Isu Terkini

Keperawanan Tidak Menentukan Harga Diri Seseorang

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Keperawanan adalah konstruksi sosial. Ketika seseorang berhubungan seks untuk pertama kali, ia tidak benar-benar kehilangan sesuatu. Namun, “losing virginity” merupakan istilah yang lumrah untuk menyebut pengalaman tersebut.

Padahal, keperawanan bukan sesuatu yang bisa diuji. Tes hymen, yang dulu kerap disebut selaput dara, untuk memeriksa apakah seorang perempuan masih perawan, sama sekali tidak punya basis saintifik. Artikel akademik “The little tissue that couldn’t – dispelling myths about the Hymen’s role in determining sexual history and assault” menegaskan bahwa pemeriksaan ini tak bisa dijadikan landasan untuk menentukan apakah seseorang aktif secara seksual.

Terlepas dari itu, di banyak tempat, harga diri atau nilai seseorang seringkali masih dinilai berdasarkan hal tersebut. Pemeriksaan hymen pun masih terjadi meski dunia medis telah menolaknya. Di Indonesia, baru-baru ini, seorang atlet senam SEA Games 2019 mengaku dipulangkan karena dinilai tidak disiplin dan sudah tidak perawan.

Kasus lainnya: calon istri perwira TNI mesti melalui tes keperawanan. Untuk dapat menikah, seorang polisi atau tentara mesti mendapatkan surat izin pernikahan dari komandan mereka. Sang komandan seringkali baru mau menerbitkan izin jika si perempuan bersedia menjalani tes keperawanan.

“Mengetahui perawan atau tidak perawan, kata mereka, adalah cara halus mencegah istri gila seks jika ditinggal suami bertugas,” kata seorang calon istri tentara, dilansir oleh BBC. Ia menolak tes tersebut sehingga rencana pernikahannya berjalan di tempat.

Selain calon istri, praktik tes keperawanan juga mesti dilalui calon polisi dan tentara perempuan. Tes ini juga sempat menjadi wacana persyaratan masuk sekolah di Jambi dan di Sumatera Selatan, dan diusulkan oleh anggota DPRD Jember sebagai syarat kelulusan siswa di Jember.

Menurut WHO, tes keperawanan juga masih dipraktikkan di 19 negara lainnya. Di Afghanistan, misalnya, seorang perempuan bisa dipenjara jika terbukti sudah tidak perawan. Selain itu, rapper TI asal Amerika Serikat juga mengaku kerap mengantar anak perempuannya ke dokter untuk memeriksakan keperawanannya.

Tes Keperawanan adalah Kekerasan Seksual

WHO dan PBB menganggap uji keperawanan adalah pelanggaran HAM dan tergolong kekerasan seksual. Metodenya yang paling umum ialah “two-finger test,” di mana si pemeriksa memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam vagina untuk mengetahui keutuhan hymen.

Proses pemeriksaan ini seringkali dilakukan tanpa persetujuan perempuan terperiksa. Mereka kerap kesakitan, bahkan mengalami perdarahan atau infeksi. Selain dampak fisik, perempuan yang menjalani tes ini juga kerap mengalami trauma.

Korban perkosaan kerap mesti melalui tes ini untuk membuktikan bahwa mereka telah diperkosa. Proses pemeriksaan ini sering disebut sebagai “perkosaan kedua”. Seorang perempuan korban penculikan anggota ISIS, misalnya, dijadikan budak dan diperkosa berkali-kali. Setelah berhasil menyelamatkan diri dan mengungsi di Irak, ia mesti melalui uji keperawanan sebagai bagian dari pemeriksaan pascapemerkosaan. Tes ini disetujui dan dianggap legal oleh pengadilan Irak.

The International Forensic Expert Group (IFEG) menyusun dokumen pernyataan terkait uji keperawanan. “Uji keperawanan adalah praktik yang tidak bisa diandalkan secara medis, diskriminatif, dan menyebabkan penderitaan fisik dan psikis jika dilakukan secara paksa,” mereka menyimpulkan. IFEG juga menyatakan pemeriksaan yang dilakukan secara paksa ini dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual atau perkosaan, dan ahli medis yang terlibat telah melakukan pelanggaran kode etik profesi.

Bentuk-bentuk trauma yang kerap dialami korban pemeriksaan paksa ini antara lain kecemasan, depresi, dan gangguan PTSD (post-traumatic stress disorder). Rasa bersalah dan malu datang, membuat korban menjadi self-destructive, menyakiti diri sendiri, hingga melakukan bunuh diri.

