Budaya Pop

Memangnya Kemkominfo Bisa Menuntut Pornhub?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Terkadang, pekerjaan sebagai jurnalis mengharuskan kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang absurd. Namun, apa boleh buat? Politik keseharian kita adalah hadiah yang tak henti-hentinya mengalir.

Peristiwa ganjil teranyar disajikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Belum lama ini, jagad media sosial digemparkan oleh penemuan akun Kemenkominfo di situs porno Pornhub. Celakanya lagi, akun jadi-jadian tersebut mencatut logo Kemenkominfo dan disertai centang “biru”, yang berarti dianggap resmi.

Pada titik ini, kita dihadapkan pada dua pilihan. Antara tepok jidat dan menertawakan satu lagi banyolan konyol bocah-bocah internet, atau menganggapnya kelewat serius dan kebakaran jenggot. Kemenkominfo kita, dalam kebijaksanaannya yang tak mengenal batas, memilih opsi kedua.

Hanya sehari pasca twit itu mewabah, Kemenkominfo melansir siaran pers resmi. Tak hanya menyangkal keberadaan akun resmi Kemenkominfo di Pornhub, mereka pun berkoordinasi dengan Direktorat Tindak Pidana Siber untuk memproses pembuat akun palsu tersebut atas tuduhan tindak pidana pemalsuan informasi elektronik.

Kemenkominfo pun mengambil langkah yang menggetarkan: mereka melayangkan surat elektronik resmi kepada pengelola situs Pornhub untuk menyampaikan keberatan perihal penggunaan nama kementerian dan logo Kemenkominfo.

Di atas kertas, langkah ini tampak ganjil. “Persoalannya, apakah Pornhub punya kantor resmi di Indonesia?” Tanya Daywin Prayogo, peneliti di Hakasasi.id. “Pornhub adalah situs di mana setiap member-nya dapat mengunggah video sendiri dan membagikannya ke publik. Maka, kalau mau diprotes, seharusnya ada pengelola resminya di Indonesia yang bertanggungjawab atas segala aktivitas dalam situs itu sendiri.”

Pertanyaan-pertanyaan serupa menghantui benak Blandina Lintang, peneliti di lembaga ELSAM. “Saya bayangkan tim legal Pornhub menerima surel dari Kemenkominfo sambil ketawa-tawa,” kritiknya. “Salah satu UU kita yang terkait dengan kejahatan siber adalah UU ITE. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah UU ITE berlaku nasional aktif? Apakah ia punya yurisdiksi ke luar negeri?”

Lebih jauh lagi, mekanisme pelaporan pemerintah terhadap Pornhub pun membingungkan secara legal. “Institusi negara dan orang perseorangan itu berbeda sebagai subyek hukum,” ucap Lintang. “Apakah pasal di UU ITE mengakomodir bahwa Kementerian, sebagai sebuah institusi negara, boleh melaporkan? Kalau di Kementerian, siapa yang akan melaporkan? Apakah wakil dari Menterinya?”

Gagasan bahwa Kemenkominfo hendak menuntut Pornhub secara legal memang dapat dikubur dalam-dalam. Kesimpulannya sederhana: bukan begitu cara kerja hukum internasional. Namun, selain memprotes keras kepada pengelola Pornhub, Kemenkominfo pun bekerjasama dengan Bareskrim untuk memburu orang di balik akun palsu tersebut. Bagi Daywin, langkah ini jauh lebih mengkhawatirkan.

“Pemerintah ingin menggunakan Pasal 35 UU ITE tentang Pemalsuan Data atau Manipulasi untuk menjerat pelaku,” terang Daywin. “Data tersebut dicatut orang, kemudian diunggah seolah-olah itu autentik. Jadi Kementerian merasa datanya dicuri.” Masalahnya, lagi-lagi, perkara ini biasanya terjadi sebagai konflik antar individu, bukan menyangkut institusi apalagi lembaga negara.

Menurut Lintang, langkah melayangkan surat protes apalagi menempuh jalur hukum seperti ini termasuk tak biasa untuk pemerintah. Ketika berurusan dengan platform yang dianggap “nakal”, Kemenkominfo umumnya menggunakan pendekatan “ancaman” sembari berharap platform tersebut melunak.

“Pemerintah meminta platform besar untuk membuka kantor di Indonesia,” tutur Lintang. “Kalau enggak mau, biasanya dilakukan pemblokiran terhadap sebagian atau seluruh fitur, seperti yang sempat terjadi pada Tumblr.” Praktik ini juga dilakukan terhadap TikTok, yang sempat diblokir pada 2018, atau Telegram yang beberapa kali diblokir.

Narasi yang digunakan untuk membenarkan pemblokiran tersebut beragam. Kala memblokir TikTok, misalnya, Kemenkominfo berdalih bahwa platform tersebut banyak berisi konten yang bermuatan negatif untuk anak-anak. Tumblr sempat dicekal karena dianggap penuh dengan konten pornografi dan LGBTQ. Adapun Telegram berulang kali kena masalah dengan Kemenkominfo karena dianggap berisi konten terorisme.

