Isu Terkini

Kenapa WHO Tak Mau Indonesia Pakai Chloroquine untuk COVID-19?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

World Health Organization (WHO) menganjurkan Indonesia berhenti menggunakan obat anti-malaria untuk menangani gejala COVID-19. Seperti diwartakan Reuters, Indonesia mengekspor dan memproduksi obat chloroquine dan derivatnya hydroxychloroquine untuk menanggulangi pandemi. Namun, kedua obat tersebut belum jelas keampuhannya dan justru punya efek samping mematikan.

Menurut sumber anonim yang berbicara kepada Reuters, WHO telah mengirimkan surat rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan Indonesia agar pemerintah pusat berhenti menggunakan kedua obat tersebut untuk menangani COVID-19. Hingga kini, surat rekomendasi tersebut belum diumumkan ke publik.

Erlina Burhan, anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), membenarkan bahwa pihaknya telah menerima rekomendasi baru dari WHO terkait penggunaan chloroquine dan hydroxychloroquine. “Kami telah mendiskusikan persoalan ini dan masih ada perdebatan. Belum ada kesimpulan pasti,” tuturnya kepada Reuters.

Adapun kepada Merdeka.com, Ketua Umum PDPI Dr. Faisal Yunus meragukan desakan WHO. Pasalnya, hingga kini belum ada data korban meninggal yang disebabkan penggunaan kedua obat tersebut. “Chloroquine selama ini dipakai di seluruh dunia ya, kecuali di Amerika Serikat tidak dipakai. Tapi kan aman-aman saja, enggak ada angka kematian terbukti karena chloroquine,” katanya, hari ini (27/5).

Sejak Maret lalu, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan ekspor dan produksi obat-obatan anti-malaria tersebut untuk menangani pandemi. Pihaknya mengaku dalam proses mendatangkan obat jenis Avigan sebanyak 2 juta, dan telah mempersiapkan 3 juta obat jenis chloroquine yang diproduksi BUMN farmasi seperti PT. Kimia Farma.

“Obat ini sudah dicoba 1, 2, 3 negara dan beri kesembuhan,” tuturnya pada konferensi pers akhir Maret (20/3) lalu. “Saya sudah minta BUMN farmasi untuk memperbanyak produksinya.”

Pemesanan dan produksi massal obat-obatan ini didasari klaim dari negara lain bahwa obat-obatan tersebut dapat mengurangi gejala COVID-19. Obat flu avigan, misalnya, diklaim pemerintah Cina efektif untuk mengobat pasien COVID-19. Adapun pemerintah AS mengklaim obat anti-malaria chloroquine adalah “gamechanger” yang layak dipertimbangkan demi menanggulangi pandemi.

Indonesia bukan negara pertama yang resmi menggunakan chloroquine dan hydroxychloroquine untuk menangani COVID-19. Sebelumnya, AS telah mengizinkan “penggunaan darurat” obat-obatan tersebut untuk kasus COVID-19. Aturan serupa juga telah ditetapkan oleh pemerintah pusat di Brasil, Prancis, dan India.

Imbasnya langsung terasa. The Jakarta Post melaporkan bahwa sejak pengumuman Jokowi pada akhir Maret, stok chloroquine di wilayah rawan malaria seperti Papua menurun drastis. Masyarakat beramai-ramai membeli obat tersebut guna mencegah atau menanggulangi dampak COVID-19. Padahal, seharusnya obat tersebut tak dapat diperjualbelikan secara bebas. Penggunaannya mesti menggunakan resep dokter.

Chloroquine resmi digunakan sejak 1949 untuk menangani penyakit malaria. Adapun derivatnya, hydroxychloroquine, kerap digunakan untuk menangani penyakit rheumatoid arthritis dan lupus. Meski aman digunakan dalam dosis rendah dan sedang, chloroquine dapat jadi racun dalam dosis tinggi.

Menurut Maksum Radji, mikrobiolog klinis di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, efek samping konsumsi chloroquine termasuk mual, muntah, diare, kesulitan bernapas, pandangan kabur, kram perut, lutut bengkak, tinnitus, otot lemah, dan gangguan mental. Dalam kasus-kasus tertentu, efek sampingnya dapat berupa pecah pembuluh darah dan serangan jantung.

Ketua PDPI Agus Dwi Susanto pun menyatakan bahwa chloroquine hanya cocok untuk penanganan infeksi COVID-19 berat dan infeksi berat yang disertai komplikasi. Sebab, chloroquine dapat mengganggu fungsi ginjal dan hati pengguna.

Pertanyaannya, apakah resiko penggunaan pil chloroquine sepadan dengan efek sampingnya? Sejauh ini, belum ada jawaban saklek atas pertanyaan tersebut, meski mayoritas penelitian mengindikasikan bahwa chloroquine maupun hydroxychloroquine tidak efektif melawan COVID-19.

Baru-baru ini, jurnal medis The Lancet menerbitkan hasil riset besar-besaran dengan sampel puluhan ribu orang yang menguji efektivitas kedua obat tersebut. Hasilnya, mereka tidak melihat adanya dampak khusus dari chloroquine maupun hydroxychloroquine dalam menyembuhkan pasien COVID-19.

Malah, angka kematian akibat penyakit jantung seperti ritme detak jantung janggal (aritmia) semakin tinggi. Belum lama ini, sebuah studi serupa yang menguji keampuhan chloroquine dalam menangani COVID-19 terpaksa berhenti di tengah jalan sebab puluhan peserta tes meninggal lebih cepat. Serupa dengan laporan The Lancet, para peserta tes justru meninggal karena ritme detak jantung janggal setelah mengambil dosis chloroquine harian.

Studi yang diterbitkan JAMA Network Open itu berkesimpulan bahwa penggunaan chloroquine dosis tinggi justru beresiko meningkatkan kematian pasien COVID-19.

Lebih jauh lagi, laporan susulan dari JAMA Network Open menyebut bahwa studi-studi sebelumnya yang mempromosikan penggunaan chloroquine rupanya tidak sesuai standar. Sebuah studi yang dipublikasikan pada 17 Maret lalu di Prancis, misalnya, dianggap cacat prosedural dan bergantung pada laporan anekdotal.

Kini, debat soal ampuh tidaknya chloroquine telah dibebani kepentingan politik. Di AS, Dr. Rick Bright mengkritik keputusan presiden Donald Trump menggelontorkan dana miliaran dollar untuk memproduksi chloroquine–obat yang belum jelas keampuhannya untuk menangani COVID-19. Tak lama kemudian, ia dipecat secara tiba-tiba dari posnya sebagai Kepala Lembaga Pengembangan dan Riset Biomedis AS.

Menurut Stephen Nissen, kardiolog di Miller Family Heart, Vascular & Thoracic Institute at the Cleveland Clinic, pemerintah Indonesia tak seharusnya merekomendasikan penggunaan masif chloroquine. “Kita tahu obat-obatan ini berpotensi menyebabkan gangguan ritme jantung yang sulit ditangani,” katanya. “Maka, memberikannya ke publik secara rutin saat keampuhannya saja belum pasti adalah keputusan yang tidak masuk akal.”

Share: Kenapa WHO Tak Mau Indonesia Pakai Chloroquine untuk COVID-19?