Isu Terkini

Kenapa Pemerintah Ngotot Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Hari ini (13/5), Presiden Joko Widodo menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang “Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.” Padahal, pada Februari 2020, wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung (MA).

Keputusan Presiden untuk mengesampingkan ketetapan MA ini melanjutkan kontroversi panjang terkait kenaikan iuran BPJS. Pada satu sisi, pemerintah pusat berargumen bahwa kenaikan ini perlu sebab BPJS terus merugi. Di sisi lain, MA dan berbagai kelompok masyarakat sipil menilai BPJS boncos karena mismanajemen dan penipuan besar-besaran, dan rakyat semestinya tak menanggung imbas pengelolaan buruk tersebut.

Tarik ulur antara pemerintah pusat dengan MA ini bermula pada 2018. Presiden menandatangani Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang “Jaminan Kesehatan.” Melalui Perpres tersebut, besaran iuran BPJS ditetapkan Rp25.500 untuk Kelas III, Rp51.000 untuk kelas II, dan Rp80.000 untuk kelas I.

Setahun kemudian, iuran kembali naik melalui Perpres No. 75 tahun 2019 tentang “Jaminan Kesehatan.” Besaran iuran berubah menjadi Rp42.000 per orang per bulan untuk Kelas III, Rp110.000 untuk Kelas II, dan Rp160.000 untuk kelas III.

Namun, Perpres No. 75 ini digugat publik ke MA. Pada Februari 2020, MA membatalkan Perpres tersebut dan mengembalikan iuran menjadi seperti ketetapan Perpres No. 82 tahun 2018. Bulan ini, Presiden kembali menganulir keputusan MA dan menetapkan iuran naik menjadi Rp35 ribu untuk kelas III, Rp100 ribu untuk kelas II, dan Rp150 ribu untuk kelas I.

Sejak didirikan pada 2014, BPJS kesehatan selalu mengalami defisit. Seperti dilansir Katadata, pada 2014 BPJS defisit Rp1,9 triliun. Angka tersebut melonjak jadi Rp9,4 triliun pada 2015, turun jadi Rp6,7 triliun pada 2016, naik tajam jadi Rp13,8 triliun pada 2017, kemudian turun lagi jadi defisit Rp9,1 triliun pada 2018.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada empat faktor penyebab kerugian BPJS. Pertama, struktur iuran BPJS masih di bawah perhitungan aktuaria atau underpriced. Jumlah iuran terlalu kecil dengan manfaat terlalu banyak, sehingga risiko kelewat tinggi. Sederhananya, besar pasak daripada tiang.

Kedua, mayoritas Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dari sektor mandiri atau informal hanya mendaftar pada saat sakit, lalu berhenti membayar iuran BPJS setelah mendapatkan layanan kesehatan. Masyarakat yang “sehat merasa tidak butuh, jadi enggak bayar.” Lagi-lagi, pengeluaran yang ditanggung BPJS menjadi tak sebanding dengan pemasukan yang diterimanya lewat iuran publik.

118 juta dari 204,4 juta pengguna BPJS Kesehatan (per September 2018) bergolongan Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin. Iuran yang terhimpun tidak seimbang dengan pengeluaran, itu pun sebagian besarnya ditanggung pemerintah melalui APBN atau APBD, bukan murni dari kocek masyarakat.

Ketiga, peserta mandiri atau informal yang aktif hanya sekitar 54 persen, padahal tingkat penggunaan BPJS termasuk tinggi. Terakhir, BPJS Kesehatan dinilai banyak dibebankan untuk menanggung penyakit “katastrofik” yang membutuhkan penggantian biaya besar. 20 persen biaya manfaat ludes untuk penyakit katastrofik.

Faktor-faktor ini berujung pada proyeksi masa depan yang suram bagi BPJS. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, bila tak ada tindakan sama sekali, pada 2024 nanti defisit bisa melebar hingga Rp77 triliun.

Namun, menurut berbagai pengamat kebijakan publik dan kelompok masyarakat sipil, kerugian BPJS Kesehatan ini disebabkan oleh mismanajemen besar-besaran yang menahun. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio, misalnya, menilai sejak awal besaran iuran BPJS sudah kelewat kecil.

Apalagi pemerintah lalai melakukan kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara berangsur untuk menyesuaikan dengan inflasi. Padahal, dalam Pasal 16 (i) Perpres 111 tahun 2013, penyesuaian tarif semestinya dilakukan dua tahun sekali.

Sederhananya, pemerintah lalai memberi kenaikan yang sesuai kenyataan dan kemampuan masyarakat. Sekarang, mereka tiba-tiba merengek sebab merugi dan ingin memberi beban dadakan kepada publik. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar bahkan sempat menuding bahwa pemerintah ogah-ogahan menaikkan iuran BPJS Kesehatan secara proporsional karena takut turun elektabilitasnya menjelang tahun politik.

Persoalan lain yang disoroti publik adalah kemampuan sistem klaim rumah sakit yang menggunakan aplikasi Indonesia Case Base Groups. Menurut Timboel, sistem ini mudah dimanfaatkan oknum Rumah Sakit untuk melakukan kecurangan (fraud) sehingga klaim yang dibayarkan BPJS membengkak.

Ia pun menuding manajemen BPJS Kesehatan “tak becus” dalam menarik tunggakan iuran peserta. Menurut pantauan BPJS Watch, tunggakan iuran peserta mandiri dan korporasi, termasuk dari perusahaan BUMN, mencapai Rp3,4 triliun pada Mei 2018.

Indikasi fraud besar-besaran juga diendus oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Penelusuran mereka mendapati banyak RS menaikkan kategori peserta untuk mendapatkan penggantian lebih dari BPJS Kesehatan. Misalnya, pasien kategori D disebut C, atau kategori B disebut A, sehingga RS mendapatkan bayaran per unit yang lebih tinggi dari BPJS.

