Budaya Pop

Kita Perlu Berbicara Tentang Boomersplaining

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Selalu ada cara untuk menyiksa diri sendiri. Salah satunya adalah dengan memperhatikan tingkah para boomers yang bercokol di pucuk kekuasaan. Barangkali didorong semangat tahun baru, belakangan ini ada saja amunisi pernyataan ajaib atau perilaku gemilang yang membuat kepala migrain.

Ambil contoh Dewan Pengawas TVRI yang memecat Helmy Yahya karena menayangkan Liga Inggris. Pledoi mereka? Liga Inggris bukan jati diri bangsa. Atau Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang kabarnya membuka kemungkinan mengganjar fatwa haram terhadap Netflix, meski mereka cepat-cepat menyanggahnya.

Namun, pamungkas dari perilaku gemilang ini tentu hadir dari bapak Johnny G. Plate. Bukan, kita tidak akan membicarakan permintaannya yang ganjil kepada Pornhub atau perangnya yang tidak habis-habis melawan Netflix. Pada Indonesia Millenial Summit (18/1), beliau menggembar-gemborkan kemajuan infrastruktur digital Indonesia seraya menghimbau agar milenial “ambil bagian di industri” tersebut. Ia menutupnya dengan himbauan brilian: “Milenial perlu kenal kemajuan digital Indonesia.”

Gih, silakan tepok jidat. Kami kasih waktu.

Kami tidak punya dendam kesumat kepada bapak Johnny. Ada alasan genting pernyataan ajaib ini kami bawa-bawa lagi. Meski ia tampak seperti perwujudan “Ok Boomer” paripurna, sesungguhnya Johnny G. Plate hanyalah riak kecil di samudra yang luas. Para boomers yang menyesaki posisi kuasa punya kebiasaan memantik keributan tak penting tentang kehidupan anak muda. Fenomena ini punya nama: boomersplaining.

Sederhananya, boomersplaining adalah istilah lain untuk kebiasaan boomers, terutama yang berada dalam posisi kuasa, berceramah tentang kehidupan dan budaya anak muda kepada para “milenial”. Istilah ini mulai berseliweran menjelang Pilpres 2016 di Amerika Serikat, bahkan pernah dituduhkan kepada Bill Clinton saat ia angkat bicara tentang feminisme. Sebelum Ok Boomer menjadi teknik paling mutakhir untuk membungkam celoteh boomer, boomersplaining merangkum kecenderungan mereka untuk bacot.

Sebenarnya wajar-wajar saja bila para boomers di tampuk kekuasaan begitu getol ingin ikut campur dengan kehidupan anak muda. Indonesia diprediksi akan mencapai “bonus demografi” pada 2030, di mana jumlah penduduk berusia produktif lebih banyak ketimbang usia tidak produktif. Anak muda diperebutkan suaranya pada tiap pemilihan umum, dan istilah “milenial” dilempar oleh tiap instansi pemerintahan dengan asal supaya mereka terlihat cekatan, inovatif, dan berpikiran maju.

Katakan bersama kami: anak muda adalah aset bangsa.

Namun ketika kita bicara tentang anak muda atau “milenial”, anak muda mana yang kita maksud? Penelusuran menarik dari The Jakarta Post membeberkan bahwa mayoritas anak muda Indonesia bukanlah pekerja kreatif yang tinggal di perkotaan dan hobi menyeruput kopi menghadap senja. Kebanyakan “milenial” Indonesia berpendidikan setingkat SMA, memegang pekerjaan jasa dengan pangkat rendah, dan pendapatannya mentok di angka Rp 2,1 juta.

Temuan dari BPS (2017) juga mendapati bahwa hanya 1,4% milenial memegang pekerjaan setara manajer dan hanya 7% memegang pekerjaan profesional. Sisanya serabutan di sektor informal atau kerah biru. Kepemilikan properti adalah angan-angan untuk mereka. 81 juta milenial di Indonesia belum memiliki rumah akibat lonjakan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan upah pekerja dan tingkat inflasi.

Ariane Utomo, seorang ahli demografi sosial yang diwawancarai The Jakarta Post, menyatakan bahwa prediksi bonus demografi “bisa jadi bersandar pada asumsi yang tidak lagi tepat”. Indonesia tengah mengalami “deindustrialisasi prematur” yang menghabisi sektor manufaktur, dan milenial saat ini menghadapi perubahan besar-besaran tentang definisi “kerja” itu sendiri.

