Isu Terkini

Miris, PNS Koruptor Masih Digaji

Christoforus Ristianto — Asumsi.co

featured image

Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan laporan terkait jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang terpidana korupsi namun belum dipecat kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). ICW meminta BPK menghitung kerugian negara akibat menggaji PNS terpidana korupsi. “ICW mendesak BPK segera melakukan pemeriksaan terhadap instansi yang tercatat belum memecat PNS berstatus terpidana korupsi. BPK harus melakukan langkah menghitung kerugian negara akibat gaji yang telah dibayarkan kepada PNS tersebut,” ujar peneliti divisi investigasi ICW, Wana Alamsyah di kantor BPK, Senin (25/2).

Berdasarkan perhitungan Wana, semakin lama PNS tidak segera dipercepat proses pemecatannya, potensi kerugian negara akan terus bertambah. ICW menyebutkan, potensi kerugian negara sekitar Rp 6,6 miliar per bulan atau Rp 72 miliar per tahun. Perhitungan ICW ini berdasarkan pada jumlah laporan PNS koruptor yang belum dipecat sampai pertengahan Januari 2019.

Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) per 14 Januari 2019, baru 393 PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat dari daftar 2.357 PNS yang telah divonis bersalah melalui putusan berkekuatan hukum tetap. Di luar 2.357 PNS tersebut, terdapat tambahan 498 PNS yang terbukti korupsi dan diberhentikan. Sehingga, total PNS yang diberhentikan baru mencapai 891 orang. Masih ada 1.466 atau 62 persen PNS yang belum dipecat. Sehingga, berdasarkan perhitungan moderat dengan gaji pokok Rp 3,5 juta per bulan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang kenaikan Gaji PNS, didapat angka Rp 6,5 miliar per bulan.

Wana menegaskan, langkah BPK diperlukan lantaran pembayaran gaji PNS berstatus terpidana korupsi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. “Selain itu, dalam jangka panjang, kerugian negara yang timbul akan merugikan khalayak banyak (masyarakat),” paparnya kemudian. Lalu, ICW menilai lambannya pemecatan PNS terpidana korupsi akan berdampak pada budaya permisif atau serba membolehkan perilaku koruptif di lingkungan pemerintahan.

“Ini akan jadi budaya permisif. PNS akan terbiasa dengan perilaku koruptif sehingga berimplikasi pada hal lain,” ujar Wana. Wana menjelaskan, perilaku koruptif itu bisa ditemukan dalam konteks pelayanan publik. Misalnya layanan yang lamban dari PNS yang bertugas dalam administrasi kependudukan. “Akan ada kerugian bagi masyarakat ketika layananya terhambat,” ungkapnya kemudian.

Jika dilihat tren PNS yang terpidana korupsi dari tahun 2010-2018, lanjut Wana, memang tidak ada kenaikkan secara kuantitatif. Namun demikian, PNS tetap menjadi pejabat yang paling banyak terjerat korupsi dibandingkan pejabat lainnya. “Berdasarkan data ICW, rata-rata 350-an PNS yang korupsi. Ini menjadi keprihatinan kita bahwa sejatinya mereka adalah seorang pelayan publik,” jelasnya.

ICW pun meminta pemerintah untuk tegas dalam komitmenya memberantas korupsi terhadap PNS. Wana menyatakan, kalau memang komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi itu tinggi, sejatinya tidak ada alasan lambannya pemecatan PNS yang terpidana korupsi. “Pemerintah berkali-kali menggaungkan zero corruption. Kalau memang komitmen pemerintah dalam konteks pemberantasan korupsi itu sangat tinggi, harusnya persoalan tersebut tidak menjadi landasan,” ujar Wana.

Menurutnya, sejatinya landasan yang digunakan adalah landasan hukum untuk memecat PNS koruptor. “Landasanya ya hukum, bukan landasan karena relasi keluarga. Ikuti putusan pengadilan dan lakukan, jangan sampai kemudian PNS koruptor digaji, padahal dananya bisa dialokasikan ke yang lain,” ungkap Wana.

Buat Permendagri

Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pudjianto, menyatakan, saat ini Kemendagri sedang merumuskan aturan terkait sanksi bagi sekretaris daerah (Sekda) yang belum memecat PNS terpidana korupsi. “Kami saat ini sedang merumuskan peraturan menteri dalam negeri (Permendagri) untuk pemberian sanksi bagi Sekda yang tidak memecat PNS terpidana korupsi. Saat ini prosesnya sudah 70 persen, saya berharap awal Maret sudah selesai,” ujar Sigit ketika dihubungi via telepon, Senin, 25 Januari 2019.

Sigit menjelaskan, dalam Permendagri tersebut nantinya tertuang sistem pemecatan Sekda yang belum memecat PNS terpidana korupsi. “Bagi Sekda yang belum memecat PNS terpidana korupsi, kita akan memberikan surat peringatan hingga tiga kali. Jika belum dipecat juga, maka Sekdanya dipecat,” jelasnya. Sebelumnya, Sigit mengungkapkan, lambatnya pemecatan PNS yang terbukti korupsi karena adanya keraguan dari Sekda dalam menindak tegas PNS.

“Sekdanya ragu. Saya sudah sampaikan ke mereka dan kepala daerah untuk jangan ragu memecat. Kalau bingung, tanya ke saya, Kemendagri siap bantu,” ujar Sigit. Ia menyatakan, alasan Sekda ragu untuk memecat PNS bermacam-macam, mulai dari PNS-nya yang sudah ganti alamat tempat tinggal hingga sarat dengan hubungan kekeluargaan.

“Ya, alasanya macam-macam. Ada yang rumahnya sudah pindah, ada karena PNS yang bersangkutan adalah saudara kepala daerah, dan sebagainya. Alhasil, komitmen pemecatan tidak maksimal,” paparnya.

Share: Miris, PNS Koruptor Masih Digaji