General

Klaim Jumlah Peserta Reuni 212, Bukti Mengumpulkan Massa Lebih Mudah Dibanding Buat Perubahan

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Agenda reuni 212 telah berlalu, tapi masih saja ada hal yang jadi bahan perdebatan. Hingga kini, beberapa pihak saling klaim terkait masalah kisaran jumlah peserta reuni yang hadir di Kawasan Monas, 2 Desember 2018 kemarin.

Ketua Media Center Reuni 212 Novel Bamukmin memperkirakan jumlah peserta yang hadir mencapai tiga juta jiwa. Namun, Klaim Polri mengatakan bahwa jumlah massa hanya sekitar 40 ribuan orang. Perkiraan itu jauh berbeda dengan yang taksiran Ketua Panitia Reuni Akbar Mujahid 212 Ustadz Bernard Abdul Jabbar yang menyatakan bahwa ada sekitar 8-10 juta orang yang berpartisipasi. “Kalau dulu sekitaran tujuh juta, tapi sekarang menurut informasi dari media yang menggunakan drone, itu hampir sekitar 8-10 juta yang hadir,” ujar Bernard.

Terkaan Ustadz Bernard itu langsung ditanggapi oleh politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kapitra Ampera melalui unggahannya di akun Twitter @kapitraampera.

“Penduduk Jakarta itu cuma 9 orang, kalau yang ikut aksi 8 juta orang, Dibutuhkan 800 hektare tanah untuk posisi berdiri/duduk peserta aksi, Hampir seluruh Jakarta ditempati oleh peserta aksi…! Rasionalkan?,” tulis Kapitra pada 2 Desember 2018.

Postingan itu banyak menimbuilkan reaksi dari warganet, bahkan kader Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean juga ikut memberikan reaksinya. “Bung Kapitra, 1 Mtr persegi itu bila dalam posisi berdiri, mk akan menampung 8-10 orang. Jadi untuk 8 juta orang dibutuhkan sekitar 100 Ha. Bkn 800 ha,” tulis Ferdinand membalas cuitan Kapitra.

Lalu, mengapa jumlah begitu penting untuk diperdebatkan dalam agenda yang katanya hanya untuk ajang silaturahmi antar umat? Entah itu 40 ribu ataupun 8 juta orang peserta, semua yang melihat dokumentasi reuni 212 itu bisa menyimpulkan, bahwa untuk mengumpulkan massa di Indonesia saat ini bukanlah perkara yang sulit.

Sayangnya tak banyak pihak yang memanfaatkan kesempatan berkumpul itu untuk dijadikan ajang penuntasan kasus-kasus yang masih mengambang di Republik Indonesia ini. Jika saja para peserta reuni alumni aksi 212 kemarin membawa satu saja isu yang bisa dibenahi di Tanah Air, tentu menjadi satu kesempatan yang baik untuk mendesak pemerintah memperbaiki sistem negaranya dengan segera.

Dibanding sekedar ajang bersilaturahmi dan festival ceramah tiada henti, para alumni 212 tentu terlihat lebih bijak jika mengangkat masalah-masalah yang masih menjamur hingga saat ini, seperti;

Isu Korupsi

Seperti kabar yang selalu kita dengar hampir tiap minggunya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap mendapatkan tersangka baru dari berbagai instansi. Padahal, jika melihat dari berbagai kitab di tiap agama, semuanya memiliki ayat tentang larangan mencuri.

Jika aksi 212 tahun lalu mengangkat isu tentang penistaan agama, bukankah mereka para koruptor juga termasuk penista agama?

Ditambah lagi kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan yang hingga kini belum terungkap. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, kepolisian RI belum menemukan titik terang terkait kasus penyiraman Novel Baswedan. “Laporannya, kepolisian belum menemukan titik terang,” ujar Agus Rahardjo, di Jakarta Selatan, pada Selasa, 4 Desember 2018 kemarin.

Padahal, sudah setahun lebih sejak Novel Baswedan diserang orang tak dikenal pada April 2017. Novel disiram menggunakan air keras seusai salat subuh di Masjid Al-Ihsan. Namun, hingga kini, polisi belum juga menangkap pelaku penyerangan.

Jika memang alumni 212 peduli dengan silaturahmi antar umat Islam, bukankah kasus Novel Baswedan patut dijadikan bahan desakan bagi pemerintah?

Isu Lngkungan

Dalam artikel Asumsi.co Belajar dari Reuni Akbar 212 yang terbit Senin, 3 Desember 2018 kemarin, tertulis bahwa banyak himbaun tentang larangan membuang sampa, namum banyak juga yang menghiraukannya.

“Sayangnya, sampah masih menjadi persoalan setelah acara selesai. Meskipun sudah ada peringatan dan himbauan untuk tidak menyampah, dan bahkan sudah ada pihak-pihak yang secara sukarela membantu membersihkan sampah-sampah yang berserakan, permasalahan sampah ini masih tidak terselesaikan.”

Hal itu menjadi bukti bahwa saat ini mengumpulkan ratusan, ribuan, ataupun jutaan orang di Indonesia di satu tempat adalah perkara yang mudah. Sayangnya, untuk memberikan kesadaran di satu kelompok itu masih sangat sulit. Meski para peserta reuni 212 bisa serempak mengenakan baju berwarna putih, namun untuk masalah lingkungan mereka masih belum bisa kompak.

Tema lingkungan memang sering absen dalam tiap perdebatan yang kerap kita saksikan di televisi. Apa yang disajikan untuk publik masih belum beranjak dari politik identitas. “Isu lingkungan kalah dengan isu-isu semacam wajah Boyolali,” kata Kepala Departemen Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid, saat konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Senin, Desember 2018 kemarin.

Isu HAM

Sempat dikabarkan bahwa agenda reuni 212 kemarin bermuatan politik, apalagi ada kehadiran calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, dan ada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang memberikan laporan mengenai pencapaiannya selama menjadi gubernur.

Telah diketahui publik bahwa Prabowo Subianto sendiri kerap dilemparkan isu terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, publik juga mengetahui, lawannya yaitu calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) berada di lingkaran orang-orang yang juga memiliki masa kelam yang sama dengan Prabowo. Santer dikabarkan, bahwa hal itulah yang menjadi penyebab Jokowi tak kunjung menuntaskan masalah pelanggaran HAM.

Namun, miris, alumni 212 lebih suka saling klaim terkait jumlah peserta aksi dibanding mengangkat isu tentang HAM. Maka tak heran, isu HAM baik itu yang di masa lalu maupun yang baru saja terjadi akan dianggap angin lalu oleh pemerintah atupun opisisi.

Winda CS adalah penulis tetap Asumsi.co.

Share: Klaim Jumlah Peserta Reuni 212, Bukti Mengumpulkan Massa Lebih Mudah Dibanding Buat Perubahan