Budaya Pop

Kebijakan Baru Spotify Bakal Mencekik Musisi Indie. Tenang, Ada Solusinya.

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Boleh jadi kamu berambisi jadi musisi. Kamu punya stok lagu ciptaan sendiri yang selalu sukses membuat gebetanmu salto. Kamu telah menghafal KBBI luar dan dalam supaya dapat melontarkan lirik yang arkaik dan bikin sembelit. Kamu bermimpi dapat berbagi panggung dengan musisi kenamaan, masuk akun @txtdaribocahindie, dan tentu saja, tenggelam dalam timbunan harta duniawi.

Kabar buruk, kamerad: langkah teranyar Spotify berpotensi mengubur impianmu dalam-dalam. Pekan ini (2/3), Bloomberg melaporkan bahwa perusahaan tersebut berencana meminta label dan musisi membayar lebih untuk beriklan di aplikasinya. Tajuk beritanya sensasional betul: sekarang, label dan musisi yang membayar Spotify. Bukan sebaliknya.

Memang, ini bukan langkah baru. Melalui program Marquee, Spotify memberi ruang iklan dan prioritas lebih dalam playlist-nya pada lagu-lagu yang dibayar oleh label atau musisi. Dalam fase ujicoba di Amerika Serikat, artis ngetop seperti Justin Bieber dan Lil Wayne turut serta dalam Marquee, dan Spotify berencana menerapkannya secara global.

Sekarang, laporan Bloomberg mengindikasikan bahwa selain mengekspansi Marquee, Spotify tengah berdiskusi mesra dengan label-label besar untuk meramu metode promo lainnya.

Ada catatan kaki yang penting soal Marquee. Praktik menyisipkan lagu bayaran di playlist atau promo dinilai tak jauh beda dengan praktik pay-for-play alias payola, julukan untuk kebiasaan lawas label dan musisi “menyuap” radio untuk memainkan lagunya. Sebagai catatan, praktik payola dilarang oleh hukum sebab dinilai tidak transparan dan mencurangi hak konsumen untuk mengetahui bahwa konten yang tengah mereka konsumsi adalah bayaran. Spotify menyangkal tuduhan tersebut.

Fakta gampangnya, Spotify harus bersiasat cari duit, sebab sampai sekarang mereka masih rugi bandar. Pada Februari 2019, mereka memang mengumumkan keuntungan operasional sebanyak 107 juta dollar. Namun, perusahaan tersebut diprediksi akan merugi sebanyak 227 sampai 409 juta dollar sepanjang setahun berikutnya.

Penyebab Spotify boncos adalah pembayaran royalti yang menggunung. Menurut laporan Business Insider, sejak pertama beroperasi pada 2006, Spotify telah membayar royalti sebanyak 9.76 miliar dollar kepada artis-artis yang menggunakan jasanya. Pada 2017, sekitar 27 persen anggaran tahunan mereka habis untuk membayar royalti artis.

Di atas kertas, wajar saja bila Spotify pengin label dan musisi keluar duit lebih banyak. Dalam kesepakatan royalti yang ada saat ini, label rekaman mendapat persenan dari seluruh keuntungan Spotify. Artinya, sekalipun mereka keluar uang untuk mengiklan, secara teknis sebagian uang tersebut bisa mereka dapatkan kembali, macam cashback. Menurut bocoran Bloomberg, perwakilan dari Spotify sedang bernegosiasi alot dengan label-label rekaman gede untuk menciptakan sumber pemasukan baru yang tidak bisa ditilep label.

Sejauh ini, obrolan tersebut cenderung buntu. Label-label rekaman besar ngeri bahwa Spotify hendak memangkas pemasukan mereka dari streaming. Apalagi, Spotify lagi getol mendanai podcast-podcast populer yang dapat semakin memotong pangsa pasar label musik. Namun, tak sedikit orang dalam di industri musik yang meramal bahwa kedua belah pihak bakal segera berkompromi.

Masalahnya begini. Boleh jadi Spotify punya iktikad baik untuk memperluas pangsa pasar sebesar-besarnya. Namun, tektokan dengan label rekaman itu akan selalu didominasi oleh tiga label raksasa yang menguasai 80 persen pasar: Sony, Universal, dan Warner. Mayoritas dari miliaran dollar uang royalti yang menggelincir dari tangan Spotify ditransfer langsung ke rekening-rekening gemuk ketiga label tersebut. Selagi mereka bergelimang harta, pihak yang paling terancam dari rencana baru Spotify adalah label dan musisi independen.

Tahun lalu, rata-rata royalti yang dibayarkan Spotify kepada artisnya adalah 0,0032 dolar per stream, atau sekitar 50 rupiah perak. Angka menyedihkan itu bahkan bukan keuntungan bersih untuk sang musisi. Menurut laporan The New York Times, 52 persen royalti dibayarkan langsung oleh Spotify ke label, dan dari angka tersebut, hanya sekitar 15 persen yang sampai ke tangan musisi.

