Isu Terkini

Kriminalisasi Pengguna Narkoba Sebabkan Berbagai Masalah Baru

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Pemerintah Indonesia mengusulkan pemberian amnesti kepada para pengguna narkotika dan mengirimkan mereka ke pusat rehabilitasi. Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, membeberkan masalah lapas di Indonesia yang overkapasitas. Dari lebih dari 260.000 penghuni lapas, 47% di antaranya berasal dari kasus narkotika.

Taufiq Basari selaku anggota Komisi III DPR menyambut positif usul ini. “Sudah saatnya pemerintah berani mengambil pilihan politik hukum untuk menjadikan persoalan pengguna atau pecandu narkotika sebagai health problem, tidak lagi semata criminal problem,” kata Taufiq (29/11).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo punya pandangan berbeda tentang kasus narkotika. Sejak 2015 lalu, ia menyatakan bahwa Indonesia telah darurat narkoba. Jokowi ingin pengedar narkoba ditembak di tempat. “Kejar mereka, tangkap mereka, hajar mereka, hantam mereka. Kalau UU memperbolehkan, dor mereka!” kata Jokowi, dilansir Detik.com pada 2016 lalu. Ia juga menolak memberikan grasi kepada 64 terpidana mati kasus narkoba.

Sikap Jokowi ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati bagi pengguna dan pengedar narkoba. Indonesia termasuk tujuh besar—bersanding dengan Cina, Iran, Malaysia, Arab, Singapura, dan Vietnam.

Pada 2018, “The Death Penalty for Drug Offences: Global Overview 2018” mencatat 130 dari 236 terpidana yang dijatuhi hukuman mati terkait dengan kasus narkoba. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu 75 orang.

ICJR (Institute For Criminal Justice Reform) menilai kebijakan narkotika di Indonesia paling banyak merugikan perempuan. Langkah pemerintah untuk mengkriminalisasi pengguna narkoba tidak mempertimbangkan penyebab di balik terjeratnya perempuan menggunakan narkoba. “Sistem peradilan pidana gagal melihat kerentanan perempuan yang terlibat kasus narkotika. Ada relasi kuasa yang memengaruhi kebebasan perempuan untuk menentukan pilihannya,” kata ICJR dalam laporannya pada (26/06).

Riset ICJR “Analyzing Fair Trial Aspect of Death Penalty for Drug Cases in Indonesia” menemukan contoh-contoh kasus sistem peradilan yang mengabaikan situasi rumit perempuan. Riset tersebut menemukan bahwa lima perempuan yang terpidana mati atas narkotika adalah korban eksploitasi dari laki-laki di sekitarnya, seperti suami, pacar, tetangga, atau bandar narkoba. Tiga terpidana perempuan juga adalah single mother yang sedang punya kesulitan ekonomi.

Stigma Negatif Pengguna Narkoba

Dengan menghukum berat terpidana narkotika, hukum Indonesia memandang pengguna narkoba setara dengan pelaku tindak kriminal berat seperti pembunuhan, terorisme, dan kekerasan seksual terhadap anak. Dari 30 tindak pidana yang termasuk dalam 13 UU yang dapat dijatuhi hukuman mati, hanya empat golongan tersebut yang paling sering diterapkan. Tanpa hukuman mati terhadap para pelaku korupsi, Indonesia seolah menganggap pengguna narkoba lebih berbahaya daripada koruptor.

Pengguna narkoba dipandang sebagai kriminal, bukannya korban. Hal ini selaras dengan persepsi dan stigma negatif yang kerap melekat pada pengguna narkoba. Laporan “The World Drug Perception Problem: Countering Prejudices About People Who Use Drugs” (2017) memaparkan bagaimana pengguna narkotika dipandang negatif di berbagai belahan negara dunia.

