General

Labilnya Hubungan Demokrat-Gerindra Menjelang Pilpres 2019

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Deklarasi calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sempat menuai kontroversi tersendiri. Sebelum nama Sandiaga diresmikan menjadi cawapres Prabowo Subianto untuk Pemilu 2019 serentak nanti, ada beberapa nama yang muncul. Salah satunya adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak pertama dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika nama AHY begitu kuat diisukan menjadi cawapres Prabowo Subianto, elektabilitas Partai Demokrat langsung melambung tinggi. Tak lama berselang, ternyata dalam deklarasinya, Sandi lah yang dipilih, bukan AHY. Sontak, kubu Partai Demokrat banyak yang berkomentar tentang hal tersebut, seperti salah satunya adalah Andi Arief. Tidak hanya menjadi satu pembahasan saat itu, ternyata momen tak terpilihnya AHY sebagai cawapres Prabowo menjadi momen awal naik turunnya hubungan Partai Gerindra dan Partai Demokrat.

Ketika AHY tak terpilih saat itu, tentu hubungan Partai Demokrat dengan Gerindra langsung melemah. Sempat ada isu Partai Demokrat akan keluar dari koalisi yang mendukung Prabowo, yaitu Koalisi Indonesia Adil dan Makmur. Namun begitu, dinamika yang terjadi pada bulan Agustus 2018 yang lalu ternyata tidak membuat Partai Demokrat keluar dari koalisi.

Setelah masa-masa awal deklarasi tersebut, hubungan Partai Demokrat-Gerindra pun sempat mereda. Hal ini sampai ketika pernyataan Ketua Komisi Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang menyatakan bahwa akan membebaskan pilihan calon presiden yang akan dipilih. Ibas menyatakan kebebasan tersebut hanyalah permasalahan pilihan personal di dalam bilik. Justifikasi Ibas menyatakan hal tersebut adalah berangkat dari adanya kemungkinan kader Gerindra atau PDIP yang tidak memilih capres-cawapres yang diusung partainya masing-masing. Itu semua hal personal dalam demokrasi. “Apakah partai PDIP dan Gerindra seratus persen kadernya atau simpatisannya juga akan mendukung hal yang sama? Belum tentu. Kembali ke masing-masing pribadi kan, datang ke bilik,” ungkap Ibas di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Minggu (11/11/2018) kemarin.

Tidak hanya sampai di situ, Ibas pun menjelaskan mengapa ia menyatakan pernyataan tersebut. Berdasarkan survei internal Partai Demokrat, mayoritas kader akan memilih Prabowo-Sandi. Meski begitu, ada juga kader-kader yang mengaku akan memilih Jokowi dengan alasan budaya dan wilayah. Tidak akan ada sanksi untuk kader-kader tersebut. “Sekarang kita tidak bisa memberikan punishment (hukuman). Kita hanya bisa menyerukan, tapi kalau memberikan punishment tidak bisa,” tutur Ibas.

Pernyataan ini sontak direspon oleh Gerindra melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani. Dalam responnya, sebenarnya ia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia tidak akan memaksa kader partai koalisi untuk mendukung Prabowo-Sandi. “Kadang-kadang ya kita harus memberikan toleransi terhadap keputusan partai politik tersebut untuk memberi kelonggaran kepada partainya. Karena itu ya kita tidak maksa-maksa lah. Kalau mau berjuang memenangkan Prabowo-Sandi mari bersama-sama, tapi kalau kemudian cara memenangkannya mereka ada cara sendiri, ya mudah-mudahan berhasil,” ungkap Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (13/11/2018) kemarin, dilansir Liputan6.com. Ia pun melanjutkan, “Demokrat saya kira baik-baik saja. Demokrat saya kira berusaha komitmen. Tapi komtimen kan masalahnya enggak gampang.”

Namun ternyata, dalam pernyataannya di waktu yang sama, Muzani melancarkan pernyataan yang cukup menohok untuk SBY. Ia menyatakan kalau SBY belum melaksanakan janjinya berkampanye untuk Prabowo. Muzani mengatakan, “Sejauh ini hubungannya baik, Pak Prabowo dan Pak SBY. Pak SBY juga berjanji akan melakukan kampanye untuk Prabowo dan Sandi walaupun sampai sekarang belum terjadi.”

Ucapan ini lantas dibalas oleh SBY. Dalam cuitan bersambungnya, ia menyatakan kalau Sekjen Gerindra harus mawas diri dan jangan menyalahkan pihak lain. Ia mengambil contoh dari pencalonan dirinya sebagai presiden di tahun 2004 dan 2009 yang ia rasa tidak pernah menyalahkan dan memaksa ketua umum partai lain untuk mengkampanyekan dirinya. Berikut cuitan-cuitan SBY.

Sebenarnya saya tak harus tanggapi pernyataan Sekjen Gerindra. Namun, karena nadanya tak baik & terus digoreng terpaksa saya respons *SBY*— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) November 15, 2018

Hubungan Partai Gerindra dan Demokrat yang sedang memanas ini direspon oleh Mardani Ali Sera, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dengan positif. Bahkan ia setuju dengan SBY bahwa calon presiden harus dapat menjadi superstar yang dapat memaparkan seluruh programnya. “Pak SBY wajar buat tweet seperti itu. Dan sebagai pelaku dua kali menang Pilpres, dan benar isi tweet-nya, superstar-nya, ya capres,” ungkap Mardani pada media, hari ini (16/11/2018), seperti dilansir Liputan6.com. Ia pun merasa momen-momen seperti ini lebih baik dinikmati saja. “Jadi enjoy the game. Dan apa yang terjadi antara kawan Demokrat dan sekutu Gerindra bagian dari pendewasaan koalisi Prabowo-Sandi. Dan itu baik sebagai sebuah proses,” lanjut Mardani.

Sedangkan menurut pengamat politik Rico Marbun perselisihan antara Gerindra dan Demokrat ini justru dapat melukai kohesifitas dari koalisi yang mengusung Prabowo-Sandi. “Perselisihan berulang Gerindra dengan Demokrat akan melukai soliditas dan moral timses,” ungkap Rico Marbun, Kamis (15/11/2018) kemarin, seperti dilansir oleh detik.com,. Tidak hanya merusak moral Prabowo-Sandi, kondisi ini juga dapat menguntungkan Jokowi. “Ujungnya tentu akan menguntungkan Jokowi,”  tutur Rico

Share: Labilnya Hubungan Demokrat-Gerindra Menjelang Pilpres 2019