Isu Terkini

Rumoh Geudong: Saksi Bisu Pembantaian DOM yang Kini Jadi Tugu Peringatan

Habil Razali — Asumsi.co

featured image

Sekitar pukul 12 malam, Minggu penghujung tahun 1997, Rasyidah diangkut dari rumahnya di Desa Cot Murong, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh oleh tentara.

Bersama ibu dan kakak kandungnya, dia dibawa ke sebuah desa sejauh 20 kilometer dari rumahnya. Tujuannya Rumoh Geudong di Desa Bilie Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie.

Di era Daerah Operasi Militer (DOM), Rumoh Geudong menjadi kamp konsentrasi militer sekaligus pos sattis (untuk pengawasan masyarakat) bagi pasukan Kopassus.

Setelah pencabutan DOM pada 7 Agustus 1998, terungkap fakta bahwa tentara juga menjadikan Rumoh Geudong sebagai pos untuk melakukan tindakan di luar perikemanusiaan seperti penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat Aceh atau yang diduga sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Malam itu, setiba di Rumoh Geudong, Rasyidah dan ibunya, serta kakaknya ditempatkan di tiga kamar terpisah. Mereka diperiksa satu per satu. Pertama sekali diperiksa Nyak Maneh, ibu Rasyidah. “Nyak Maneh turun,” kata tentara.

Setelah ibunya diturunkan, Rasyidah tidak tahu bagaimana pemeriksaan yang dialami oleh ibunya. Hingga tiba giliran Rasyidah diperiksa. Tanpa ditanya, tentara menyetrum tubuhnya yang kurus, kemudian disuruh ngangkang dan ditelanjangkan. Hingga Rasyidah turut mengalami pemerkosaan.

Setelah itu Rasyidah diboyong ke kamar yang penuh dengan mayat. Sepekan kemudian, dia diperiksa lagi. “Kemudian kedua puting payudara saya dipotong,” kisah Rasyidah kepada Asumsi, Kamis 12 Juli.

“Ibu saya disiksa berat sekali, digantung kepala ke bawah. Saat ibu saya disiksa, saya selalu melihat.”

Masyarakat mengadakan doa dan zikir bersama di area bekas bangunan Rumoh Geudong, Pidie, Aceh (Sumber foto: Asumsi/Habil Razali)

Selama berada di Rumoh Geudong, selain penyiksaan Rasyidah pernah diberikan daging ular sebagai makanan. Tentara saat pulang operasi membawa pulang daging ular yang telah dibuang kulitnya. Daging itu disuruh masak sama Rasyidah.

“Saya ikut masak, daging ular itu saya tumis, dibilang: enakkan Rasyidah makan ular? Baru saya tahu bahwa itu daging ular,” kata dia.

Malam ketiga hari raya Iduladha saat itu, Rasyidah dipertemukan dengan ibunya Nyak Maneh di kamar atas Rumoh Geudong. Pertemuan itu berlangsung singkat, tentara malah menyuruh Rasyidah untuk keluar dari rumah. Dia diperintahkan untuk mencuci di sumur depan rumah.

“Saya kemudian turun pergi ke sumur depan. Di sumur, saya pegang dinding sumur, kemudian saya bilang untuk apa saya diturunkan, ini pasti ada sesuatu dengan ibu,” kata Rasyidah.

Rasyidah merasakan firasatnya yang kurang baik, dia akhirnya memiliki kembali naik ke atas rumah. Dia naik ke rumah melalui tangga samping. Saat bersamaan, ibunya turun melalui tangga depan.

“Mak sempat bilang kepada saya, Mak tidak ada lagi hari ini. Saya sempat ingin memeluknya, tapi saya dilarang dan diboyong ke atas. Kemudian dibilang apa kamu enggak perlu bebas,” kata dia.

Sejak diturunkan malam lebaran itu, Rasyidah hingga kini tidak tahu lagi keberadaan ibunya. “Saya mendengar Mak teriak lailahaillallah, innalillahi wa innailaihi rajiun, tiga kali. Saya teriak tidak ada lagi Mak saya. Saat saya mencoba melihat keluar, ada tentara yang memukul saya di dalam rumah,” ceritanya.

Hingga sekarang, Rasyidah tidak pernah tau lagi keberadaan ibunya. Sedangkan kakaknya duluan dibawa pulang lebih dulu. Ibunya mendapat penyiksaan paling parah. “Ibu saya disiksa berat sekali, digantung kepala ke bawah. Saya sering bermimpi bahwa ibu saya berada di belakang Rumoh Geudong.”

