Isu Terkini

Misinformasi dan Disinformasi, Beda Tujuan Dengan Bahaya yang Serupa

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Seiring berkembangnya zaman, berselancar mencari informasi dari media sosial kerap kali jadi pilihan. Selain lebih real time dan tanpa sensor, kabar-kabar yang diperoleh dari Twitter, Facebook, atau Instagram dan lainnya bisa dengan mudah disebar kepada kerabat di berbagai lini. Tak jarang informasi yang tersebar itu langsung dibungkus menjadi sebuah berita di beberapa media massa tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu.

Proses itu menjadi gambaran bahwa pembuatan hoaks sangat mudah dibentuk. “Berita bohong” itu sendiri terbagi menjadi misinformasi dan disinformasi. Keduanya sama-sama informasi yang tidak valid dan tak sesuai dengan kenyataan, namun perbedaannya berada pada tujuan.

Dalam buku pegangan untuk jurnalis berjudul Journalism, ‘Fake News’ & Disinformation yang diterbitkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), misinformasi dikategorikan sebagai salah interpretasi informasi yang diterima, sedangkan disinformasi adalah konten yang sengaja dimanipulasi.

Bisa dibilang, misinformasi ini ketika seseorang hanya semata-mata ingin menyebarkan informasi, tanpa sadar ternyata apa yang disebarkannya adalah berita bohong alias hoaks. Sedangkan disinformasi apabila seseorang dengan sengaja menyebar dan membuat informasi yang keliru, dengan tujuan agar fakta yang sebenarnya tertutupi, dan membuat publik jadi tidak mengetahui kebenaran aslinya.

Oleh sebab itu, terbentuk dan tersebarnya informasi yang salah memang ada yang disengaja dan tidak sengaja. Masih dalam sumber yang sama, buku yang diterbitkan pada 2018 di Paris, Prancis itu membagi menjadi tujuh gangguan informasi, yang terdiri dari; satire/parody, konten menyesatkan, konten menipu, konten yang dibuat-buat, koneksi yang salah, konteks yang salah, dan konten yang dimanipulasi.

Sindikat Pembuat Konten Disinformasi

Adalah Saracen, sindikat yang beberapa lalu tertangkap karena terbukti membuat dan menyebarkan berita bohong di media sosial dengan memekai isu SARA. Disebut sindikat sebab Saracen memang terorganisir dan bukan semata aksi individu, merekalah yang membuat konten menyesatkan di media sosial berdasarkan pesanan.

Hasil penyelidikan forensik digital, terungkap Saracen menggunakan grup di Facebook yang telah mereka buat, di antaranya ada Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com untuk menggalang lebih dari 800.000 akun. Semua akun itu mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti perkembangan tren di media sosial.

”Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok masyarakat lain,” kata Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Irwan Anwar  saat merilis kasus itu, di gedung Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 23 Agustus 2017 lalu.

Para tersangka sering berganti nomor ponsel untuk membuat akun surat elektronik (e-mail) maupun Facebook. Satu tersangka saja bisa mempunyai belasan yang digunakan untuk membuat grup di media sosial maupun mengambil alih akun milik orang lain.

Terbiasa Asal Menyebar Kabar, Bagaimana Solusinya?

Beberap orang yang aktif bermedia sosial, dengan cepat menyebar informasi, yang tanpa tersadari menjadi bagian penyebar hoaks. Hal ini pula yang pernah dikatakan oleh Pakar IT Ruby Alamsyah, ia mengungkapkan bahwa perilaku orang Indonesia di media sosial adalah melakukan reposting dan broadcasting.

Lalu, jika ada warganet yang tidak sengaja menyebar berita bohong alias misinfomasi, bagaimana menanggulanginya? Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia sekaligus Masyarakat Indonesia Anti Hoax, Septiaji Eko Nugroho mengatakan bahwa unggahan yang terlanjur menyebar itu tidak perlu dihapus, tapi penting memberikan klarifikasi.

Caranya bisa dengan membuah unggahan terpisah berisi permintaan maaf bahwa informasi yang ia sebarkan tersebut ternyata keliru, dengan menyisipkan informasi yang lebih akurat. Cara mengklarifikasi yang kedua, bisa dengan menulis di kolom komentar, sehingga klarifikasi itu turut ikut bersamaan dengan misinformasi yang tersebar. Di sisi inilah, peran jurnalis masih diperlukan kehadirannya untuk melakukan klarifikasi dan investigas demi mencegah terjadinya misinformasi maupun disinformasi.

Share: Misinformasi dan Disinformasi, Beda Tujuan Dengan Bahaya yang Serupa