Para perempuan yang “tak lulus” pemeriksaan ini juga rentan dihinggapi stigma negatif. WHO mencatat kasus-kasus perempuan yang dikucilkan, menjadi korban kekerasan, hingga kesulitan memperoleh kerja, melanjutkan studi, atau diceraikan setelah hasil pemeriksaan menunjukkan mereka sudah tidak perawan. Banyak perempuan yang dipukuli, diperkosa, hingga dibunuh. Pembunuhnya disebut telah melakukan “honor killing” dan si korban dianggap pantas menerima hal tersebut karena telah mempermalukan nama keluarga.

WHO memberikan beberapa rekomendasi bagi ahli medis, pemerintah, dan publik agar uji keperawanan bisa dihilangkan. Tenaga medis dan pendidik kesehatan mesti memperbarui referensi mereka dan menyediakan informasi akurat tentang praktik berbahaya dari uji keperawanan. Tenaga medis juga didorong untuk mengadvokasi pentingnya meninggalkan praktik ini di komunitas mereka. Sementara itu, pemerintah berkewajiban mengimplementasikan regulasi yang melarang praktik ini.

Rasa Malu, Bersalah, dan Perlakuan Diskriminatif

Seseorang yang telah berhubungan seks sebelum menikah kerap dinilai tidak bermoral, tidak berharga, hingga dicap membawa pengaruh buruk terhadap lingkungan. Jessica Valenti dalam bukunya The Purity Myth: How America’s Obsession with Virginity is Hurting Young Women menyebutkan bahwa obsesi tentang “kesucian” seorang perempuan berakhir meng-hiperseksualisasikan perempuan muda.

“Dengan punya fetish pada anak muda dan keperawanan, kita telah mendukung pesan mengganggu: perempuan yang seksi bukanlah perempuan—melainkan anak-anak,” kata Jessica. Perempuan-perempuan yang dinilai tidak suci pun berakhir menerima berbagai bentuk diskriminasi.

Seorang pekerja seks komersial yang diperkosa dan diancam dengan senapan dianggap hanya jadi korban pencurian oleh pengadilan. Ia dianggap muskil diperkosa karena dirinya adalah PSK. Jessica juga mencatat bahwa stigma ini paling merugikan perempuan non-kulit putih dan yang berpenghasilan rendah.

Sementara itu, berhubungan seks juga dianggap jadi sesuatu yang memalukan bagi perempuan. Survei “Virginity and Guilt Differences between Men and Women” dari Universitas Hanover menemukan bahwa rasa bersalah dan penyesalan lebih banyak dirasakan oleh perempuan daripada laki-laki ketika mereka berhubungan seks untuk pertama kali.

Hal ini berkorelasi dengan studi lain yang menunjukkan bahwa tak banyak perempuan mendapatkan kepuasan ketika berhubungan seks pertama kali. Studi “Gender differences in sexual scenarios” oleh DeLamater mengungkap bahwa laki-laki lebih mudah mencapai orgasme ketika berhubungan seks pertama kali.

DeLamater pun menyimpulkan bahwa perempuan perlu merasakan kedekatan khusus dengan partnernya untuk bisa menikmati hubungan seks. Perempuan dianggap akan punya rasa bersalah atau malu telah kehilangan keperawanan ketika ia tidak merasakan kedekatan itu dengan partnernya.

Stigma tentang seksualitas ini tak berakhir pada perempuan yang aktif secara seksual. Di belahan wilayah lain, perempuan yang tak kunjung berhubungan seks juga kerap menerima stigma negatif.

Survei “I’d Rather Be a Slut: An Analysis of Stigmatized Virginity in Contemporary Sexual Culture” oleh Bard College menyebutkan paradoks di mana perempuan dikutuk karena terlalu seksual atau justru tidak cukup seksual. “Dalam kata lain, jika perempuan tidak berhubungan seks, ia akan dicap prude, sementara jika ia berhubungan seks, ia akan dicap pelacur,” kata hasil studi. Segala bentuk seksualitas perempuan akhirnya dipersalahkan.

Sekalipun perkara keperawanan terutama merugikan perempuan, laki-laki pun bisa ikut merugi. Laki-laki bisa dianggap tidak cukup maskulin karena tidak juga berhubungan seks. Akhirnya, istilah keperawanan dan uji keperawanan mengungkap permasalahan yang lebih besar lagi: aktivitas privat seharusnya bukanlah konsumsi publik dan tidak menentukan harga diri. Tapi, nyatanya, hingga kini keperawanan masih berdampak besar bagi nasib karier seseorang, pernikahannya, hingga kondisi hidupnya.

Share: Keperawanan Tidak Menentukan Harga Diri Seseorang