Isu Terkini

Lebaran Betawi, Semua Berkumpul

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melaksanakan “Lebaran Betawi” ke-12 di Silang Monas, Jakarta Pusat. Kegiatan yang akan digelar pada 19-21 Juli 2019 ini mengambil tema “Dengan Budaye Kite Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia”. Ketua panitia, M. Rifqi, menjelaskan bahwa pemilihan Monas tidak hanya karena ia lambang Jakarta, tetapi juga karena Monas simbol nasional untuk kebersamaan. Ia berharap silaturahmi warga Jakarta, khususnya sesama orang Betawi dapat terus berjalan.

“Lebaran Betawi merupakan ajang silaturahmi dari pemerintah dengan warganya, dengan masyarakat Betawi atau Bamus Betawi sebagai perekatnya. Melalui momentum ini kami ingin mengajak warga Jakarta dapat kembali bersatu dan berjabat tangan,” tutur Rifqi.

Pemilihan Silang Monas menjadi semakin unik mengingat dalam beberapa tahun terakhir, Lebaran Betawi diadakan di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Setu Babakan selama ini dipilih karena memang pusat pengembangan budaya Betawi. Perpindahan lokasi ke Silang Monas dilakukan mengingat akses jalan ke Setu Babakan yang memang tidak semudah ke Monas.

Setidaknya dari tahun 2016 hingga tahun 2018, Lebaran Betawi memang rutin digelar di Setu Babakan. Namun, setiap kali acara ini digelar, area Setu Babakan menjadi sangat padat dan macet. Kepadatan paling parah terjadi pada tahun 2017, ketika Presiden Jokowi menghadiri acara tersebut.

Kepadatan dan kemacetan area Setu Babakan membuat warga sekitar melayangkan protes kepada lurah dan camat setempat. Mereka melakukan protes karena merasa kesulitan keluar-masuk rumah. Tidak hanya pemerintah lokal setempat, Badan Masyarakat Musyawarah Betawi (Bamus Betawi) yang turut mendukung acara pun sempat diprotes oleh warga.

“Ada juga surat masuk ke Bamus Betawi, kalau bisa dicari dong lokasinya. Akhirnya kita pikir memang yang paling memungkinkan di Monas,” tutur Rifqi, alias Eki Pitung, seperti dilansir dari Kompas.com.

Eki berharap ke depannya Lebaran Betawi dapat kembali diadakan di Setu Babakan. Harapan ini ditujukan secara khusus kepada pemerintah untuk dapat memperbaiki akses transportasi ke Setu Babakan, sehingga ketika acara Lebaran Betawi dilaksanakan di sana, kemacetan tidak terjadi.

“Kalau pemerintah serius ya, harus diluasin jalanannya, aksesnya bagus, ada busway. Gimana orang mau liat merchandise, tradisi, pertunjukan Betawi, jauh begitu, enggak ada busway,” tuturnya. “Jangan sampai mubazir juga itu Setu Babakan pakai duit Pemda. Kita upayakan dari Bamus Betawi bahwa bicara melestarikan budaya Betawi, biarkan itu lebih pas di Setu Babakan.”

Setu Babakan sebagai tempat Lebaran Betawi sebenarnya ditetapkan oleh Djarot Saiful Hidayat ketika ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Ia tidak ingin Lebaran Betawi berpindah-pindah tiap tahunnya. Namun, kondisi yang tidak memungkinkan membuat Lebaran Betawi harus kembali pindah ke Monas di tahun 2019 ini.

“Lebaran Betawi setiap tahun kami pusatkan di Setu Babakan ini, tidak pindah-pindah lagi. Masa tempat Lebaran pindah-pindah, Pak Presiden, di Monas, Lapangan Banteng, JIExpo. Kenapa harus pindah-pindah kalau kita punya seperti ini,” ujar Djarot saat Lebaran Betawi tanggal 30 Juli 2017, yang secara tidak langsung ditujukan kepada Jokowi yang turut menghadiri acara tersebut.

Asal-muasal Lebaran Betawi

Lebaran Betawi merupakan sebuah ajang silaturahmi bagi warga Jakarta. Namun, acara ini tidak tertutup hanya untuk warga Jakarta atau suku Betawi saja. Makna silaturahmi tampak dari bagaimana acara ini mempertemukan seluruh masyarakat dalam kegiatannya.

Lebaran Betawi pertama kali digagas oleh Amarullah Asbah. Ia merupakan Wakil Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi pada 2008. Kala itu Amarullah merasa bahwa Lebaran Betawi diperlukan sebagai ajang mempertemukan seluruh masyarakat Betawi yang ada di Indonesia. Syaratnya, Lebaran Betawi ini harus diadakan di bulan Syawal, atau setidaknya tidak terlalu jauh dari lebaran Idulfitri yang sebenarnya.

Selain silaturahmi, Lebaran Betawi juga ditujukan sebagai ajang memamerkan kebudayaan Betawi di tengah ingar-bingar kota Jakarta. Beberapa kebudayaan tersebut antara lain seni tari, orkes Betawi, silat berbagai jenis aliran, lukisan, dan kuliner Betawi. Harapannya, budaya Betawi tetap terus langgeng di masyarakat dan tidak hilang di telan zaman.

Budaya Betawi Hasil Akulturasi

Sekilas, Lebaran Betawi mungkin terdengar hanya untuk orang Betawi. Namun, jauh dari itu, kebudayaan Betawi sesungguhnya bersifat sangat terbuka. Ia terbentuk dari akulturasi berbagai macam budaya, termasuk Cina dan Arab.

Budaya Cina tampak di kebudayaan Betawi dalam rancangan pakaian pengantin wanita. Baju pengantin wanita dari Betawi serupa dengan pakaian putri Cina. Selain itu, kebaya encim juga merupakan adaptasi dari budaya Betawi.

Kebudayaan Cina yang diadopsi oleh Betawi juga tampak di seni budaya. Tari Cokek khas Betawi merupakan akulturasi budaya Betawi dengan budaya Cina yang lahir di masyarakat Betawi-Tionghoa yang tinggal di sekitar Teluk Naga, Tangerang. Tarian ini ditarikan oleh penari wanita dengan iringan musik gambang kromong.

Selain budaya Cina, budaya Betawi juga terpengaruh budaya Arab. Hal ini terlihat dari pakaian pengantin pria Betawi yang biasa dikenal dengan Dandanan Care Haji. Busana berjubah warna cerah dari bahan beludru dengan bagian dalam berupa kain berwarna putih yang halus. Tak lupa, mempelai pria menggunakan tutup kepala yang serupa sorban dengan nama Alpie.

Sehari-hari, pakaian pria Betawi juga terpengaruh budaya Arab. Hal ini terlihat dari bagaimana baju Sadariah lengkap dengan tambahan sarung yang digantung di pundak serupa dengan pakaian-pakaian yang dikenakan oleh pria-pria Arab. Tak lupa, sandal terompah juga merupakan adaptasi kebudayaan Arab.

Share: Lebaran Betawi, Semua Berkumpul