General

Mengecek Pidato Prabowo Berdasarkan Fakta, Soal Impor Sampai Utang Negara

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto kembali memberikan pidato kebangsaannya. Namun acara yang berlangsung pada Senin, 14 Januari 2019 kemarin sekaligus menyampaikan visi dan misi secara lengkap, sebagai janji yang akan dijalankan Prabowo jika terpilih menjadi pemimpin Indonesia.

Dalam pernyataannya, Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan akan mengubah arah bangsa ini. Dari arah yang tidak benar, ke arah yang benar dan membela kepentingan rakyat Indonesia, begitu janjinya. Cukup banyak hal yang ia singgung dalam agenda yang bertajuk Indonesia Menang itu. Namun hampir keseluruhannya berisi kritik terhadap pemerintahan saat ini.

Ada beberapa fokus yang ia ucapkan, mulai dari masalah ekonomi, peningkatan kualitas hidup, keadilan di bidang hukum, sampai keseteraan yang harusnya dimiliki oleh semua masyarakat di Indonesia. Sayangnya, dari deretan janji yang ia berikan, tak ada satupun yang berlandaskan data. Prabowo hanya menjabarkan visi dan misinya, namun tidak memberikan langkah yang realistik agar masyarakat tahu bagaimana ia bisa benar-benar menjalankannya.

Selain itu, ada pula beberapa masalah yang diutarakan Prabowo, namun tidak didampingi dengan data. Padahal, jika didampingi dengan data yang valid, maka pidato itu akan terdengar lebih meyakinkan.

View this post on Instagram

A post shared by Partai Gerindra (@gerindra) on Jan 14, 2019 at 8:00am PST

Peningkatan Bunuh Diri

“Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat laporan, seorang buruh tani, seorang bapak, bernama pak Hardi di Desa Tawangharjo, Grobokan, meninggal dunia karena gantung diri di pohon jati di belakang rumahnya,” kata Prabowo dalam pidatonya.

Kemudian, Prabowo lanjut bercerita. Almarhum Hardi yang bunuh diri itu meninggalkan isteri dan anak karena merasa tidak sanggup membayar utang, ia tak sanggup dengan beban ekonomi yang terlalu berat.

“Selama beberapa tahun terakhir ini, saya mendapat laporan, ada belasan cerita tragis seperti almarhum Hardi ini,” ungkap Prabowo.

Fakta yang diungkapkan Prabowo ternyata benar adanya. Menurut data dari World Health Organization (WHO) tahun 2016, angka bunuh diri Indonesia terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2010 adalah 1,8 per 100 ribu jiwa atau sekitar 5.000 orang per tahun. Tahun 2012 meningkat menjadi 4,3 per 100 ribu jiwa atau sekitar 10 ribu per tahun, dan data terakhir di 2016 mengalami kenaikan menjadi 5,2 persen.

Sayangnya, Kementerian Kesehatan sendiri saat ini tidak memiliki data spesifik terbaru seperti yang dimiliki WHO, organisasi kesehatan dunia. Tentu ini bisa menjadi celah untuk Prabowo dalam mengkritik sistem pemerintahan.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansyah mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi pemicu seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Faktornya antara lain gangguan kejiawaan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan tuntutan ekonomi dan sosial menjadi pemicu.

View this post on Instagram

A post shared by Prabowo Subianto (@prabowo) on Jan 14, 2019 at 8:27am PST

Impor Beras dan Gula

“Saya juga baru datang dari Klaten. Di situ, petani-petani beras bersedih, karena saat mereka panen 2 bulan yang lalu, banjir beras dari luar negeri. Saya juga baru-baru ini dari Jawa Timur. Di sana, banyak petani tebu yang mengeluh, karena saat mereka panen, banjir gula dari luar negeri,” ujar Prabowo masih dalam kesempatan yang sama.