Rasyidah ditahan di Rumoh Geudong selama tujuh bulan. Pertengahan tahun 1998, dia dibebaskan. Hingga kini, dia tidak pernah tau alasan mengapa sekeluarganya dibawa ke sana. “Waktu diambil disebut bijeh (keturunan) PKI, tidak pernah disebut GAM. Kami memang tidak terlibat GAM.”

Selama di Rumoh Geudong, Rasyidah turut melihat beragam penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepada korban lainnya. Dia menyebut, para korban sebelum meninggal disuruh gali kubur terlebih dulu untuk dirinya sendiri, kemudian baru ditembak mati. Sedangkan di dalam sumur tempat ditimbun orang hidup-hidup.

Tugu Peringatan Rumoh Geudong di Pidie, Aceh. Sumber foto: Asumsi/Habil Razali

Dulu tempat penyiksaan, kini jadi peringatan

Kamis 12 Juli, Rasyidah bersama ratusan penyintas Rumoh Geudong lainnya berkumpul di tanah tempat bekas pijakan Rumoh Geudong untuk menghadiri peresmian tugu peringatan Rumoh Geudong tempat mereka disiksa 20 tahun lalu. Rumah berbentuk khas Aceh itu dibakar saat DOM mulai dicabut, namun masih banyak kerangka bangunan yang tersisa. Di sana, mereka menggelar doa dan zikir bersama. Selain itu, sebuah tugu didirikan untuk mengenang peristiwa kelam tersebut.

Pembangunan tugu diinisiasi oleh PASKA Aceh, sebuah lembaga yang intens memberikan pendampingan kepada korban konflik Aceh.

“Sampai hari ini tidak ada  persis berapa jumlah korban Rumoh Geudong. Korban banyak yang meninggal, korban yang masih hidup pun satu per satu meninggal karena sakit,” kata Direktur PASKA Aceh Farida Haryani.

“Kita mendampingi mereka, sehingga mereka mengetahui kebenaran, dan bisa mengadvokasi diri,” kata Farida. Selain itu, PASKA juga memberikan pemberdayaan ekonomi kepada korban konflik.

“Agar mereka bisa mandiri, itu butuh proses yang sangat panjang.”

Bupati Pidie Roni Ahmad mengatakan pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas kejadian tanpa perikemanusiaan yang telah terjadi di masa lalu.

“Bagi kita Aceh, menyangkut persoalan harta benda sudah bisa diamaafkan, namun trauma yang tidak bisa kita lupakan,” kata bupati yang juga mantan kombatan GAM.

Tim Pencari Fakta Komnas HAM yang dipimpin Otto Nur Abdullah pada 2013 lalu mengeluarkan hasil penyelidikannya terkait pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. Pada kasus Rumoh Geudong misalnya, tim menemukan data di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus korban operasi militer.

Dari sejumlah data itu tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meninggal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus, dan rumah dirusak 47 kasus. Kerugian materil pun mencapai Rp 4,2 miliar.

“Yang saya bilang komandan operasi itu sudah pensiun. Ada juga komandan itu yang sekarang di masa tuanya sakit, ada yang kena parkinson, dan rata-rata yang berindikasi pelaku pelanggaran ham berat itu sakit. Itu mungkin hukuman Tuhan, kita tidak tahu. Tapi sampai sekarang umumnya dari militer itu tidak akomodatif,” kata Otto, seperti dikutip dari Acehkita.com.

Kini, bekas Rumoh Geudong di tanah seluas dua hektare itu, sebuah tangga masih berdiri kokoh setinggi satu setengah meter. Tidak jauh dari sana, bekas lantai dan dinding beton sudah dipenuhi semak belukar. Lokasinya sekitar seratus meter dari jalan nasional Medan-Banda Aceh.

Meski sudah rata dengan tanah, Rasyidah masih ingat betul gambaran bangunan Rumoh Geudong.

“Di situ dulunya kolam tahi tempat penyiksaan, di situ sumur orang ditimbun hidup-hidup, batang kelapa tempat ditembak korban, gudang penyiksaan.”

Sedangkan tugu didirikan di luar pagar di tepi jalan. Tingginya sekitar dua meter. Di kaki tugu, tersusun acak sejumlah huruf abjad yang tidak bisa dibaca. Di bagian atas tugu, tertulis “Jangan kubur kebenaran, Bersuaralah! Meskipun Tak Jadi Kata”.

Share: Rumoh Geudong: Saksi Bisu Pembantaian DOM yang Kini Jadi Tugu Peringatan