Menurut Pete Robertson dari Universitas Edinburgh Napier, karier pada abad 21 akan menjadi “tanpa batas, berdasarkan portofolio, dan protean (pekerja mengubah diri sesuai kebutuhan).” Prediksinya kelam: tak ada lagi pekerjaan seumur hidup. Semua orang harus memegang lebih dari satu pekerjaan, dan loncat dari satu proyek ke proyek lainnya tanpa kepastian terkait jaminan kerja atau jenjang karier. Di masa depan, mau tidak mau semua orang akan menjadi pekerja prekariat.

Menulis untuk The Jakarta Post, Shah Suraj pun memperingatkan kita bahwa penyedia pekerjaan musiman kayak begini bakal menciptakan stagnasi ekonomi di masa depan. Ia menyebut fenomena ini sebagai “jebakan keterampilan”. Seorang pengemudi Go-Jek akan selalu jadi pengemudi Go-Jek. Ia tidak mendapat keterampilan baru, atau memiliki peluang yang jelas untuk meningkatkan pangkat dan derajatnya. Atas imbas kemerosotan ekonomi, pekerja terampil pun mau tidak mau beralih ke pekerjaan jasa yang memerangkap mereka.

Retorika “anak muda aset bangsa” juga punya masalah mendasar yang terang belaka. Anak muda sekadar dipandang sebagai aset, bukan sebagai manusia. Ada anekdot yang menggelikan terkait hal ini: siang tadi (23/1), seorang karyawan di Gedung BRI 2, Jakarta, dicurigai mengidap virus Corona yang menular dari Cina. Setelah seluruh gedung dikarantina, rupanya karyawan itu hanya sakit tenggorokan. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto lantas meratapi “kerugian” ekonomi dari penutupan gedung tersebut. Prioritasnya adalah pemasukan, bukan fakta bahwa seseorang selamat nyawanya.

Seharusnya kita tidak kaget. Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja terus digas meski ditolak kubu buruh yang merasa rancangan undang-undang tersebut berat sebelah dan bakal mewujudkan kerentanan pekerja. Karpet merah dibentangkan untuk industri batubara meski dampaknya terhadap kerusakan lingkungan telah terang benderang. Iuran BPJS dinaikkan sebab “kalau sehat itu murah, orang menjadi sangat manja.” Apabila rakyat — termasuk anak muda —  dipandang sekadar aset bangsa, maka kita bakal diperlakukan seperti barang.

Hal inilah yang membuat boomersplaining begitu menjengkelkan. Pejabat tinggi pemerintahan kita tak hanya ngawur mendefinisikan sosok anak muda Indonesia. Kebijakan yang mereka hasilkan dan amalkan juga secara terang-terangan bikin kehidupan anak muda lebih sengsara di hari ini dan masa depan.

Dalam kondisi itu, hal terakhir yang ingin kami dengar adalah ceramah gemilang seorang pejabat tentang kehidupan anak muda. Aneh betul mendengar seorang Menteri mengimbau anak muda memahami kemajuan digital sementara ia sendiri tidak paham. Aneh sekali mendengar Dewan Pengawas berkilah bahwa Liga Inggris bukan jati diri bangsa, sementara jati diri suatu bangsa terus berubah dan toh kita juga yang akan menentukan jati diri itu di masa depan.

Keadaan juga tak akan membaik dalam waktu dekat. Boomersplaining tingkat dewa termaktub dalam serangkaian RUU ajaib yang bertebaran di Prolegnas 2020-2024. Misalnya RUU tentang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, RUU tentang Ketahanan Keluarga, RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, serta RUU tentang Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual.

Apakah semua ini penting ketika angkatan anak muda didominasi oleh jebolan SMA yang terpaksa bekerja alih-alih kuliah, banting tulang menjadi supir ojek daring atau pekerja proyek, dan tak punya pemasukan tetap? Apakah berantem soal Netflix demi menjaga “norma sosial” bangsa penting? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Mungkin kita harus menunggu alam mengerjakan tugasnya, dan generasi baru anak muda naik ke tampuk kekuasaan. Tetapi hal ini juga tidak tepat dilakukan. Bila semua orang diam, yang akan menggantikan mereka adalah elit yang sama-sama saja. Ada anak singkong di Stafsus, tetapi tidak ada anak tukang becak.

Atau, paling tidak kita bisa berhenti menganggap serius para boomers ini dan mulai mengorganisir diri, menyemai gagasan baru, dan mengangkat derajat satu sama lain. Masa depan kita tidak boleh ditentukan oleh orang-orang yang tak akan hidup untuk melihatnya.

Share: Kita Perlu Berbicara Tentang Boomersplaining