Mayoritas penduduk Amerika Serikat mendeskripsikan pengguna kokain sebagai orang yang “tidak punya masa depan,” “pemalas,” dan “hanya memikirkan diri sendiri.” Orang-orang di Nigeria menganggap pengguna narkoba sebagai orang yang “tidak berguna,” “tidak bertanggung jawab,” dan “tidak pantas hidup.” Orang-orang di negara lain seperti Maroko, Tunisia, Mesir, Lebanon, Pakistan, dan Afghanistan juga punya persepsi serupa. Pengguna narkoba dideskripsikan sebagai orang yang “harus dihukum,” “jahat,” “kurang ajar,” dan “berdosa.”

Para pengguna narkoba dipinggirkan oleh masyarakat dan dianggap sebagai liyan. Akhirnya, penggunaan dan kecanduan narkoba dianggap sebagai permasalahan individu, bukan sesuatu yang bersifat struktural dan disebabkan oleh lingkungan.

Eksperimen dengan tikus percobaan membantah persepsi itu. Awalnya, peneliti meletakkan tikus dalam ruangan terisolasi dan menempatkan dua botol air minum di dalamnya: yang pertama berisi air biasa, yang kedua mengandung larutan kokain atau opium. Si tikus memilih air narkoba dan berakhir overdosis. Penelitian ini dianggap punya kelemahan: si tikus ditempatkan dalam ruangan terisolasi dan tak punya alternatif aktivitas lain selain narkoba.

Para peneliti pun memperbarui eksperimen itu dengan menempatkan tikus percobaan di situasi berbeda yang disebut “Rat Park.” Lebih dari satu tikus hidup secara kolektif di lingkungan yang menyediakan berbagai aktivitas untuk mereka: roda berputar, bola warna-warni, dan lain-lain. Mereka juga diberikan akses bebas ke air biasa dan air larutan opium. Di eksperimen ini, konsumsi opium tikus sangat rendah dan tidak menyebabkan overdosis.

Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sekitar punya pengaruh signifikan terhadap pola konsumsi narkotika seseorang. Ketika seseorang berada di situasi penuh tekanan dan tak punya alternatif solusi lain selain mengonsumsi narkoba, risiko orang tersebut untuk kecanduan akan jadi lebih besar.

Lebih dari 40% prajurit perang Amerika Serikat di Vietnam juga dilaporkan mengonsumsi heroin dan opium. Menariknya, ketika para prajurit ini selesai perang, kembali ke daerah masing-masing, dan keluar dari situasi penuh tekanan tersebut, mayoritas pengonsumsi narkoba ini tidak melanjutkan kebiasaan mereka. Hanya 1% prajurit yang masih kecanduan heroin setelah selesai perang.

Penjara Bukan Solusi

Mengontrol penggunaan narkotika dengan mengkriminalisasi pengguna narkoba justru sering kali menimbulkan permasalahan baru. Laporan “Treatment or Incarceration?” oleh Justice Policy Institute (2014) menemukan bahwa 95% pecandu narkoba yang masuk penjara akan kembali menjadi pengguna narkoba setelah keluar dari penjara.

Penjara juga jadi salah satu tempat paling mudah untuk menyelundupkan narkoba. Hasil penelitian dari Universitas Yale pada 2014 menunjukkan bahwa 56% penghuni penjara di Jakarta mengonsumsi narkoba. Dalam penjara, seseorang juga justru lebih terekspos kepada perdagangan narkoba ilegal dan opsi narkotika yang lebih beragam.

“Advancing Drug Policy Reform: A New Approach To Decriminalization” oleh Global Commission On Drug Policy (2016) mencatat bahwa mengkriminalisasi penggunaan narkoba didorong oleh kesepakatan drug control PBB pada pertengahan abad ke-20. Sejak kesepakatan itu disahkan, penggunaan narkoba justru meningkat.

Jumlah pengguna narkoba pada 2014 meningkat 33% dari tahun sebelumnya, yaitu dari 185 juta orang mejadi 247 juta. Penanaman opium ilegal pun mencapai puncaknya pada 2014, yaitu sebanyak 320.000 hektare. Sementara itu, produksi kokain meningkat sebanyak 38% dalam rentang 2013 sampai 2014.

