Budaya Pop

Matahari Juga Lockdown?

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Seolah menyesuaikan diri dengan manusia yang dilanda pandemi COVID-19, matahari juga mengurangi aktivitasnya. Peristiwa yang disebut sebagai solar minimum ini dapat diobservasi melalui berkurangnya bintik matahari (sun spots).

Menghilangnya sun spots berhubungan dengan melemahnya gelombang elektromagnetik dan berkurangnya radiasi sinar matahari, sehingga peristiwa ini kerap dihubungkan dengan menurunnya kemampuan matahari menghangatkan permukaan bumi.

Peristiwa ini telah diprediksi oleh ilmuwan NASA David Hathaway, yang meneliti siklus aktivitas matahari sejak tahun 2010. Ia menunjukkan peristiwa solar minimum adalah hal yang biasa terjadi setiap 11 tahun sekali.

Kebalikan dari solar minimum adalah solar maximum. Dalam peristiwa ini, matahari mengalami puncak aktivitas yang ditandai dengan banyaknya sun spots pada permukaan matahari.

Peristiwa solar minimum dapat mempengaruhi banyak hal di bumi. Selain membuat permukaan bumi semakin dingin, hal ini juga dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas vulkanik serta seismik dan berpotensi menyebabkan gempa bumi.

Sebelum ini, bumi telah berulang kali mengalami solar minimum. Yang paling ekstrem ialah pada zaman krisis iklim yang dicatat sejarah sebagai The Little Ice Age. Zaman tersebut terdiri dari beberapa periode solar minimum yakni Wolf Minimum (1280-1350), Spörer Minimum (1450-1550), Maunder Minimum (1645-1715), Dalton Minimum (1790-1820).

Puncak zaman es kecil itu adalah Maunder Minimum yang terjadi selama 70 tahun. Dalam masa ini terjadi penurunan temperatur hingga 2 derajat Celcius. Keadaan dingin tersebut sampai-sampai membuat sungai, danau, serta pelabuhan membeku. Hal ini juga diabadikan dalam lukisan A Frost Fair on the Thames at Temple Stairs karya Abraham Hondius (1684), di mana ia menggambarkan sebuah karnaval yang bertempat di atas Sungai Thames yang membeku.

Maunder Minimum tidak hanya mengubah kondisi permukaan bumi, tetapi juga mendorong perubahan terhadap berbagai hal yang terjadi di atasnya: sistem sosial, ekonomi, serta mekanisme berpikir kolektif. Ia menjadi titik balik peradaban manusia: awal dari Abad Pencerahan.

Sejarawan Philipp Blom menunjukkan kompleksitas yang mengaitkan kelahiran modus produksi dan relasi sosial baru karena cara-cara lama tidak lagi relevan di hadapan krisis iklim tersebut. Masyarakat yang semula memenuhi kebutuhan hidup dengan cara menggarap atau menguasai hasil lahan, beralih menjalin perdagangan dengan mekanisme pasar. Masyarakat yang semula menganggap berbagai krisis sebagai kutukan ilahi, beralih mencari jawaban dengan landasan perangai ilmiah.

Namun, jangan khawatir terhadap musim dingin berkepanjangan dan dampak buruk yang disebabkan solar minimum. Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Rhorom Priyatikanto mengatakan kita tidak akan mengalami krisis yang terjadi seperti pada zaman The Little Ice Age.

“Aktivitas matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem. Era modern lebih siap menghadapi aktivitas matahari yang teramat minimum. Atau setidaknya, global warming memberi kita ‘surplus temperatur’ sekitar 1 derajat,” katanya kepada CNNIndonesia.com.

Tentu saja pendinginan permukaan bumi karena solar minimum bukan alasan untuk abai terhadap pemanasan global. Hasil penelitian Feulner dan Rahmstorf (2010) menunjukkan bahwa menurunnya temperatur karena solar minimum tidak sebanding dengan pemanasan global yang disebabkan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

Share: Matahari Juga Lockdown?