General

Mengkritik Dana Bansos 2019 Sebagai Bagian Kampanye adalah Kekonyolan Luar Biasa

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Semasa saya SD sampai SMA, bohong kalau saya pernah sekalipun menyatakan kalau saya menyukai upacara bendera. Saya pernah bersekolah di sekolah swasta dan negeri. SD saya bersekolah di SD swasta, SMP dan SMA saya habiskan di sekolah negeri. Di semua sekolah yang saya pernah ikuti, sayangnya, upacara setiap hari senin merupakan sesuatu yang diwajibkan. Sebagai siswa yang teladan, mau tidak mau, saya harus tetap mengikuti upacara tersebut.

Terlepas dari keengganan saya dalam mengikuti upacara bendera, ada dua mata acara dalam upacara bendera yang saya ikuti dengan sungguh-sungguh. Yang pertama adalah mengheningkan cipta. Untuk saya, esensi mengikuti upacara bendera adalah mengenang jasa para pahlawan yang gugur dalam medan perang demi memperjuangkan hak seluruh rakyat Indonesia, yaitu Indonesia yang merdeka. Indonesia yang dapat bersuara lantang tanpa dikte dari Barat atau Jepang.

Sedangkan yang kedua adalah membacakan Pancasila secara bersama-sama. Pancasila, buat saya, adalah ideologi yang jelas mendefinisikan Indonesia sebagai sebuah negara yang seperti apa, khususnya dalam konteks pelaksanaan ekonominya. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kurang jelas seperti apa? Indonesia merupakan negara yang mementingkan kesejahteraan rakyatnya dengan keadilan sosial yang menjadi junjungan utama. Kesetaraan. Jika dimasukkan ke dalam kategorisasi Esping-Andersen, Indonesia tentu akan masuk ke rezim welfare sosial-demokratis.

Hari ini, menurut saya, perwujudan ekonomi Pancasila masih tampak nyata. Melalui berbagai kementerian, pemerintah melancarkan program-program berbasis welfare yang tujuan utamanya jelas: mengentaskan kemiskinan Indonesia yang saat ini masih ada di rentang 9-10 persen, sekaligus mengurangi angka kesenjangan. Program ini salah satunya diluncurkan oleh Kementerian Sosial melalui dana bantuan sosialnya.

Dana bantuan sosial yang dipersiapkan oleh Kementerian Sosial dibagi menjadi tiga macam saat ini. Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH), yaitu sebuah program pemberian bantuan sosial bersyaraat kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan oleh pemerintah. Program ini sudah ada sejak tahun 2007. Program ini senada dengan istilah Conditional Cash Transfers (CCT) yang diusung di berbagai negara dalam menanggulangi kemiskinan kronis.

Dua program lainnya milik Kementerian Sosial adalah Rastra dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dalam program Rastra, pemerintah memberikan beras berkualitas medium dengan jumlah 10kg setiap bulannya tanpa ada biaya tebus. Beras ini diberikan secara langsung. Berbeda dengan program yang ketiga, yaitu BPNT, yang mekanismenya adalah adanya akun elektronik ayng diberikan ke masyarakat sebagai alat tukar untuk membeli pangan di e-Warong yang bekerja sama dengan Bank HIMBARA. Tujuannya serupa dengan Rastra, namun mekanismenya sedikit berbeda.

Dengan beragam penjelasan di atas, apakah program-program ini sudah berhasil mengentaskan kemiskinan? Faktanya, program-program tersebut belum berhasil mengentaskan kemiskinan untuk setidaknya di bawah lima persen. Berbagai macam problematika masih terjadi dalam prosesnya. Salah satunya adalah target yang ternyata salah sasaran. Bukannya dimanfaatkan oleh orang-orang yang membutuhkan, program-program ini justru diterima oleh orang-orang yang tidak seharusnya menerima bantuan.

Namun, apa kita tiba-tiba harus lepas harapan dan justru menghapuskan program welfare ini? Tentu tidak. Karena kembali lagi bahwa ideologi Pancasila adalah ideologi negara yang telah tertanam sejak 73 tahun yang lalu. Bagaimanapun caranya, ideologi ini harus tetap dipertahankan. Dengan tiba-tiba menghapus program-program ini justru telah mencederai mimpi para pendiri bangsa yang sedari awal yakin bahwa kesetaraan merupakan basis dari terciptanya Indonesia yang sejahtera.

Lalu, apa opsi yang seharusnya dilakukan pemerintah jika ingin tetap melaksanakan program tersebut, namun dengan ketepatan yang lebih baik? Ya jelas dengan memprioritaskan sekaligus mengawasi dengan ketat program ini. Memprioritaskan pun bisa beragam macam, bisa dengan restrukturisasi, bisa dengan beragam hal lain, seperti sesederhana menambah alokasi budget untuk program ini.

Untuk tahun 2019 nanti, Kementerian Sosial pun terlihat memprioritaskan program welfare ini dengan cara menambah alokasi budget. Dari angka Rp 36 triliun, Kementerian Sosial menambah alokasi budget untuk bantuan sosial (bansos) menjadi Rp 50 triliun. Sebuah langkah yang menarik untuk diperhatikan, terutama jika memang disertai dengan perbaikan target sasaran agar program semakin berjalan dengan efektif dan efisien.

Sebagai sebuah program yang merupakan perwujudan Pancasila dan sedang diusahakan keefektifannya, ternyata masih ada saja pihak-pihak yang merasa bahwa kebijakan ini bagian dari kampanye Jokowi untuk Pemilu 2019. Buat saya, argumentasi tersebut salah di dua poin yang fundamental. Pertama, kebijakan menambah alokasi budget untuk bantuan sosial ini memang esensial. Terlebih Menteri Sosial saat ini, Agus Gumiwang, menyatakan bahwa memang sudah ada temuan yang menyatakan bahwa bantuan sosial telah berperan secara signifikan dalam mengentaskan kemiskinan. Sehingga argumentasi yang merasa bahwa bansos ini bukanlah sesuatu yang efektif hanyalah mengarang bebas.

Kemudian, poin yang kedua adalah kalau memang Jokowi menggunakan bansos sebagai bahan kampanye, terus apa masalahnya? Jika oposisi memiliki privilege untuk mengkritisi tanpa harus menyediakan solusi, petahana memiliki privilege lain, yaitu menggunakan kebijakan sebagai salah satu sarana berkampanye. Bukannya memang setiap kebijakan pemerintah adalah bagian dari kampanye petahana untuk mempertahankan jabatannya di periode yang kedua? Adalah hal yang konyol (dan sedikit tidak masuk akal) jika menyatakan kalau petahana tidak boleh menggunakan kebijakan untuk berkampanye. Lah, dia harus ngapain lagi, dong?

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Mengkritik Dana Bansos 2019 Sebagai Bagian Kampanye adalah Kekonyolan Luar Biasa