Budaya Pop

Kenapa Ada Sri Mulyani di Artjog 2019?

The Conversation — Asumsi.co

featured image

Mendatangi perhelatan seni di Indonesia bukan semata penyegaran rohaniah, tetapi juga silaturahmi. Dalam acara pembukaan pameran seni Artjog (25/7), yang kali ini telah memasuki tahun ke-12, Jogja National Museum dipadati tamu undangan sejak pukul tiga sore. Wajah-wajah familiar dalam ekosistem seni di tanah air, lengkap dengan setelan estetika masing-masing, hampir pasti bisa ditemui.

Sore menjelang malam, suasana di gedung bekas Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) itu terlihat ramai. Mella Jaarsma, perupa asal Belanda yang tahun lalu mengguncang Artjog dengan kolase gambar pusar dan mengajak penonton memamerkan pusar masing-masing, terlihat sedang berbincang akrab dengan kawannya. Produser film Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza, yang ikut berpartisipasi di Artjog tahun ini dengan instalasi karya terbaru mereka “Humba Dreams,” duduk di sebuah meja bundar bersama CEO General Electrics Indonesia, Handry Satriago. Agan Harahap terlihat mengenakan kaos bergambarkan karyanya sendiri yang sempat mewabah beberapa waktu lalu. Karya itu adalah manipulasi foto presiden Joko Widodo, yang digambarkan masih muda, berambut jabrik seperti anak punk, lengkap dengan jaket kulit.

“Bawa tanda pengenal?” tanya seorang petugas di museum. Agan menggelengkan kepala, tersenyum kecil tapi tanpa keluhan. Tidak ada yang bisa disalahkan kalau wajahnya tidak dikenal oleh orang awam, meski karya seninya yang terkenal itu sudah terpampang jelas di dada. Kelimunan seperti ini sudah biasa dialami pekerja seni dalam berbagai situasi. Karya dikenal seantero negeri, atau bahkan lintas bangsa, tidak selalu jadi jaminan pintu terbuka ke mana saja.

Yang jelas tidak limun dalam acara ini adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dialah bintang yang meresmikan Artjog 2019. Kehadirannya harus dibaca sebagai sebuah pertanda. Acara seni di Indonesia sudah biasa ditumpangi oleh kehadiran para pejabat publik yang haus sorotan, atau sekadar butuh pengakuan atas prestasi kinerja mereka. Jikapun ada alasan formalitas, biasanya ada wakil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) atau Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang siap memberikan petuah selama beberapa menit di awal acara.

Jadi, apa yang dicari seorang mantan direktur pelaksana Bank Dunia seperti Sri Mulyani di sebuah acara seni di tengah kota Yogyakarta?

Usaha Jokowi Menepati Janji

Sri Mulyani sendiri, yang malam itu hadir dalam blus berbahan lurik khas Yogyakarta, cukup sadar kalau kehadirannya adalah sesuatu yang tidak biasa. Ia mengumpamakan kehadirannya sebagai “orang aneh” di tengah-tengah kumpulan artis.

“Menteri Keuangan ngomong di Artjog, rasanya rada nyeleneh. Tapi karena orang seni semuanya aneh, nggak apa-apa saya ada di sini,” ujarnya menyapa para undangan.

“Di dalam seni, tidak ada yang disebut benar atau salah. Seni merupakan suatu ekspresi yang sifatnya demokratis, memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Sebagai Menkeu, saya perlu itu. Tidak selalu lihat angka, lihat APBN, tapi saya mendapat kesempatan untuk bisa merasakan jeda, dan kemudian merasakan nikmatnya berbagai macam ekspresi dan hasil karya para seniman,”

Sri Mulyani melanjutkan bahwa sebagai Menteri Keuangan, ia ikut bertanggung jawab dalam mengatur dana abadi kebudayaan yang sudah menjadi janji presiden Jokowi di akhir 2018. Kehadirannya dalam Artjog adalah simbol dari usaha pemerintah untuk menunjukkan komitmen mereka dalam memelihara kebudayaan.

“Saya berharap hubungan antara saya, Kementerian Keuangan, dan dunia seni bisa terus terpelihara. Pertama, saya bisa dididik jadi orang yang paham dan menghormati seni dan kesenian itu sendiri. Dengan kepekaan ini, saya diharapkan akan mampu memformulasikan policy-policy yang memang dibutuhkan,”

Ditemui Asumsi.co sebelum meninggalkan Jogja National Museum, Sri Mulyani berkata bahwa mekanisme pengaturan dana abadi kebudayaan masih dalam tahap diskusi dan pengumumannya akan dilakukan oleh Jokowi sendiri.

Kepala Bekraf Triawan Munaf menimpali: setelah diberikan oleh Kementerian Keuangan, dana abadi kebudayaan akan dikelola oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, yang saat ini dipimpin oleh Hilmar Farid, bersama Bekraf.

Kebudayaan menjadi satu dari empat bidang yang akan mendapat kucuran dana abadi dalam APBN 2020 nanti. Tiga bidang lainnya adalah pendidikan, riset, dan perguruan tinggi.

Nilai dana abadi ini bervariasi, tapi jelas dalam satuan triliun. Desember lalu, presiden Jokowi menjanjikan dana abadi sebesar Rp5 triliun khusus untuk pengembangan kebudayaan. Keberadaan dana abadi kebudayaan ini dijamin melalui pasal 49 di dalam UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan serta dikukuhkan Jokowi dalam Kongres Kebudayaan Indonesia pada akhir 2018.