Sesuai dengan yang diutarakan Prabowo, di tahun 2018 memang Indonesia mengimpor beras mencapai 2,2 juta ton. Jumlah ini melonjak tajam dibandingkan 2017 dan merupakan yang tertinggi sepanjang era pemerintahan Jokowi-JK. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menegaskan ia hanya menjalankan perintah yang datangnya dari Rapat Koordinasi.

“Betul. Impor diputuskan oleh Rakor. Rakor Menteri Koordinator dan berbicara mengenai supply dan demand. Itu saja. Rakor memutuskan, saya melaksanakan,” kata Enggartiasto pada media di Gudang Bulog, Kelapa Gading, Kamis, 10 Januari 2019.

Namun perlu dilihat juga data impor beras dari pemerintahan sebelumnya. Pada tahun 1985-1986, pemerintahan Indonesia memang sempat tidak mengimpor beras sama sekali. Tapi, keberhasilan menekan impor beras pada Era Soeharto itu hanya berlangsung tidak sampai 10 tahun. Pada tahun 1995 dan 1996, misalnya, impor beras kembali melonjak tajam menjadi masing-masing 1,3 juta ton dan 2,0 juta ton.

Impor mencapai sebesar 2,8 juta ton di tahun 1998, dan itulah salah satu warisan terakhir Soeharto, selain krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah Indonesia. Di mana rekor tertinggi impor beras pada 1999 (3 juta ton). Demikian dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.

Oleh sebab itu, meski capres petahana Jokowi telah membeiarkan adanya impor beras hingga mencapai 2 juta ton, tapi itu masih rendah dibanding era Presiden Soeharto. Sedangkan, masih dalam data yang sama, di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, impor beras tertinggi sebesar 2,75 juta ton pada tahun 2011.

Hal ini juga terjadi pada permasalahan impor gula. Mubyarto dalam “Masalah Industri Gula di Indonesia” (1967)menjelaskan bahwa “Pada tahun 1967, Indonesia mulai menjadi benar-benar pengimpor gula.” Sejak itu pula Indonesia menjadi negeri agraris yang bergantung pada impor gula. Kebijakan ini berlanjut di setiap pemerintahan pascareformasi, termasuk di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

View this post on Instagram

A post shared by Sandiaga Salahuddin Uno (@sandiuno) on Jan 14, 2019 at 6:50am PST

Utang Negara Terus Bertambah

“Negara yang terus menambah utang untuk bayar utang, dan menambah utang untuk membayar kebutuhan rutin pemerintah yaitu membayar gaji pegawai negeri,” demikian singgung Prabowo.

Hal ini juga sempat dikritik oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), lembaga riset independen dan otonom yang melakukan riset dan kajian kebijakan publik, terutama di bidang ekonomi dan keuangan. Peneliti Senior INDEF Didik J Rachbini menjelaskan saat ada pemborosan yang sangat besar dalam RAPBN 2019. Pasalnya pengeluaran dari APBN sebagian besar masih digunakan untuk pembayaran gaji.

Masalah utang di Indonesia pada periode Juli 2018 tercatat Rp 4.253,02 triliun. Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah saat berada pada level 29,75% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam bidang ekonomi, produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.

Jika di era Presiden Jokowi PDB pada level 29,75%, rasio utang di era Soeharto mencapai 57,7% terhadap PDB. Kemudian di era BJ Habibie, rasio utang terhadap PDB melambung tinggi, hingga berada di level 85,4%.

Rasio utang itu pun mulai mengalami penurunan di era Presiden KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gusdur. Saat itu, rasio utang pemerintah turun tipis menjadi 77,2%. Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, rasio utang kembali mengalami penurunan, sehingga rasio utang saat itu 56,5% terhadap PDB. Kemudian di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, nilai utang meningkat lebih dari dua kali lipat, untungnya saat itu nilai PDB mengalami peningkatan, sehingga rasio utang jadi hanya sekitar 24,7%.

Share: Mengecek Pidato Prabowo Berdasarkan Fakta, Soal Impor Sampai Utang Negara