Menariknya, kali ini Kemenkominfo mencurigai ada maksud terselubung di balik pembuatan akun palsu tersebut. Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu, misalnya, berujar bahwa akun tersebut adalah “bentuk perlawanan mereka (industri pornografi — red) terhadap Indonesia.” Baginya, tindakan ini adalah “perang mereka membuat cara yang mendiskreditkan Kemenkominfo.”

Hal ini, menurutnya, buah dari perang yang dikobarkan Kemenkominfo terhadap pornografi. Menurut siaran pers resmi mereka, Kementerian tersebut telah sukses memblokir 1,5 juta situs porno. Seperti jenderal yang terpojok, Kemenkominfo bersikeras akan terus “melakukan perlawanan dengan segala macam” terhadap upaya-upaya picik semacam ini.

Hingga artikel ini tayang, pihak Kemenkominfo belum membalas pertanyaan Asumsi.co mengenai pertempuran mereka dengan Pornhub.

Keberadaan konspirasi industri porno global melawan Kemenkominfo dianggap nonsens oleh Daywin. “Pertama, ada VPN. Kedua, pasti ada pasar lain bagi situs porno selain orang Indonesia.” Tuturnya. “Narasi perang melawan pornografi ini sama saja dengan narasi perang melawan narkoba. Kita mengajak orang memandang sesuatu sebagai musuh publik. Tapi, kita buang-buang tenaga untuk memerangi sesuatu yang kelewat deras permintaan pasarnya.”

Lebih fatal lagi, narasi konspirasi industri pornografi menelanjangi perspektif pemerintah yang dangkal tentang isu tersebut. “Pemerintah kita sering bikin mitos bahwa kekerasan seksual didahului dengan menonton film porno,” ucap Daywin. “Padahal, persoalan kekerasan seksual tidak sesederhana itu. Mereka cuma cari-cari alasan.”

Pendapat serupa diutarakan oleh Rika Rosvianti, pendiri organisasi gender perEMPUan. “Respon reaktif Kemenkominfo ini sebentuk pengguguran kewajiban agar bisa dianggap sudah melakukan tindakan kuratif.” Kritiknya. “Padahal, melakukan tindakan kuratif atas apa? Selama ini, Kemenkominfo sebagai perwakilan pemerintah selalu saja bergerak di tahap penanganan dan amat jarang bergerak di level pencegahan.”

Ketimbang meneruskan perang berkepanjangan terhadap pornografi, Kemenkominfo selaku institusi pemerintah semestinya fokus pada pendidikan publik dan tindakan pencegahan yang sungguh-sungguh berdampak. Bagi Rika, Kemenkominfo seharusnya mendidik publik tentang bahaya mengunggah materi pornografi di dunia maya, cara berselancar di dunia maya dengan sehat dan aman, serta menegaskan konsekuensi terhadap tindak kekerasan seksual seperti memaksa orang lain memberikan konten pornografi di bawah ancaman dan paksaan.

Namun, bagi Daywin, ada ironi tersendiri dari permasalahan pelik yang dihadapi Kemenkominfo. “Mereka mirip dengan banyak masyarakat awam yang merasa data pribadinya dicuri,” tutur Daywin. “Kasus doxing, di mana identitas, foto, tempat tinggal, dan informasi pribadi lain dibocorkan ke publik tidak sedikit. Buat saya, mungkin kasus ini bisa kasih obat ke Kemenkominfo. Identitas mereka dicuri, lalu ditempelkan ke situs yang sedang mereka perangi.”

Gerak lambat Kemenkominfo dalam persoalan perlindungan data pribadi seolah menjadi senjata makan tuan. “Ya rasain deh tuh, kalian menunda-nunda pembahasan soal perlindungan data pribadi, lalu sekarang data mereka diambil dan dicatut ke situs porno.” Kritik Daywin. “Kita perlu belajar bahwa meskipun foto dan sebagian identitas pribadi kita disebar melalui medsos, bukan berarti data tersebut bisa disalahgunakan. Jangan-jangan, Kementerian kita juga baru belajar soal data pribadi.”

Insiden ini seharusnya menjadi momentum Kemenkominfo untuk bermuhasabah. “Memang mereka bisa “cari” siapa yang bikin akun palsu itu, tapi apa gunanya?” Kritik Lintang. “Harusnya itu jadi evaluasi bahwa warganet tidak suka dengan kebijakan Kemenkominfo. Terutama tentang definisi konten negatif yang masih kabur, serta transparansi dan akuntabilitas soal pemblokiran. Anggap saja ini protes dari warga.”

Namun, harapan muluk ini sepertinya bakal menemui jalan buntu. Teranyar, Menteri Kominfo Johnny G. Plate menyatakan bahwa pihaknya tengah melobi Pornhub agar situs tersebut tak dapat diakses dari Indonesia, bahkan lewat VPN sekalipun. Posisi galak dari Menkominfo ini belum terlaksana sempurna. Melalui percobaan mandiri, tim Asumsi.co dapat mengkonfirmasi bahwa situs yang bersangkutan sampai sekarang masih dapat diakses.

“Ini bukan sekadar kasus legal,” pungkas Daywin. “Tapi tontonan lucu.”

Share: Memangnya Kemkominfo Bisa Menuntut Pornhub?