Kamu tidak mungkin kaya raya dari streaming kecuali kamu artis papan atas mancanegara. Menurut taksiran Digital Music News, misalnya, Taylor Swift meraup fulus sekitar 400 ribu dollar per pekan dari royalti Spotify. Angka yang tinggi, tapi tidak sensasional-sensasional amat, dan ini Taylor Swift yang setiap lagunya bisa dapat ratusan juta stream.

Namun bagi artis independen level menengah ke atas, royaltinya tambah merana. Seorang musisi tidak bisa mengunggah karyanya secara langsung ke Spotify–mereka harus melalui perantara label, atau distributor seperti Tunecore dan CDBaby. Distributor mengambil bayaran di muka, serta potongan sekitar 30 persen dari royalti.

Pada 2017, seorang musisi independen membocorkan royalti yang ia terima untuk salah satu lagu yang berhasil meraih 4,2 juta stream–angka yang sama sekali tidak sedikit. Untuk lagu seramai itu, ia hanya menerima royalti bersih sebanyak 5000 dollar, atau sekitar Rp70 juta. Catatan penting: artis yang bersangkutan tidak terikat label mana pun. Artinya, ia tidak harus berbagi royalti tersebut dengan label, cukup dengan distributor.

Uang Rp70 juta mungkin cukup untuk bayar DP rumah atau beli boba sekolam, tetapi angka tersebut tak sepadan bila dibandingkan dengan kebutuhan kehidupan sehari-hari, modal latihan dan rekaman musik, biaya promosi termasuk penyelenggaraan konser, serta sejuta tetek bengek produksi musik lainnya. Itu pun berasumsi kamu berhasil menciptakan lagu yang, akibat sihir entah dari mana, sukses menuai jutaan stream.

Misalkan Spotify bersikeras mengekspansi program iklannya secara agresif, musisi dan label-label independen akan paling dirugikan. Modal yang mereka keluarkan untuk produksi dan distribusi saja sudah cukup untuk bikin cekak. Mereka akan tambah migrain bila ruang di playlist (yang amat penting untuk meraup stream) dan iklan diambil semua oleh label-label besar.

Lho, tapi ini kan pasar bebas? Kalau takut dibabat habis, kenapa tidak ikut beriklan saja? Begini deh–coba tebak berapa biaya minimal untuk beriklan melalui program Marquee? Tepat sekali, saudara-saudara: lima ribu dollar. Langsung paham kan kenapa berita ini seolah jadi kiamat kecil untuk label dan musisi independen?

Dalam kondisi yang ada sekarang saja, label dan musisi mandiri sekadar dapat uang receh. Bila gagasan Spotify mengekspansi Marquee diterapkan, mereka dapat tetap merugi sekalipun lagunya didengarkan juta orang.

Seperti dilansir Forbes, dampak jangka panjangnya untuk ekosistem musik independen–dan Spotify–akan fatal. Daryl Friedman, anggota lembaga The Recording Academy, memprediksi bahwa dalam jangka panjang kebijakan tersebut dapat mencekik kran royalti musisi independen. Mereka nyaris mustahil terekspos pada audiens lebih luas sebab lapangan mainnya saja sudah timpang, dan lambat laun, jumlah lagu yang dimainkan di Spotify akan lebih sedikit sebab yang dapat eksposur adalah artis yang itu-itu saja.

Hal ini tak saja buruk bagi musisi baru yang ingin mendobrak arus utama. Tetapi juga untuk pendengar yang akan disodori seleksi lagu menjemukan, dan label yang harus mengeluarkan dana gede-gedean sekadar untuk promosi di playlist.

Asal kamu tahu, sebelum negara api menyerang, Spotify pernah main gila di belakang label-label besar mancanegara. Pada 2018, mereka mengujicoba program Spotify for Artists, yang disambut gembira oleh artis-artis independen. Sederhananya, fitur dalam program tersebut memungkinkan musisi mengunggah karyanya secara langsung ke Spotify, tanpa harus melalui perantara label atau distributor. Menurut Kene Anoliefo, Senior Product Lead di Creator Marketplace Spotify, fitur tersebut akan menjamin royalti paling tidak 50 persen bagi musisi. Jauh di atas potongan belasan persen yang mereka terima sebelumnya.

Tentu saja, Spotify for Artists tidak didasari kehendak mulia Spotify mendukung musisi independen. Mereka sadar betul bahwa mayoritas pemasukan mereka digarong oleh label-label besar. Jika musisi independen dapat merapat langsung ke Spotify tanpa melalui label, pemasukan untuk Spotify maupun sang musisi bakal bertambah sebab mereka tak harus bagi-bagi kue dengan label. Di atas kertas, semua orang diuntungkan.

