengalami “masa kritis” dan bisa dibilang menjadi pekan terpuruk bagi nilai tukar Rupiah sejak 1998. Bahkan sampai  hari ini (9/10), nilai tukar Rupiah masih berada di atas Rp 15.000,00, Rp 15.229,00. Banyak orang beranggapan bahwa ini adalah bentuk kebobrokan kinerja pemerintah sekarang dalam bidang ekonomi. Padahal depresiasi (penurunan nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing) Rupiah terhadap USD belakangan ini tak lepas dari faktor eksternal, di luar beberapa faktor internalnya. Tapi kalua kita lihat pelemahan kurs Rupiah belakangan ini, sebenarnya mayoritas penyebabnya datang dari faktor eksternal pada saat yang hampir bersamaan.

Apalagi suatu nilai tukar mata uang (exchange rate) yang tidak memiliki fixed exchange rate, sederhananya, ditentukan hanya dari permintaan (demand) dan penawaran (supply) terhadap suatu mata uang asing. Maka, jika lebih banyak orang yang mau menukarkan USD-nya dengan Rupiah, dibandingkan dengan mereka yang ingin menukarkan Rupiah-nya dengan USD, maka permintaan mata uang Rupiah menjadi lebih besar daripada penawarannya di pasar mata uang. Hal ini menyebabkan nilai tukar Rupiah terhadap USD menguat.

Namun kita juga harus ingat kalua exchange rate suatu mata uang sangatlah fleksibel atau floating. Ini terkait banyaknya variabel eksternal dan internal, seperti yang sudah disebutkan di atas.Variabel-variabel tersebut lah yang dapat merubah permintaan atau penawaran suatu mata uang.

Lalu, apa sajakah faktor eksternal maupun internal yang menyebabkan depresiasi Rupiah belakangan ini?

Baca juga: Di Balik Kisruh Menguatnya Dolar terhadap Rupiah

Faktor Eksternal

Pada masa perdagangan internasional yang terjadi sekarang ini, suatu pergolakan ekonomi atau regulasi perdagangan baru dari suatu negara dengan ekonomi yang kuat dapat mempengaruhi arus perdagangan global. Hal itulah yang terjadi saat ini karena ada beberapa “massive events” dalam jendela perekonomian global yang terjadi dalam waktu berdekatan. Hal-hal tersebut lah yang berperan dominan sebagai penyebab kemerosotan Rupiah kemarin. Adapun beberapa kejadian masif yang ikut andil besar sebagai faktor eksternal dalam pelemahan Rupiah adalah sebagai berikut:

“Trump’s Trade Wars”

Perang dagang merupakan suatu situasi di mana negara A memberlakukan tarif (pajak masuk) terhadap produk-produk impor dari negara B. Sebaliknya, negara B pun akan memberlakukan retaliatory tariff atau tarif balasan untuk barang-barang impor dari A. Regulasi bernama Trade Wars ini, menurut para ahli, biasanya akan menstimulasi perekonomian nasional dalam jangka pendek. Namun bisa berakibat buruk dalam jangka panjang. Lebih parah lagi, trade wars bisa membawa efek secara global karena mengganggu supply chain dari komoditas yang memang dicari banyak negara.

Kebijakan ini lah yang sedang diberlakukan Amerika Serikat (AS) di era Presiden Trump. Peraturan ini juga dinilai sangat “agresif”. Dalam hal ini, Trump memberlakukan tarif terhadap barang-barang impor dari China, EU, dan negara lainnya. Akibatnya, pergolakan ekonomi secara domestik dan global terjadi.

Bedanya, pergolakan ekonomi nasional di AS bersifat positif dan dapat menjadi faktor stimulus bagi pendapatan negara. Sedangkan secara global, perang dagang AS dan negara lain berakibat buruk karena menyebabkan efek tidak langsung yaitu meningkatnya harga komoditas internasional. Harga barang-barang impor makin naik karena terganggunya supply chain yang disebabkan meningkatnya harga bahan-bahan dasar produksi. Misalnya saja harga barang elektronik dan juga beberapa komoditas lainnya.