Mengatur Strategi Kebudayaan

Persinggungan yang mempertemukan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan skena seni seperti Artjog adalah sinyal keseriusan negara dalam mengelola kebudayaan. Tentunya, ini merupakan hal baru. Selama ini, segala sesuatu yang mengandung unsur kebudayaan cenderung terpinggirkan. Adalah suatu hal yang biasa jika seniman Indonesia mengkritisi ketidakhadiran pemerintah dalam pengembangan strategi kebudayaan di negaranya.

Ada banyak contoh keberhasilan pemerintah yang ikut berperan dalam industri kreatif negara masing-masing dengan memberi sokongan dana dan infrastruktur memadai. Pemerintah Jepang dikenal aktif dalam melindungi kebanggaan dan identitas bangsa. Singapura sudah menempatkan diri sebagai jembatan penghubung antarseniman di Asia Tenggara dan dunia. Dalam berbagai acara yang ikut ditaja pemerintah, sejumlah museum di Singapura secara aktif memamerkan karya pekerja seni di Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia, baik di bidang seni rupa, film, ataupun sastra.

Keberhasilan Korea Selatan dalam mengemas kebudayaan dan industri hiburan mereka juga menjadi sebuah cerita sukses yang banyak dijadikan model. “Hallyu,” atau Gelombang Korea, adalah sebuah fenomena produksi budaya yang dimulai dari sebuah pertemuan kabinet pemerintahan Korea Selatan di tahun 2005. John Walsh dalam  “Hallyu as a Government Construct: The Korean Wave in the Context of Economic and Social Development” mencatat bahwa pertemuan tersebut didasari oleh kesadaran akan pentingnya mengembangkan industri konten kreatif.

Salah satu cara pemerintah Korsel untuk mendorong laju produk budaya mereka adalah dengan membuat sekolah tinggi yang mengajarkan spesialisasi di bidang Teknologi Budaya. Selain itu, koordinasi antar para agen budaya dan badan pembuat kebijakan juga ikut diatur. Hallyu pun berhasil menjadi senjata soft power Korea Selatan dalam praktik hubungan internasional mereka.

Jangan Sekadar Jor-Joran

Awal Juli silam, Jokowi menemui sejumlah pelaku seni di Istana Bogor dan mengatakan ia akan semakin jor-joran mendukung para seniman di periode keduanya. Setelah membentuk Bekraf demi mendukung industri kreatif pada periode pertamanya, dana abadi kebudayaan dianggap sebagai sebuah investasi terhadap sumber daya manusia yang menjadi salah satu fokus pemerintahannya.

Hal ini harus menjadi perhatian banyak pihak, terutama para pelaku kebudayaan. Kehadiran negara, yang dari dulu dirindukan, bukan saja suatu hal yang perlu disyukuri tapi juga harus dicermati. Sebuah strategi kebudayaan membutuhkan upaya lintas bidang dari banyak pihak. Jika uang sebesar Rp5 triliun siap digelontorkan, apakah kita juga sudah siap dengan konsekuensinya?

Saat ini, pemerintah dan para pelaku budaya perlu mengidentifikasi hal-hal apa saja yang akan menjadi sasaran dana abadi kebudayaan sekaligus tujuannya. Karena ragam suku di Indonesia, hal ini bukan perkara gampang. Jokowi belum menjelaskan soal ini lebih jauh, dan hal ini patut segera dilakukan. Komitmen terhadap dana abadi patut diapreasi, tapi jor-joran mendukung seni dan budaya tidak cukup dengan sekadar mengucurkan dana.

Dalam kasus Korea Selatan, Walsh menulis bahwa pemerintah Korsel menyadari adanya sejumlah elemen di budaya mereka yang tidak mudah “dijual.” Ini termasuk fakta bahwa orang Korea suka sekali minum-minum, bertengkar dan bernyanyi-nyanyi ketika bersosialisasi. Mereka merasa, orang Irlandia sudah lebih dulu dikenal dengan gambaran yang demikian, dan hal ini terlihat jelas di setiap Irish pub yang ada di seluruh dunia. Karena itu, mereka pun bersama-sama membuat properti intelektual yang bisa menyajikan sebuah identitas Korea yang baru dengan tujuan menembus pasar internasional.

Kita bisa dengan jelas melihat bagaimana Korsel merelakan “keaslian” budaya mereka demi mempermudah bangsa-bangsa lain menerima Hallyu. Selain itu, Hallyu juga sangat terbantu oleh kondisi pasar yang mampu mengimbangi kekuatan negara sebagai pengatur kebijakan. Sejumlah perusahaan besar, atau disebut sebagai chaebol, rela menghabiskan banyak uang untuk mempromosikan produk mereka. Pemerintah bekerjasama dengan para chaebol tersebut dengan cara membuka pasar-pasar baru di luar negeri dan ikut menyediakan akses terhadap sumber daya yang langka. Keduanya bekerja sama mempromosikan Korea sebagai sebuah brand dengan menggunakan sumber daya negara.

Terlepas dari perlu atau tidaknya Indonesia meniru strategi Korea Selatan atau negara lain, ada banyak hal-hal bersifat non-material yang perlu dipertimbangkan dalam mekanisme dana abadi kebudayaan. Jangan sampai usaha jor-joran ini sia-sia atau bahkan, kemungkinan terburuknya, menjadi sumber korupsi baru semata.

Share: Kenapa Ada Sri Mulyani di Artjog 2019?