Isu Terkini

Membaca Kemarahan Jokowi dengan Kaca Mata Ekonomi Makro

Pringadi Abdi Surya — Asumsi.co

featured image

Hari-hari belakangan, saya membuka kembali halaman demi halaman buku teori ekonomi makro. Salah satunya, untuk merenungkan kembali tentang caranya menghitung pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran. Perhitungan dengan rumus pendekatan pengeluaran ini lebih populer, konon karena orang-orang lebih jujur menyebut berapa pengeluaran ketimbang pendapatan yang mereka hasilkan.

Y = C + I + G + (X-M). Pendapatan nasional didefinisikan sebagai fungsi antara konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan net perdagangan antara ekspor dan impor (X-M).

Saya kira, kemarahan Jokowi yang dibuka ke publik baru-baru ini patut dipandang dengan kaca mata rumus tersebut. Kemarahan yang sangat penting karena pada saat yang berdekatan, Singapura melaporkan produk domestik bruto (PDB) mereka terkontraksi lebih dari 40% pada triwulan II. Hal itu membuat Singapura secara resmi mengalami resesi—yang disepakati terjadi apabila sebuah negara mengalami kontraksi PDB selama dua triwulan berturut-turut.

Jika melihat “syarat” itu, artinya Indonesia pun berada di tepi jurang resesi. Dan orang-orang yang terbuai dengan situasi “new normal” lupa bahwa status darurat nasional belum dicabut—dan kini, kita benar-benar berhadapan dengan darurat lain bernama darurat ekonomi.

Pola pikir dalam masa darurat tentu saja harus berbeda dari masa normal. Termasuk dalam memandang rumus pendapatan nasional.

Ketika pandemi terjadi, perdagangan internasional (X dan M) paling terdampak. Apalagi negara yang pertama kali menjadi pusat penyebaran wabah adalah Tiongkok, raksasa dalam rantai suplai. Lalu para pekerja mulai terkena PHK. Yang sedikit beruntung mengalami penurunan penghasilan, dan Indonesia yang selama ini menjadi surga para pekerja informal terpukul sedemikian parah karena masyarakat berdiam diri di rumah. Konsumsi (C) berkurang drastis karena berkurangnya penghasilan. Rasa takut membuat orang menahan diri berbelanja. Dalam keadaan darurat, selalu, kas adalah raja.

Maka tak heran, setelah kehilangan dua gigi, presiden pun menggelar karpet merah bagi para investor, mulai dari menyediakan lahan murah hingga mempermudah perizinan. Hal itu semata dilakukan demi mendapatkan uang segar untuk memutar roda perekonomian yang kini melambat. Apalagi, salah satu komponen dalam investasi (I), Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) atau yang lebih populer dengan istilah “pembangunan infrastruktur” juga banyak mandek karena realokasi anggaran ke hal-hal yang patut diprioritaskan.

Lalu, apa yang tersisa? Ya, pengeluaran pemerintah (G).

Meski satiris Amerika, P. J. O’Rourke, bilang kalau belanja pemerintah adalah sebuah delusi dengan usaha yang besar dan rencana yang tersusun apik untuk menghambur-hamburkan uang, dalam keadaan darurat, hanya belanja pemerintah yang dapat meminyaki roda gigi perekonomian. Dan dengan pengesahan Undang-Undang No. 2 Tahun 2020, sebenarnya negara telah mengizinkan oli itu dipakai secepatnya.

Namun, presiden kecele. Dia harus memahami sindiran bahwa para birokrat tampaknya menjadi begitu berhati-hati dalam masa darurat yang membutuhkan kecepatan, padahal terbiasa ugal-ugalan dalam masa normal. Pengeluaran pemerintah tidak berjalan dengan baik.

Pemerintah telah menganggarkan anggaran penanganan COVID-19 sebesar Rp695,2 triliun yang dialokasikan untuk berbagai bidang. Di antaranya kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, UMKM, pembiayaan korporasi, dan sektoral kementerian atau lembaga dan Pemda. Yang bikin Jokowi muntab, realisasi anggaran di bidang kesehatan, dari anggaran Rp87,55 triliun, terealisasi Rp1,34 triliun atau hanya 1,54%.

Ibarat ada musala kebakaran. Di depannya ada parit. Warga yang memahami situasi begitu darurat akan mengambil air dari parit lalu menyiramkannya ke langgar untuk memadamkan api. Namun, yang terjadi bukan demikian. Situasi sekarang, orang-orang lebih asik berdebat apakah air parit itu suci atau najis, sambil menutup hidung, bergidik jijik, atau takut tertular penyakir dari air-air parit. Sebagian lain asik berbincang untuk memberi nama yang tepat bagi aksi memadamkan kebakaran di langgar tersebut.

Kalau kita melihat APBN secara utuh, per 28 Juni 2020, realisasi belanja pemerintah pusat baru 34,7% atau sebesar Rp642,7 triliun. Kabar baiknya, belanja bantuan sosial telah disalurkan 78,2% dari total anggaran Rp125,1 triliun. Di sini, pemerintah tampak ingin serius menjaga daya beli masyarakat, meski kita pun harus berperan untuk mengawasi penyaluran bantuan sosial itu agar tepat jumlah dan tepat sasaran.

Angka itu jauh lebih rendah dari realisasi belanja negara tahun lalu sebesar 38,6%. Padahal, menurut Eric Garreti, pengeluaran pemerintah yang agresif dibutuhkan saat resesi ekonomi.

Namun, mau agresif bagaimana—benar kata pepatah, sifat seorang teman itu terlihat ketika kita menghadapi masalah. Dan hari-hari ini kita melihat para petinggi di republik ini, berani dan takut tidak pada tempatnya. Dengan segala fleksibilitas yang diberikan undang-undang kedaruratan, bahkan dengan boleh melakukan pembayaran sebelum barang diterima selama itu untuk penanganan COVID-19 dan dapat dipertanggungjawabkan, mereka yang berwenang lebih memilih menyarungkan tanda tangannya.

Saya jadi ingat ucapan Andrea Hirata, bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Atau justru ketakutan itu datang karena kita mampu mencium niat jahat yang datang dari diri kita sendiri? Dan tidak seperti di masa normal yang memungkinkan kita berlindung pada banyak hal, kali ini, tanggung jawab itu senantiasa terlihat.

Kiranya waktu yang akan menjawab.

*Pringadi Abdi Surya. Penulis, dan analis kebijakan publik. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di https://catatanpringadi.com

Share: Membaca Kemarahan Jokowi dengan Kaca Mata Ekonomi Makro