General

Menjadi Skeptis di Era Politik Hoaks

Rahadian Rundjan — Asumsi.co

featured image

Memang menjengkelkan, namun harus diakui bahwa beberapa tahun belakangan derasnya arus hoaks sudah berada dalam tahap yang begitu polutif bagi kewarasan dan kesejukan menjalani kehidupan sehari-hari di Indonesia. Informasi sesat dan menyesatkan, baik yang memang lahir dari ketidakcermatan seseorang dalam memproses data maupun yang sengaja direkayasa demi sebuah kepentingan, bagaikan virus jahat yang mencoba mengabsahkan watak anti-intelektualisme di kalangan masyarakat serta menyimpang dari kaidah-kaidah berdemokrasi yang sehat di masa modern.

Karenanya, ketika instrumen-instrumen penyebaran informasi semisal media massa dan media sosial telah menjadi jalan bebas hambatan dalam penyebaran informasi-informasi sesat, maka merawat dan melanggengkan daya pikir kritis dalam diri sendiri menjadi satu-satunya cara pertahanan yang dapat diandalkan. Kemampuan menilai kebenaran dalam sebuah informasi agaknya kini telah menjadi kebutuhan primer bagi banyak orang.

Setidaknya itulah, secara sederhana, saran seorang Carl Sagan bagi masyarakat modern yang bernalar dan tercerahkan. Dalam bukunya yang pertama kali terbit pada 1996 dan belakangan ini dicetak ulang di Indonesia, The Demon-Haunted World, kosmolog dan komunikator sains asal Amerika Serikat tersebut bercerita panjang lebar mengenai sains sebagai instrumen merawat akal sehat dan esensi mendasarnya, yakni kemampuan berpikir skeptis, yang juga menjadi penting bagi demokrasi.

Baginya, sains dan demokrasi serupa dalam beberapa hal. Keduanya membuka kesempatan bagi seseorang untuk mengelaborasikan hipotesis-hipotesis alternatif untuk merespon masalah sebelum mencocokkannya dengan fakta, dan bagaimana keduanya mengagungkan keterbukaan terhadap hal-hal baru namun juga kritis terhadapnya, sebagaimana mereka kritis terhadap hal-hal yang sudah mapan. Mudahnya, ada mekanisme pengoreksi kesalahan dalam sains dan demokrasi. Ilmuwan dapat dengan bebas menentang teori-teori yang sudah mapan dengan data, serupa kala seorang warga negara menyuarakan pendapatnya.

Berpikir skeptis terhadap sesuatu hal yang dimaksud olehnya bukanlah yang bentuknya ugal-ugalan, yang hanya menilai dari luarnya saja tanpa maksud menggali lebih jauh kebenarannya. Karena jika seseorang hanya berhenti di tahap awal skeptisisme saja, dan lantas sudah sibuk-sibuk mengumbar-ngumbarnya ke publik, maka kemungkinan besar ia akan terjerumus dalam jejaring kebohongan saat rasa skeptisnya tidak terbukti.

Setidaknya hal itulah yang menjadi fenomena di kalangan kelompok pendukung Prabowo dalam jagat politik pemilihan presiden Indonesia yang kian mendekati babak klimaksnya. Mulai dari cara menangani masalah pengeroyokan Ratna Sarumpaet, isu selang cuci darah, sampai dugaan liar terkait kontainer surat suara, merupakan bukti sebuah kecenderungan tidak baik dalam upaya mereka mengkampanyekan retorika politiknya. Padahal, kelompok ini cukup benar kala mengutarakan, setidaknya dalam teori, bahwa pemerintah adalah pabrik hoaks terbaik. Namun, belakangan ini entah mengapa justru mereka sendiri yang terus-menerus menggarapnya.

Terlepas dari siapa yang memulainya, baik dari corong petahana maupun oposisi, hoaks adalah omong-kosong yang tidak perlu dan sangat membuang-buang waktu dalam hidup berdemokrasi. Oleh sebab itu berpikir skeptis, yakni menyusun dan memahami argumen hasil penalaran untuk menentukan mana yang bohong atau benar, jelas diperlukan.

Dalam bab yang berjudul “Seni Mendeteksi Omong-kosong”, Sagan memberikan seperangkat kiat untuk menjadi skeptis yang agaknya masih aktual. Ia mendorong setiap orang untuk mengkonfirmasi fakta-fakta secara independen, berdebat substantif, tidak menelan mentah-mentah pendapat otoritas, menyiapkan banyak hipotesis dan tidak terikat hanya pada salah satunya, serta mengupayakan kuantifikasi untuk memperkaya argumen. Ditambah, argumen-argumen itu harus terangkai utuh, dapat dipersembahkan dalam bentuk yang sederhana, dan terakhir, selalu pertanyakan apakah hipotesis tersebut dapat diuji oleh orang lain.

Atau sederhananya, hoaks dapat dihindari saat seseorang tidak menelan mentah-mentah informasi tanpa verifikasi dan klarifikasi mendalam dari dirinya sendiri. Otak harus bekerja dalam mengolah informasi. Menjadi apatis itu berbahaya. Terlebih ketika apatisme tersebut sengaja diciptakan untuk memuluskan sebuah kepentingan dari kelompok-kelompok tertentu.

Selain apa yang perlu dilakukan untuk menangkal kebohongan, Sagan juga memberikan hal-hal apa yang tidak boleh kita lakukan apabila kita ingin menggapai sebuah kebenaran, sebagian diantaranya adalah berargumen Ad hominem, memilih-milih fakta yang menguntungkan saja, berdikotomi palsu, dan lain-lain. Bila hal-hal tersebut diterapkan secara berhati-hati, sebut Sagan, maka akan terdapat perbedaan besar yang ditimbulkan dalam meraih sebuah kebenaran, termasuk mengevaluasi argumen-argumen kita sendiri sebelum melemparnya ke publik.

Skeptis terhadap gencarnya arus informasi harus bermuara pada sikap optimis bahwa kebenaran pada akhirnya akan selalu muncul ke permukaan walau ia terbenam oleh serangkaian kebohongan. Pemerintah dan publik tidak boleh takut terhadap hoaks, bahkan seharusnya upaya memeranginya adalah jalan keluar yang menguntungkan dalam melatih nalar masyarakat dan kepercayaan terhadap sistem demokrasi.

Hoaks tidak cukup ditangani secara defensif semata, mereka yang dirugikan juga berhak melakukan ofensif balik. Apa yang Partai Sosialis Indonesia (PSI) lakukan dengan gimik ‘Kebohongan Award’ adalah reaksi yang jitu dan patut diapresiasi (bahkan, menurut saya cukup monumental dalam sejarah fenomena hoaks di Indonesia). Para penyebar dan pendukung normalisasi kebohongan memang harus dipaksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, atau menempatkannya dalam posisi yang memalukan di mata publik, terlebih ketika penanganan hukum terkait hoaks belum ampuh menjaring elit-elit politik yang mensponsorinya.

‘Ubi dubium ibi libertas’, frasa Latin yang berarti ‘saat ada keraguan di sanalah ada kebebasan’.  Berkaca dari sana, rasanya lebih bijak menjadi seorang peragu daripada membiasakan diri dalam keluguan. Kebenaran memang barang langka dalam dunia politik yang mendorong tabiat bermanipulasi demi kepentingan, sehingga selalu skeptis terhadapnya agaknya merupakan pendirian yang tepat.

Rahadian Rundjan adalah penulis yang menggemari sejarah, sains, dan budaya populer. Dapat dihubungi di @rahadianrundjan.

Share: Menjadi Skeptis di Era Politik Hoaks