Tak berhenti sampai di situ, Trump juga menyerukan himbauan bagi para perusahaan AS untuk memindahkan proses produksi mereka dari Tiongkok ke AS. Efek yang bisa dirasakan adalah makin mahalnya biaya produksi.

Pertumbuhan Ekonomi AS dan Peningkatan Suku Bunga Acuan The Federal Reserve System

Regulasi ini ternyata mebawa pujian bagi Trump karena peningkatan ekonomi nasional AS pada awal 2018. Oleh karenanya, bulan Maret dan Juni lalu, The Federal Reserve System atau The Fed (Bank Sentral AS) menaikan Federal Funds Rate (FFR) atau suku bunga acuan. Jika diakumulasikan, nilai tersebut naik sebesar 50 basis poin. Sebagai buktinya, kuartal-II 2018 ini ekonomi Amerika Serikat sedang mengalami pertumbuhan di angka 4,2%. Angka ini merupakan angka terbaik sejak triwulan-III 2014. Sebabnya, angka penggangguran AS (pada bulan Agustus) berada dititik terrendah sejak krisis 2009, yaitu 3,9%.

Upah per jam pun jadi meningkat sebesar 2,9% dan diimbangi dengan naiknya laju inflasi pada angka yang sama. Data-data tersebut dikeluarkan oleh Kementrian Tenaga Kerja AS pada 7 September lalu dan menjadi acuan bagi The Fed untuk mengambil kebijakan pada Federal Open Market Committee (FOMC) yang dilaksanakan pada 25-29 September kemarin. “Pemanasan” ekonomi AS itulah yang membuat The Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) lagi sebesar 25 basis poin pada (27/9) sebagai upaya untuk mengimbanginya.

Meningkatnya perekonomian AS dan ditingkatkannya FFR juga membuat investasi di AS menjadi lebih menarik. Ketika suku bunga acuan meningkat, investor akan lebih tertarik untuk berinvestasi di pasar AS. Dengan begitu, pendapatan imbal jasa yang diraih lewat bunga investasi akan semakin besar juga. Sehingga para investor mengalihkan investasinya (capital outflow—penarikan investasi dari suatu negara) dari emerging markets ke AS. Hal ini juga membuat makin sedikitnya demand Rupiah.

“Emerging Market Crisis”

Massive event selanjutnya adalah krisis yang menimpa beberapa negara berkembang, seperti Turki dan Argentina, yang menjadi emerging market bagi investor. Saya tidak akan membahas kenapa negara-negara ini berada dalam krisis ekonomi, tetapi kenapa krisis di negara lain dapat mempengaruhi kondisi perekonomian kita.

Jika kita, sebagai investor, melihat krisis ekonomi pada negara-negara emerging market tersebut, pastinya kita akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal. Hal tersebut juga bisa terjadi terhadap Indonesia yang juga menjadi salah satu emerging market. Para investor akan berpikir ulang untuk menanamkan saham, berinvestasi langsung, ataupun membeli obligasi. Salah satu pertimbangannya adalah, bisa jadi Indonesia akan mengalami krisis yang sama dengan Turki atau Argentina.

Seperti sudah kita bahas pada poin sebelumnya bahwa sekarang ini, melakukan investasi di AS terlihat lebih menarik. Krisis di negara lain dapat dikatakan sebagai faktor pendorong investor untuk melakukan capital outflow dari pasar Indonesia. Adapun insentif lebih untuk melakukan investasi di Amerika dapat dilihat sebagai faktor penariknya…(Part II)

Zaid Naqy Robbani adalah mahasiswa FEBUI.

Share: Nilai Rupiah Naik-Turun, Kok Bisa? (Part I)