Isu Terkini

Kematian Santri Akibat Kekerasan dan RUU Pesantren yang Tak Kunjung Disahkan

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Robi Alhalim, santri Pondok Pesantren Modern (PPM) Nurul Ikhlas Padang Panjang sempat mengalami kritis di rumah sakit akibat dikeroyok teman-temannya di asrama. Naas, Robi tak kuasa melawan koma. Setelah lebih dari sepekan tak sadarkan diri, ia pun kini telah meninggal dunia pada Senin 18 Februari 2019 kemarin.

Kejadian pengeroyokan pun mulai dikuak oleh polisi setempat. Diketahui bahwa kekerasan yang dialami Robi itu berlangsung selama 3 hari. Yakni pada Kamis dan Jumat, 7 dan 8 Februari dan Minggu, 10 Februari. Kasusnya pun baru diketahui dan dilaporkan kepada polisi pada Selasa, 12 Februari. Untuk pemeriksaan awal, polisi telah menetapkan 17 orang yang terlibat pengeroyokan.

“Dari hasil gelar perkara, penyidik sampai pada kesimpulan untuk menetapkan ke-17 anak tersebut sebagai anak pelaku. Anak pelaku merupakan sebutan lain bagi tersangka dalam kasus yang melibatkan anak-anak, karena kita berpedoman pada UU Perlindungan Anak,” kata Kasat Reskrim Polres Padang Panjang, Iptu Pol Kalbert Jonaidi.

Tak hanya kepada para santri, polisi pun menyelidiki kelalaian pihak pengelola Ponpes Nurul Ikhlas. Meskipun hingga kini status dari pihak pondok pesantren masih sebatas sebagai saksi. Lebih lanjut, Iptu Pol Kalbert Jonaidi mengungkapkan, mereka yang menjadi saksi terdiri dari Wali Kamar, Ustadz, dan pengawas.

“Ada 5 saksi dari pihak pondok pesantren. Kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan apakah ada unsur kelalaiannya atau tidak. Nanti dari hasil autopsi bisa jadi kami kembali melakukan gelar perkara selanjutnya apakah ada penambahan tersangka,” ujarnya.

Pihak Pesantren Harap Anak Didiknya Tidak Ditahan

“Kami berharap mereka tidak ditahan,” kata pengawas Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Firmansyah.

Menurut Firman, pihaknya sudah mengirim surat permohonan agar ke-17 santri tersebut tak ditahan. Pihak Yayasan bersama seluruh pihak terkait, termasuk orangtua, bersedia menjadi penjamin. Bagi Firman, santri-santri anak didiknya perlu dijamin masa depannya. Maka lebih baik untuk dilakukan pembinaan dibanding penahanan.

“Bagaimanapun juga, anak-anak ini memiliki masa depan. Jadi kami dari sekolah berupaya untuk memberikan atau menyampaikan permohonan agar anak-anak ini tidak ditahan, tapi tetap dalam pembinaan dari Polres,” katanya.

Firman pun mengakui bahwa pihaknya lalai dalam peristiwa kekerasan yang terjadi pada Robi. Mereka berjanji akan melakukan evaluasi terhadap tragedi tersebut. Lebih lanjut, Firman berujar bahwa perlunya pengawasan, pemantauan, dan pengontrolan secara dini.

“Setiap hari anak-anak diawasi. Kami kecolongan. Mungkin ini bisa jadi introspeksi dan pembelajaran dari semua bidang terkait di dalam. Jadi memang harus kami rapatkan barisan untuk meningkatkan pengawasan, pemantauan, pengontrolan dan mendeteksi secara dini kalau memang ada hal-hal yang mencurigakan dari anak-anak di asrama,” katanya, lagi.

Pihak Keluarga Ingin Izin Pesantren Dicabut

Sepupu korban, di akun Twitter miliknya @achyntia memaparkan kronologi  bagaimana Robi bisa meninggal dunia. Ia mengatakan bahwa sepupunya dianiaya selama tiga hari. “Di malem terakhir, 17 orang bekap Robi pakai Bantal, dipukulin pakai sepatu trekking.” Pihak pesantren baru melakukan tindakan setelah korban mengalami sekarat.

Pihak pesantren membawa Robi ke rumah sakit dengan keterangan mengalami kesurupan dan melakukan kekerasan pada dirinya sendiri. Namun dokter tak percaya begitu saja. “Ini Saya juga tau, dihajar paling nggak 20 orang,” kata Chyntia menirukan ucapan dokter saat melihat kondisi Robi.

Saat mengalami sekarat di ICU, orangtua Robi tidak segera diberi informasi justru dipanggil ke pesanten dan diberi ceramah. “Dikasih ceramah macem2 bahwa ini cobaan, ini ujian, buat keluarga mereka jd lebih baik lg.” Untungnya, suster di rumah sakit mengenal Robi. Sebab itulah, ibu Robi mengetahui kabar tentang kondisi anaknya.

Chyntia mengungkapkan bahwa selama ini memang pihak pesantren menginginkan jalur damai dalam penyelesaian kasus yang dialami Robi. Orangtuanya bahkan diminta untuk menandatangani berbagai berkas terkasus masalah tersebut. Alasannya, karena salah satu tersangka yang menganiaya adalah anak dari wakil pemilik pesantren.

“Pihak pesantren minta jalur damai berkali2, suruh Papa Robi yang lagi linglung buat ttd berbagai surat (tentu dihalau keluarga lain). Karena apa? Salah satu tersangka anak wakil pemilik pesantren.”

Meskipun kini santri-santri yang menganiaya Robi kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, Chyntia tetap meminta keadilan terhadap kematian sepupunya itu. Ia meminta izin pendirian Ponpes Nurul Ikhlas Padang Panjang dicabut. “Institusi pendidikan tersebut telah lalai,” ujarnya.

RUU Pesantren yang Tak Kunjung Disahkan

Sekitar tiga tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Sayangnya, peringatan besar itu tak beriringan dengan regulasi yang ada. Hingga kini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (RUU LPK&P) belum juga mendapatkan pencerahan.

Padahal RUU tersebut telah menjadi program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2017. Lebih dari itu, Anggota Komisi II DPR RI dari F-PPP, Achmad Baidowi sempat mengatakan bahwa RUU Pesantren ini telah diusulkan sejak 2013 silam. Namun sayangnya RUU tersebut terus mengalami penundaan dalam pembahasannya.

Baidowi menjelaskan, Fraksi PPP di Badan Legislasi sejak periode lalu atau 2013 sudah mengajukan dan mengusulkan RUU tersebut, dan baru masuk Prolegnas di periode 2014-2019 atau lebih tepatnya tahun 2015. Fraksi PPP tidak sendirian, ada juga Fraksi PKB dan PKS yang secara bersama-sama memperjuangkan prolegnas tersebut.

“Awalnya kami mengusulkan draft naskah akademik dari PPP adalah RUU Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren atau murni mengatur pendidikan keagamaan Islam. Karena pendidikan diniyah dan ponpes itu satu rumpun yang tidak bisa dipisahkan,” ujar Baidowi.

Melihat kelalaian ponpes yang membiarkan Robi mengalami kekerasan, tentunya RUU Pesantren kembali dibutuhkan. Sebagai acuan dalam pendirian dan juga pencabutan izin pesantren. Tentu, sebagai standarisasi fasilitas dan juga kredibilitas tenaga pekerja. Sayangnya hingga kini RUU tersebut belum disahkan.

Share: Kematian Santri Akibat Kekerasan dan RUU Pesantren yang Tak Kunjung Disahkan