Budaya Pop

Mengurai Timor, Menggugat Indonesia

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Pada Desember 1975, Indonesia merampas kedaulatan Timor Leste lewat Operasi Seroja. Perbatasan digambar ulang dengan ledakan, oleh orang-orang yang kita beri mandat untuk memegang senjata. Garis imajiner pada peta berubah. Namun, di Timor, rupanya kekerasan tak mengenal markah.

Di Nusa Tenggara Timur, provinsi Indonesia yang bertetangga dengan Timor Leste, truk-truk Unimog melaju ke arah yang berlawanan dari medan perang sambil menggilas warga sipil. Bahkan, menurut cerita yang beredar di sana, ada beberapa orang yang tertabrak, selamat, tapi malah dipukuli oleh para penumpang truk-truk itu sampai tewas.

Felix K. Nesi membaca Chega! (2013) dan laporan-laporan lain tentang kekerasan Indonesia di Pulau Timor, mendengarkan kesaksian pahit banyak orang, lalu menghidupkan kembali cerita-cerita itu lewat novel pertamanya, Orang-orang Oetimu (Marjin Kiri, 2019).

Dalam banyak kesempatan, Felix mengaku tak berencana menyampaikan persoalan-persoalan sosial lewat tulisannya. Ia hanya ingin bercerita. “Tapi mungkin hal-hal semacam itu, menyuarakan sesuatu, sudah tersimpan lama dalam diri saya sehingga dengan sendirinya apa-apa yang keluar larinya ke situ,” katanya dalam wawancara dengan Zulkifli Songyanan.

Saya bersyukur Felix memilih bercerita lewat novel. Fiksi yang dituliskan dengan baik adalah jalan yang paling lempang untuk mengantarkan urusan-urusan pelik kepada orang banyak. Di sisi lain, saya kira, laporan tim pencari fakta atau artikel ilmiah lebih sering membikin gentar ketimbang mengundang rasa ingin tahu (apalagi yang diawali dengan frase “dewasa ini” atau diberi judul “Quo vadis….”)

“Kadang saya merasa cerita-cerita kami tidak penting bagi orang Indonesia,” kata Felix. “Sejarah nasional terasa bukan seperti sejarah saya.” Dia mengucapkan kalimat-kalimat itu sambil menahan geli, tetapi saya sukar membayangkan orang bisa tak ikut terluka kalau membaca Orang-orang Oetimu.

Meski membikin sedih, novel ini bukanlah rekaman tangis Felix dan sanak saudaranya. Ada kemarahan, yang bisa lekas menular walau disampaikan tanpa berteriak. Tokoh-tokohnya sibuk mencemooh otoritas, perbatasan, tradisi, bahkan diri mereka sendiri, tetapi dengan lagak yang ringan saja.

Felix menyetujui anggapan Hasan Aspahani bahwa ia menuliskan novel ini dengan suara yang riang. “Tetapi itu menyakitkan!” katanya, lalu tertawa.

Dewan Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018, yang memilih Orang-orang Oetimu sebagai juara, menyebut novel ini punya “selera humor yang baik dan cenderung subtil” serta sanggup menyampaikan “kritik sosial secara natural.” Dua urusan itu, sebenarnya, meluber-luber dalam keseharian pengarangnya.

Tentang Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, tempat hasil sayembara itu diumumkan, Felix berkomentar: “Saya senang karena sebelumnya biasa melihat Teater Kecil di video-video. Teater Kecil itu bagus sekali. Teaternya orang-orang Jawa.” Dan saat kami bertemu beberapa bulan lalu, Felix bercerita bahwa sekolah-sekolah di NTT mengajarkan Tepa Selira. Setelah bertahun-tahun, katanya, dia dan kawan-kawannya bisa mengucapkan istilah tersebut, tetapi tak pernah benar-benar mengerti apa makna dan manfaat “si Tepo ini.”

Bahwa orang-orang di luar Pulau Jawa kerap merasa bahwa negara ini biasa dikelola seakan-akan ia cuma “Jawa dan pulau-pulau lain di sekelilingnya,” tentu bukan hal baru. Namun, tak banyak yang dapat mengartikulasikan kegusaran itu sebaik Felix.

Untuk menggugat penyeragaman semena-mena terhadap orang-orang Indonesia timur, misalnya, karakter beretnis Jawa digambarkan secara gampang-gampangan saja dalam Orang-orang Oetimu: giginya tonggos, seperti kebanyakan orang Jawa.

Saya pikir penggambaran itu asyik sekali. Ia lucu, bertenaga, dan tentu saja tidak membahayakan sasarannya. Tak pernah ada kebijakan yang mengatur bahwa orang-orang Jawa, setonggos apa pun, hanya boleh makan kuaci. Situasi berbeda terjadi di kampung halaman Felix. Presiden Soeharto bukan hanya membuat orang-orang Timor meninggalkan berbagai umbi dan kacang-kacangan yang telah menghidupi mereka selama berabad-abad, tetapi juga membuat mereka — seperti diceritakan Felix dalam novel — merasa malu dan bodoh kalau tak makan beras seperti orang Jawa.

Seberapa sering orang Papua dimaki monyet dan diperlakukan seperti binatang? Seberapa banyak orang Maluku yang belum apa-apa sudah dikira pemabuk dan tukang bikin rusuh? Daftar ini bisa berkembang terus.

Kita sering mendengar bahwa para penulis kerap memperoleh katarsis dengan menuliskan hal-hal yang mengusik pikirannya. Namun, Orang-orang Oetimu tak memberikan kelegaan itu kepada Felix. Alih-alih merasa bebannya terangkat, Felix justru semakin terseok-seok.

“Banyak sekali masalah yang saya tuliskan itu berbalik mengejar saya,” katanya.

Tentu saja. Bagaimana mungkin dia bisa lega sementara masalah-masalah yang diceritakannya tetap bercokol di Timor, dan orang-orang yang kisahnya ia sampaikan tak kunjung memperoleh keadilan?

===

Orang-orang Oetimu adalah Buku Pilihan Asumsi 2019. Saksikan wawancara kami dengan Felix K. Nesi di sini.

Share: Mengurai Timor, Menggugat Indonesia