Budaya Pop

Mengapa Jumlah Produksi Kopi Indonesia Masih Kalah Bersaing?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Indonesia merupakan negara keempat penghasil kopi terbesar di dunia, setelah Kolombia, Vietnam, dan Brazil. Dengan luas wilayah 1.904.569 km², tanah air kita bisa mempoduksi 600.000 ton kopi setiap tahunnya. Sayangnya, jumlah itu masih jauh dibandingkan dengan Vietnam, sebagai penghasil kopi terbesar di Asia, yang menghasilkan hingga 1.530.000 ton biji kopi. Padahal luas wilayah negara mereka hanya 331,21 km².

Di tahun 2017, produksi yang ada di Indonesia hanya menghasilkan 0,7 ton per hektar, sedangkan Brazil dapat memproduksi menghasilkan biji kopi sebanyak 3,5 ton per satu hektarnya. Sebenarnya tanah di Indonesia merupakan jenis yang sangat ideal untuk tempat tumbuh tanaman kopi. Apalagi negara agraris ini merupakan satu-satunya surga cita rasa kopi. Dalam artian, Indonesia memiliki beragam jenis kopi, mulai dari kopi gayo, kopi toraja, kopi kintamani, kopi flores, kopi jawa, kopi lanang, kopi luwak, dan masih banyak lagi. Sedangkan, kembali ke Vietnam sebagai negara penghasil kopi juga di Asia, jenis kopinya 96% hanyalah kopi berjenis robusta.

Tentu ada beberapa faktor penghambat, mengapa di wilayah yang lebih luas dan lebih beraneka ragam cita rasa kopinya seperti di Indonesia ini penghasilan kopinya masih kalah dengan Vietnam.

Enam Penghambat Produksi Kopi di Indonesia

Menurut A. Syafrudin, Ketua Specialty Coffe Association of Indonesia (SCAI), produktivitas kopi di Indonesia belum maksimal karena faktor cuaca. Adanya ketidakmenentuan cuaca di Indonesia membuat jumlah produksi kopi kalah dengan negara Vitnam, Kolombia, dan Brazil.

“Kebun kopi kalau terlalu banyak hujan (air), bikin biki kopi jadi lembab, banyak biji rusak,” ujar Syafrudin pada Asumsi.co di kantor PT Sabani Internasional, Kalimalang, Jakarta Timur, Kamis, 20 September 2018.

Tak hanya curah hujan yang berlebihan, tapi musim kemarau yang berkepanjangan pun dapat mempengaruhi pertumbuhan biki kopi. Sebab biji kopi yang mulanya berwarna hijau dan sehat masih bisa rontok jika terjadi kekeringan.

Ketua Asosiasi Kopi Spesial Indonesia A. Syafrudin. di kantor Sabani, Jakarta Timur, Kamis, 20 September 2018 Foto: Dok. Asumsi

Mau menerima perkembangan teknologi, kata Syafrudin, sedikit demi sedikit sebenarnya mampu untuk mengantisipasi hambatan cuaca tersebut. “Perubahan cuaca di beberapa kebun kopi itu sudah melakukan satu langkah teknologi, dengan dibikinnya green house atau rumah untuk jemur kopi,” sebutnya.

Tapi hal yang paling penting adalah bagaimana petani kopi itu sendiri mau bekerja lebih baik dengan pengetahuan yang mumpuni, dan tak enggan mengikuti arahan dari para penyuluh atau edukator. Dengan begitu, kualitas maupun jumlah produksi kopi lambat laun akan meningkat.

Selain cuaca, hambatan yang kedua adalah banyaknya pohon-pohon kopi yang sudah tua. Padahal perlu adanya peremajaan pohon untuk menghasilkan biji yang lebih banyak. Itulah mengapa pentingnya serapan edukasi yang perlu diterima oleh petani kopi.

“Hambatan yang ketiga adalah processing, mulai dari petik merah, processing-nya bagaimana dia dari proses semi washed, dia bisa dikembangkan menjadi fully washed sehingga bisa mendapatkan nilai tambah walau improvement-nya kecil. Faktor lain-lain, ada faktor penyakit di kebon kopi, ada faktor transportasi, ada lagi faktor yang tak terduga itu banyak, adanya gempa bumi ada tanah longsor di daerah perkopian,” ungkap Syafrudin.

Industri Kopi Tidak Seektrem Sawit

Kelapa sawit memang menjadi penyumbang devisa terbesar untuk Indonesia. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa kepemilikan perkebunan kelapa sawit didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Hal itu berbeda dengan industri kopi yang 94% lahannya adalah milik rakyat.

Belum lagi permasalahan yang ditimbulkan dari kelapa sawit, mulai dari pembukaan lahan dengan cara dibakar yang menyebabkan kebakaran hutan di beberapa wilayah Indonesia, kemudian sifat tumbuhan kelapa sawit yang menyerap air dalam tanah dengan jumlah yang tak sedikit.

“Sifatnya kopi, tidak seekstrem kelapa sawit, karena kopi tidak memerlukan air yang cukup banyak. Kalau kopi pembukaan lahan dengan cara dibakar justru berbahaya,” kata Syafrudin.

Baca juga: Tak Kalah dengan Sawit, Kopi Juga Punya Nilai Ekspor yang Tinggi

Lebih dari itu, tanaman kopi juga tidak seegois kelapa sawit yang hanya berdiri sendiri di luasnya lahan. Sebab pohon kopi justru membutuhkan tanaman-tanaman penaung. Pohon pendamping seperti pohon lamtoro, pohon akasia, pohon alpukat, pohon kayu manis itu sangat dibutuhkan oleh tanaman kopi agar tidak terkena sinar matahari secara langsung.

Oleh karena sifat itu pula, kopi di Indonesia punya cita rasa yang beragam. Di daerah Temanggung, Jawa Tengah yang punya tanaman tembakau misalnya, akan menghasilkan tobacco coffe.

“Di sekitara Danau Toba kan, di Berastagi banyak tanaman jeruk kan, itu rasa kopinya orange. Di Flores banyak tanaman-tanaman kacang mete, banyak tanaman asem jawa, jadi di sana rasanya nutty, itu cita rasanya sangat mempengaruhi,” sebut Syafrudin.

Share: Mengapa Jumlah Produksi Kopi Indonesia Masih Kalah Bersaing?