“Banyak faktor menjadi penyebab peningkatan penggunaan narkoba. Namun, hasil observasi menunjukkan pendekatan punitif gagal menghapuskan pasar. Lebih buruk lagi, pendekatan ini telah menyebabkan permasalahan kesehatan dan sosial. Pelanggaran HAM terjadi atas nama drug control: hukuman mati, pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, brutalitas polisi, dan program-program pengobatan yang tidak manusiawi,” sebut Global Commission On Drug Policy.

Perang melawan narkoba jadi wacana yang ditetapkan di berbagai negara, seperti Thailand, Brazil, dan Meksiko. Di Thailand, wacana ini pertama kali diluncurkan pada 2003. Sejak itu, hingga 2.800 orang dibunuh tanpa proses hukum.

Polisi militer di Brazil membunuh lebih dari 1.200 orang terkait kasus narkotika selama 2010-2013. Amnesty International menemukan 9 dari 10 pembunuhan itu dilakukan tanpa proses hukum, 79% korbannya adalah orang kulit hitam, dan 75% korban berusia 15-29 tahun. Di Meksiko, diperkirakan terjadi 160.000 pembunuhan dan penghilangan 25.000 orang terkait kasus narkotika selama 2006-2014.

Mengkriminalisasi pengguna narkoba juga dilaporkan telah menyebabkan munculnya wabah virus HIV dan hepatitis C. Dari 16 juta orang yang menginjeksikan narkoba ke tubuhnya, lebih dari 60% di antaranya mengidap hepatitis C dan 13% di antaranya terkena virus HIV. Pengguna narkoba memilih jalur suntik agar tidak terdeteksi oleh penegak hukum.

Dekriminalisasi Pengguna Narkoba

Negara-negara yang memilih untuk mendekriminalisasi pengguna narkoba justru berhasil menekan angka pecandu narkoba, perdagangan narkotika ilegal, hingga berhasil menekan pengeluaran negara terkait dengan anggaran penjara dan kesehatan.

Portugal, misalnya, tidak lagi mengkriminalisasi penggunaan narkoba pribadi sejak 2001. Orang-orang yang memiliki narkoba dengan jumlah sedikit tidak dipenjara, tetapi diarahkan ke sebuah komite yang akan menentukan apakah mereka butuh bantuan rehabilitasi atau tidak. Sejak itu, jumlah pengguna narkoba di kalangan rentan berkurang, meningkatnya jumlah orang yang mengakses treatment, berkurang secara drastisnya transmisi HIV di kalangan pengguna narkoba, dan berkurangnya kematian yang disebabkan oleh narkoba.

Republik Ceko juga jadi salah satu negara dengan persentase pengidap HIV terendah karena tidak mengkriminalisasi pengguna narkoba. Begitu juga dengan Belanda yang justru melegalkan perdagangan marijuana di tempat-tempat tertentu. Melegalkan marijuana jadi salah satu upaya pemerintah Belanda untuk menghindari paparan narkoba berisiko tinggi. Belanda jadi negara dengan jumlah pecandu narkoba terendah di Eropa.

Inisiatif pemerintah Indonesia sendiri untuk memberikan amnesti bagi pengguna narkoba didukung oleh ICJR. Menurut mereka, penting untuk mengambil pendekatan kesehatan untuk menangani pengguna narkoba. Sebab, kriminalisasi hanya menyebabkan masalah overkapasitas penjara, peredaran gelap narkotika di lapas, hingga tidak diberikannya layanan rehabilitasi.

“Ke depannya, dalam revisi UU Narkotika, Pemerintah dan DPR harus menjamin mekanisme yang jelas untuk merehabilitasi dan memandang pengguna narkotika sebagai korban peredaran gelap narkotika,” tutur ICJR.

Share: Kriminalisasi Pengguna Narkoba Sebabkan Berbagai Masalah Baru