Isu Terkini

Kesenjangan Akses Amat Besar, Program Belajar Daring Belum Berhasil

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Gagasannya cemerlang, penerapannya yang kurang. Sejak akhir Maret lalu, puluhan juta murid di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh atau daring demi mengurangi dampak pandemi COVID-19. Namun, riset terbaru dari Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) mendapati bahwa program tersebut tak diwujudkan dengan baik di lapangan.

Pada 24 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim melepas Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19. Lewat surat sakti tersebut, Mendikbud mengumumkan bahwa Ujian Nasional (UN) tahun 2020 dibatalkan, pembelajaran daring diterapkan, dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat dialihkan untuk pengadaan alat kebersihan dan membiayai pembelajaran jarak jauh.

Hanya, Mendikbud Nadiem mengakui penerapannya tak semulus dugaan. Pada acara peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemendikbud pekan lalu (2/5), ia mengaku “kaget” bahwa banyak siswa tak memiliki akses listrik dan sinyal internet memadai. “Ada yang bilang tidak punya sinyal televisi. Bahkan ada yang bilang tidak punya listrik. Itu bikin saya kaget luar biasa,” katanya.

Menurut Nadiem, kondisi tersebut tak terbayangkan bagi dirinya yang hidup di Jakarta. Ia pun menyadari bahwa pandemi ini kian menelanjangi ketimpangan yang mengakar di Indonesia.

“Pembelajaran nomor satu adalah jurang atau ketidakmerataan di Indonesia itu luar biasa,” lanjutnya.

Riset terbaru dari INOVASI terhadap 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur mengonfirmasi ketimpangan tersebut. Sebelum ada putusan resmi Kemendikbud, 76% orang tua murid mengaku telah mulai menerapkan kebijakan belajar dari rumah sejak pekan ketiga (16-22) Maret.

Namun, kenyataannya, hanya sekitar 28% anak yang sanggup belajar menggunakan media daring untuk belajar maupun menggunakan aplikasi belajar daring. Adapun 66% pelajar menggunakan buku dan lembar kerja siswa, dan 6% orang tua menyatakan tidak ada pembelajaran sama sekali selama siswa diminta belajar dari rumah.

Faktor geografis pun berpengaruh. Semakin jauh lokasi seorang murid dari “pusat pembangunan” di Jawa, semakin terkucil ia dari pembelajaran daring. Di Jawa Timur, 40% responden menyatakan anak mereka dapat mengakses pembelajaran daring. Angka ini merosot di NTB, di mana pembelajaran daring kurang dari 10%, dan menurun lagi di NTT (hanya 5%).

Anak-anak yang memiliki akses pembelajaran daring umumnya memiliki orang tua yang bekerja sebagai karyawan pemerintah (39%) dan wiraswasta (26%), dan memiliki latar belakang minimal S1 (34%) dan SMA (43%). Padahal, mayoritas responden yang diminta melakukan pembelajaran daring bekerja sebagai petani (47%) dan berpendidikan SD (47%).

Artinya, akses pembelajaran daring tak hanya ditentukan lokasi, tetapi juga tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi orang tua.

Selain itu, beban mendampingi anak pun lebih banyak ditanggung perempuan. Dalam sehari, mayoritas ibu (33% responden) menghabiskan 2-3 jam mendampingi anak dalam kegiatan belajar mengajar.

Hal ini kontras dengan mayoritas ayah (44%) yang menghabiskan kurang dari satu jam untuk mendampingi anak. Proses seperti komunikasi dengan guru, mendampingi proses belajar, membantu anak memahami materi, dan menyediakan alat pendukung pembelajaran sangat dibebankan pada Ibu.

Bila merujuk pada data serupa tentang akses teknologi informasi di Indonesia, kita semestinya tak kaget dengan temuan INOVASI. Dalam Survey Penggunaan TIK 2017 dari Balitbang SDM Kemenkominfo, ketimpangan akses teknologi informasi terpampang nyata. Data tersebut memberikan kesimpulan yang terang benderang: teknologi informasi hanya diakses segelintir orang, dari kelas sosial tertentu, dengan strata pendapatan tertentu pula.

Menurut survei tersebut, 92,03% responden tidak memiliki komputer, dan kepemilikan komputer hanya 3,77% di wilayah rural. Pemilik komputer kebanyakan bekerja di pemerintahan, seperti sebagai PNS/TNI/Polri (27,41%) atau Perangkat Desa non-PNS (17,95%). Sementara, cuma 1,17% petani dan 1,80% buruh/tukang/pedagang yang memiliki komputer.

Dari segi pengeluaran, 45,45% responden dengan pengeluaran bulanan Rp10 juta ke atas memiliki komputer, sementara hanya 7,45% responden dengan pengeluaran Rp1-2 juta per bulan memiliki komputer.

Kita mendapati data serupa soal kepemilikan laptop. 21,36% responden mengaku tidak memiliki laptop, dan hanya 13,66% responden tinggal di wilayah rural dan memiliki laptop. Dari segi pengeluaran, 81,82% responden dengan pengeluaran bulanan Rp 10 juta ke atas memiliki komputer, sementara hanya 21,16% responden dengan pengeluaran Rp 1-2 juta per bulan memiliki komputer.

Pola serupa pun terbaca pada pekerjaan pemilik laptop di Indonesia. Kebanyakan responden bekerja sebagai PNS/TNI/Polri (68,41%), Karyawan Swasta (50,92%), dan Perangkat Desa non-PNS/Honorer (47,25%). Sementara itu, hanya 7,7% pedagang/buruh/tukang yang memiliki laptop, dan hanya 3,77% petani yang memiliki laptop.

Semakin parah, hanya 9,71% rumah tangga responden yang memiliki akses internet berlangganan. Kalaupun mereka memiliki internet baik dari internet berlangganan atau ponsel pintar, belum tentu sinyalnya andal dan cepat.

Dalam laporan koneksi 4G global pada Mei 2019, OpenSignal menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 87 negara dengan kecepatan 6,9 Mbp/s. Artinya, kecepatan internet kita hanya sedikit di atas Thailand, Kamboja, dan Bangladesh. Tetapi kita masih kalah cepat dari Singapura, Myanmar, Vietnam, dan Filipina.

Tahun lalu, eks-Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pun mengakui bahwa internet di Indonesia “belum merdeka”, sebab belum dinikmati secara merata oleh masyarakat. Sebab kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, kita mesti susah payah membangun kabel optik lewat jalur laut. Imbasnya, kualitas layanan internet di Indonesia bagian Barat dan Timur belum merata.

Untuk menyiasati keterbatasan ini, para periset INOVASI mengusulkan Kemendikbud memadukan pendekatan belajar jarak jauh dengan pembelajaran tatap muka dalam kondisi tertentu. Di daerah terpencil tapi belum masuk zona merah dan kuning, tulis mereka, pemerintah daerah dapat memberdayakan komunitas desa seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM), kelompok pemuda, pengurus Posyandu, dan perangkat desa.

Sumber daya desa dan BOS pun dapat dipakai untuk membeli paket pulsa, akses internet, dan prasarana lainnya yang dapat mendukung kegiatan belajar mengajar dengan anak. Langkah Kemendikbud bersiasat dengan menyediakan pembelajaran melalui TVRI dan RRI pun dianggap tepat, meski penerapannya kembali mesti diuji di lapangan.

Pertarungan melawan pandemi COVID-19 adalah pertarungan jangka panjang. Tugas kita adalah memastikan bahwa setelah badai reda, tak satu pun anak yang tertinggal hanya karena keadaan.

Share: Kesenjangan Akses Amat Besar, Program Belajar Daring Belum Berhasil