Semakin mengherankan, jumlah penggunaan layanan lebih banyak dari jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pada September 2019, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menuding banyak RS rujukan yang melakukan “pembohongan data.” Contohnya: terdapat penggunaan layanan sebanyak 233,9 juta layanan, padahal total peserta JKN pada tahun 2019 hanya 223,3 juta orang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mencatat setumpuk dugaan penipuan dalam penerapan BPJS Kesehatan. Hingga pertengahan Juni 2015 saja, KPK mendeteksi 175.774 klaim fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut yang diduga fraud. Nilai penipuan tersebut ditaksir mencapai Rp440 miliar. Pada pertengahan 2016, KPK mencatat setidaknya ada 1 juta klaim yang bermasalah.

Terjadinya fraud besar-besaran ini telah diakui oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris. “Defisit ini sebagaimana dipaparkan DJSN [Dewan Jaminan Sosial Nasional] sebelumnya, biaya per orang per bulan memang makin ke sini makin lebar perbedaannya dengan premi,” tutur Fahmi saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR, Senin (2/9/2019), seperti dilansir CNBC Indonesia.

“Setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turun, dilihat ada fraud. Memang akhirnya bahwa secara nyata ditemukan underprice terhadap iuran. Rata-rata iuran Rp36.500/bulan, ada gap Rp13.000/bulan,” jelas Fahmi.

Dugaan fraud dan mismanajemen besar-besaran inilah yang membuat wacana kenaikan iuran BPJS ditolak banyak pihak. Salah satunya Komisi IX DPR, yang menghajar Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam Rapat Dengar Pendapat, 20 Januari 2020 lalu. Dalam rapat “panas” tersebut, hampir semua anggota Komisi IX DPR menyampaikan penolakan keras terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Menurut Ketua Komisi IX Felly Estelita, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto dan Dirut BPJS Fahmi Idris melanggar kesepakatan dalam rapat kerja terakhir pada 12 Desember 2019. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa solusi menuntaskan defisit keuangan BPJS tidak harus lewat menaikkan iuran.

Pemerintah akan tetap memberikan subsidi untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) Kelas III, masyarakat termiskin yang paling membutuhkan jaminan kesehatan. Biaya subsidi kelas diambil dari surplus yang diperoleh dari kenaikan iuran di kelas lain. Namun, pada akhirnya, pemerintah pusat tetap saja menaikkan iuran BPJS untuk semua kelas.

Saat itu, Menkes Terawan dan Dirut Idris seperti disidang. Anggota Komisi IX Saleh Daulay menanyakan apakah masyarakat yang tidak mampu bayar berarti tak akan mendapatkan perawatan yang seharusnya. Anggota Komisi IX lain, Imam Suroso, menuduh Menkes “angkat tangan” dan ingkar janji, sementara koleganya Ketut Setiawan menyuruh Fachmi Idris mundur saja.

Kata-kata paling “sadis” diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi IX Dewi Asmara. Bila BPJS Kesehatan selaku wakil pemerintah pusat terus ingkar janji dan tak dapat dikoreksi kinerjanya oleh DPR, lebih baik ke depannya mereka “tidak lagi menjadi mitra kerja DPR” dan bekerja tanpa perlu diproses di parlemen. Singkatnya, BPJS Kesehatan dan Menkes “diusir”!

Usai dibikin babak belur oleh DPR, upaya pemerintah pusat terjegal lagi. Rusdianto Matulatuwa, kuasa hukum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), menggugat kenaikan iuran BPJS ke Mahkamah Agung. Kenaikan drastis itu dinilai melanggar kaidah BPJS Kesehatan itu sendiri untuk memberikan layanan kesehatan bagi setiap orang, termasuk yang tak mampu.

MA mengabulkan permohonan uji materi Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang “Jaminan Kesehatan“, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS yang melonjak 100 persen per Januari 2020. Kemudian, pada 27 Februari, putusan turun: MA menganulir kenaikan iuran BPJS.

Majelis Hakim yang diketuai Hakim Agung Supandi memutuskan bahwa PP no. 75 tahun 2019 bertentangan dengan pasal 23A, pasal 28H, dan Pasal 34 UUD 1945; juga pasal 2, pasal 4, pasal 17 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang “Sistem Jaminan Sosial Nasional”; pasal 2, pasal 3, pasal 4 UU No. 24 Tahun 2011 tentang “Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial”; dan pasal 5 ayat (2) jo. pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang “Kesehatan.”

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menyatakan bahwa jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi negara. Perpres No. 75 tahun 2019 dinilai tidak mempertimbangkan kemampuan dan beban hidup masyarakat.

“Kenaikan iuran tidak seharusnya dilakukan saat ini, saat beban hidup masyarakat meningkat, dan tanpa perbaikan peningkatan kualitas, fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS,” ujar Abdullah. “Seharusnya pemerintah bertindak lebih bijak, di mana anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN diwujudkan untuk mendapatkan porsi yang lebih besar guna mengurangi beban rakyat.”

Semestinya, putusan MA dan luapan penolakan DPR menjadi senjata pamungkas yang mengubur ambisi pemerintah menaikkan iuran BPJS. Lepas putusan tersebut, MA memberikan waktu 90 hari bagi pemerintah pusat untuk menaati keputusannya dan menganulir kenaikan iuran BPJS.

Kenyataannya tidak begitu. Hari ini, bersamaan dengan pelonggaran PSBB, pengesahan UU Minerba yang kontroversial, dan peringatan 22 tahun Tragedi 1998, iuran BPJS resmi dinaikkan.

Share: Kenapa Pemerintah Ngotot Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan?