Isu Terkini

Kenapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melaporkan Kasusnya?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
null

“Untuk jadi korban pelecehan seksual itu memalukan. Tapi jadi pelaku masih bisa ongkang-ongkang kaki.”

Revina Violetta Tanamal atau @revinavt menerima banyak laporan pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dedy Susanto. Dedy mengaku sebagai psikolog dan hypnotherapist, mengajak korbannya ke kamar hotel, dan menyentuh hingga memaksa untuk berhubungan seksual.

Laporan-laporan dari korban atau penyintas Revina angkat di Instagram-nya, dan mendapat berbagai respons—mulai dari kecaman kepada pelaku, dukungan kepada korban, hingga komentar-komentar yang menyudutkan korban. “Yang aku sayangkan adalah, sampai hari ini pun budaya victim blaming itu masih kental banget. Jadi nggak adil [bagi korban],” tutur Revina kepada Asumsi.co lewat telepon (18/2).

Bentuk-bentuk victim blaming itu bermacam-macam: mempertanyakan mengapa korban mau satu kamar dengan pelaku, mengapa korban mau diterapi secara privat, mengapa tidak melapor ke pihak berwajib, hingga mempertanyakan keabsahan cerita. “Gimana sih lagi vulnerable, lagi rentan, terus ada orang yang kita anggap savior dan dianggap bisa menyembuhkan, apa pun yang dia omongin kan akan kita lakukan, ya?” kata Revina.

Banyak korban khawatir dirinya akan menerima stigma negatif dari masyarakat jika membuka identitas dan melaporkan kasusnya. “Aku masih nggak berani buka identitas, kak. Aku takut kehilangan job, takut namaku jadi jelek. Kalau orang-orang tahu aku udah nggak virgin gimana? Kalau orang-orang tahu aku pernah dipegang-pegang dia gimana?” kata korban kepada Revina.

Korban-korban kekerasan seksual telah melalui peristiwa yang traumatis. Salah satu korban Dedy mengatakan kondisi psikisnya semakin terganggu setelah Dedy melakukan percobaan pemerkosaan kepadanya. “Dari sesi terapi itu, bukannya bikin aku sembuh dari luka lama, malah luka lamaku kebuka,” katanya secara anonim kepada Revina.

Belakangan, tudingan Revina terhadap Dedy berlanjut ke jalur hukum. Keduanya saling melaporkan meski akhirnya berujung damai.

Dalam kasus itu, Revina mengaku bersalah dan bersedia membayar ganti rugi karena menuding Dedy melakukan perbuatan asusila tanpa bukti. Sebab, orang-orang yang mengadu menjadi korban Dedy tidak dapat diklarifikasi. 

Terlepas dari persoalan itu, korban kekerasan seksual memiliki beban berat untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Danika Nurkalista, psikolog klinis dewasa dan koordinator layanan psikologis di Yayasan Pulih, mengatakan peristiwa traumatis yang dialami korban membuat dirinya merasa keselamatan jiwa dan integritas dirinya terancam. 

“Ketika seseorang mengalami peristiwa kekerasan seksual, yang pertama terjadi adalah reaksi shock. Selanjutnya, akan muncul reaksi yang bentuknya bermacam-macam: bisa melawan, lari, membeku, atau menurut. Reaksi-reaksi tersebut muncul sebagai respon yang manusiawi demi bertahan hidup,” jelas Danika kepada Asumsi.co lewat pesan singkat (18/2).

Bentuk-bentuk trauma yang dialami korban atau penyintas kekerasan seksual bergantung pada bentuk peristiwa, intensitas, sifat hubungan, dan lainnya. Trauma yang dialami seorang korban tidak bisa disamakan dengan trauma yang dialami korban lain. Menurut Danika, yang pasti, korban akan menunjukkan perubahan perilaku. “Korban dapat menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan tidur, mengalami hambatan dalam berkonsentrasi, gangguan dalam bekerja atau sekolah, dan sebagainya.”

Reaksi-reaksi keluarga, masyarakat, dan penegak hukum yang turut menyudutkan korban juga hanya memperdalam luka korban. “Korban yang mengalami victim blaming bisa mengalami trauma yang lebih kompleks. Tidak hanya mengalami kekerasan dari pelaku, tetapi juga dari lingkungannya,” tutur Danika.

Kenapa Nggak Melapor Ke Polisi?

Siti Mazuma, Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) mengatakan bahwa sistem hukum Indonesia belum berpihak pada korban. “Kalau perempuan sudah menjadi korban kekerasan seksual, bukan proses hukum yang akan dikedepankan, tapi orang akan sibuk menyalahkan si korban: ‘kenapa nggak lapor? Kenapa diam saja?’” kata Zuma kepada Asumsi.co lewat telepon (18/2).

Sikap korban yang enggan melaporkan kasusnya dapat dimaklumi. Hampir 80% korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebanyak 20% dari mereka khawatir akan menerima cap negatif dari masyarakat, 13% merasa polisi tidak akan membantu mereka, dan 8% menganggap perkosaan yang mereka alami tidak cukup penting untuk dilaporkan. Sementara itu, dari laporan yang masuk ke polisi, hanya 2% pelaku yang berakhir dipenjara.

Danika berkata bahwa terdapat banyak faktor yang membuat korban kekerasan seksual enggan untuk berbicara. Faktor-faktor tersebut terdiri dari adanya konflik di diri sendiri, keluarga, lingkungan, hingga sistem hukum di Indonesia. “Hambatan bisa datang dari diri sendiri, seperti trauma, posisi tawar yang tidak setara dengan pelaku, pengetahuan yang minim mengenai kekerasan seksual dan hukum, dan sebagainya,” kata Danika.

“Ada pula faktor keluarga, lingkungan—seperti reaksi victim blaming, persekusi, pemberitaan media yang mengeksploitasi informasi pribadi, kecenderungan lingkungan untuk lebih membela pelaku, dan sebagainya. Sistem hukum negara yang belum memiliki perspektif korban yang merata juga jadi faktor,” lanjut Danika.

Indonesia belum punya tonggak hukum yang berorientasi melindungi korban atau penyintas kekerasan seksual. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah pelecehan seksual, tetapi perbuatan cabul. Perkosaan juga dimaknai sebatas penetrasi penis ke vagina.

Pasal 285 KUHP mendefinisikan pemerkosaan sebagai tindakan memaksa seorang perempuan melakukan persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 286 juga mengatakan bersetubuh dengan perempuan yang sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Namun, pasal-pasal ini tidak berlaku bagi kasus pemerkosaan yang terjadi dalam hubungan suami istri. Pasal ini juga menganggap hanya perempuan yang dapat menjadi korban, sehingga tidak memungkinkan bagi korban laki-laki untuk melaporkan kasus kekerasan seksualnya ke polisi. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) juga cenderung membebankan pembuktian kepada korban.

“Selama ini, korban-korban kekerasan seksual dibebankan pada alat bukti. Karena ini adalah kasus-kasus yang berada di wilayah privat, nggak banyak saksi yang tahu. Akhirnya, banyak kepolisian yang mengedepankan untuk meminta korban menyediakan saksi dan alat bukti,” kata Zuma.

Belum lagi korban yang justru berisiko dikriminalisasi. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019 melaporkan bahwa perempuan sebagai korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga pernah balik dikriminalisasi dengan Undang-undang PKDRT, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Pornografi, dan dengan KUHP.

Namun, bukan berarti hukum Indonesia sepenuhnya tidak bisa diharapkan. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum telah melarang hakim untuk melakukan victim blaming. “Ketika sidang, hakim tidak boleh melakukan victim blaming. Itu harus diterapkan ketika melakukan sidang kekerasan terhadap perempuan, apalagi kasus kekerasan seksual,” jelas Zuma. “Kita masih punya harapan karena ada aturan-aturan yang bisa kita gunakan.”

Menurut Zuma, Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) jadi penting untuk disahkan. Tidak hanya pelaku dapat lebih mudah diadili, tetapi karena RUU PKS juga mengatur soal pencegahan dan mengedepankan pemulihan korban.

Selama RUU PKS belum disahkan, perlindungan dan dukungan dari masyarakat kepada korban kekerasan seksual dibutuhkan. Danika mengatakan penting untuk mempercayai dan mendukung korban kekerasan seksual yang menceritakan kisahnya. “Dengarkan ceritanya, pahami dampak yang ia alami, dan fasilitasi kebutuhan-kebutuhannya. Salah satu kebutuhan yang paling penting adalah keamanannya,” kata Danika.

National Sexual Violence Resource Center (NSVRC) dalam laporannya “False Reporting Overview” juga mengungkapkan bahwa tuduhan palsu atas kekerasan seksual jarang terjadi—yaitu sebesar 2-10% di Amerika Serikat. Apalagi, mengingat sebagian besar korban memilih untuk tidak melaporkan kasusnya.

Penting pula untuk menghargai privasi dan kerahasiaan identitas korban, mendukung keputusan yang diambil korban, dan tidak mendiskriminasi korban. “Jangan mengarahkan keputusannya sesuai pendapat pribadi. Hargai pendapat dan kapasitas penyintas untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya,” kata Danika.

Hal ini termasuk menghargai korban yang memilih untuk tidak melaporkan kasusnya. Sebagaimana kata Revina, “proses di kepolisian nggak seindah di FTV: abis lapor terus ternyata investigasinya gampang, cepat, nggak ada tekanan dari polisi yang sekarang masih seksis.”

Share: Kenapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melaporkan Kasusnya?