Selain itu, mereka juga melihat bagaimana Netflix–penyedia jasa serupa di bidang film dan serial–perlahan berganti strategi. Bila pada mulanya mereka menyediakan ruang untuk film dan serial garapan studio luar, lambat laun mereka memproduksi film dan serial sendiri. Praktik ini jelas lebih menguntungkan bagi mereka, karena mereka tidak harus keluar uang bertruk-truk untuk bayar royalti dan uang lisensi.

Gagasan agar Spotify perlahan bertransisi jadi label rekaman yang menaungi musisi secara langsung bukan obrolan baru. Tak sedikit pengamat industri yang beropini bahwa satu-satunya jalan agar Spotify dapat meraup keuntungan adalah dengan bertransisi menjadi kreator konten, sama seperti Netflix.

Namun, seperti dibocorkan oleh The New York Times, kontrak kerjasama Spotify dengan label raksasa Sony, Warner, dan Universal secara eksplisit melarang Spotify memprakarsai label rekaman. Berhubung ketiga label tersebut memegang 80 persen pangsa pasar pendengar, Spotify jelas tidak berani mengutak-atik kesepakatan, meski dalam jangka panjang sebetulnya mereka pun dirugikan.

Spotify for Artists dipandang sebagai cara mereka untuk menyiasati kesepakatan tersebut dan main belakang. Secara teknis mereka tidak akan beneran jadi label, tapi musisi bakal bagi-bagi untung secara langsung dengan mereka. Ketiga label raksasa tak diam di tempat melihat tingkah polah Spotify.

Mereka mengancam akan menahan lisensi musik yang dibutuhkan Spotify untuk ekspansi ke pasar-pasar menguntungkan seperti India, bahkan bernegosiasi di balik layar dengan pesaing Spotify seperti Apple Music untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih menguntungkan. Pada Juli 2019, Spotify akhirnya mengalah. Meski program Spotify for Artists dilanjutkan, musisi tak lagi bisa mengunggah karyanya secara langsung. Fitur paling kunci dalam program tersebut dihabisi akibat tekanan dari label gede.

Hanya seorang pandir yang akan bertopang dagu menanti kabar gembira bocor dari kantor pusat Spotify di Stockholm, Swedia. Pola konsumsi musik dalam satu dekade terakhir telah berubah drastis, dan tak ada yang sungguh-sungguh paham bagaimana menyiasatinya supaya semua orang sama-sama diuntungkan.

Spotify datang dengan janji surga: ia akan menyudahi perang sia-sia label gede terhadap pembajak musik, menyediakan platform distribusi musik yang mudah dan cepat, serta memungkinkan musisi baru menjangkau audiens luas tanpa harus melamar ke label besar. Namun, lagi-lagi ia mesti takluk terhadap realitas pasar dan pemain-pemain lama industri musik.

Harapan untuk musisi dan label independen barangkali ada pada platform-platform lain seperti Bandcamp, yang memungkinkan musisi dan label berjualan merchandise maupun musik secara langsung kepada pendengarnya. Interaksi langsung semacam itu tak hanya menjembatani jarak antara musisi dengan fansnya, tetapi memungkinkan ekosistem musik berkembang secara organik dan menghidupi dirinya sendiri. Bonusnya: ia juga menjadi ruang untuk karya-karya musikal yang lebih beragam dan menantang secara artistik.

Platform crowdfunding seperti Kolase.com juga memungkinkan musisi mewujudkan gagasan artistiknya dengan dukungan mayoritas dari fans. Kolase telah melahirkan konser, album, serta merchandise dengan konsep menarik dari artis-artis beragam seperti Teddy Adhitya, Elephant Kind, dan serial konser hip hop Street Dealin. Kolase dan Bandcamp tak hanya memungkinkan terjadinya dukungan finansial langsung, tetapi juga menghidupkan kembali interaksi dan kedekatan antara pendengar dan musisi.

Tingkah menjengkelkan Spotify dan ketiga label besar juga menjadi pengingat akan betapa fatalnya kebijakan yang tak melibatkan musisi serta label independen–pihak yang tak sekadar jadi oposisi, tetapi juga menjadi akar rumput dari ekosistem musik. Mau tidak mau, mereka tak mungkin maju satu per satu. Keberadaan serikat musisi seperti The Musicians Union di Inggris–yang menaungi setidaknya 30 ribu musisi–jadi tambah penting.

Pada akhirnya, sebuah ekosistem musik tak boleh menunggu kemurahan hati konglomerat-konglomerat di negeri nun jauh sana. Ia mesti dihidupi dan disemarakkan oleh penghuninya sendiri.

Share: Kebijakan Baru Spotify Bakal Mencekik Musisi Indie. Tenang, Ada Solusinya.