Isu Terkini

Karut Marut Kondisi HAM di 100 Hari Kerja Jokowi-Maruf

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti 100 hari kerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Senin (27/01/20), terutama mengenai kebijakan di bidang hak asasi manusia (HAM). KontraS menyebut pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sama sekali belum menunjukkan komitmennya dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM.

Bahkan, sejak periode pertama memimpin yakni pada 2014-2019 hingga awal kepemimpinan periode kedua 2019-2024, situasinya masih sama persis di mana Jokowi dan jajaran pemerintahannya tak memprioritaskan HAM. Situasi itu terlihat dalam keputusan Jokowi yang mengangkat orang-orang yang dinilai bermasalah dalam struktur Kabinet Indonesia Maju.

“Ada upaya untuk mendeligitimasi HAM dengan menentukan menteri-menteri atau orang-orang yang bekerja untuk kabinet yakni orang-orang yang diduga memiliki tanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM masa lalu,” kata Kepala Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar di kantornya, Jalan Kramat 2, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Senin (27/01).

Tokoh-tokoh Bermasalah di Kabinet Jokowi-Ma’ruf

Rivan menyebut setidaknya ada dua nama tokoh yang kini berada di pemerintahan, yang diduga terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu. “Kami menyoroti dua nama, yakni Prabowo Subianto Menteri Pertahanan, dan Wiranto sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden,” ujarnya.

Prabowo sendiri baru menjabat sebagai menteri dalam pemerintahan di periode kedua Jokowi menjadi presiden. Sementara Wiranto duduk di pemerintahan Jokowi dalam dua periode sekaligus, di mana pada periode pertama polisiti Partai Hanura itu menjadi menteri.

Baca Juga: 13 Tahun Aksi Kamisan dalam Rangkaian Potret

Sementara itu, masih terkait orang-orang yang bermasalah di kabinet, Kepala Divisi Advokasi dan Pembelaan HAM Arif Nur Fikri meminta agar Presiden Jokowi menegur Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly, yang belakangan lebih sering memicu kontroversi. Menurut Arif, gerak-gerik Yasonna tampak lebih mementingkan agenda partai politik ketimbang sebagai menteri yang membantu presiden dalam upaya penegakan hukum.

Padahal, posisi Yasonna sebagai Menkumham cukup strategis dan mestinya ia fokus mengurusi penegakan hukum dan penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu ketimbang sibuk memancing kehebohan publik. “Jadi segala potensi terkait dengan politik, seharusnya presiden menegur Yasonna Laoly,” kata Arif dalam kesempatan yang sama.

Sekadar informasi, selain menjadi menteri, Yasonna sendiri saat ini menjabat sebagai Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan.

Pada 15 Januari 2020, Yasonna turut hadir dalam konferensi pers saat PDIP membentuk tim hukum lantaran partainya merasa disudutkan atas dugaan kasus suap penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024 melalui pergantian antarwaktu (PAW) yang menjerat kadernya Harun Masiku, eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelin, pihak swasta Saeful Bahri, dan eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Apalagi, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga sudah melaporkan Yasonna ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (23/01). Yasonna dianggap merintangi penyidikan (obstruction of justice) yang tengah dilakukan KPK dalam kasus Wahyu Setiawan.

Baca Juga: Polisi Juara Melanggar Fair Trial

Menurut Arif, kalau saja Jokowi memiliki komitmen dalam penegakan hukum, mestinya ia sudah menegur Yasonna.

“Seharusnya Jokowi menegur Yasonna sebagai Menteri Hukum dan HAM, karena dia (Jokowi) mempunyai kewajiban dan kepentingan mewakili negara,” ujarnya.

Catatan Lain KontraS soal 100 Hari Kerja Pemerintahan

Sementara itu, catatan kedua, KontraS menilai pemerintahan Jokowi periode kedua diawali dengan potret buram penegakan hukum dan pelemahan terhadap demokrasi serta pengabaian terhadap HAM. Misalnya saja terkait minimnya akuntabilitas Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara dalam penegakan hukum kasus meninggalnya dua orang mahasiswa Universitas Halu Oleo, bernama Rendi (21) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19).

Rivan menyebut Polda Sultra sejauh ini hanya menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik saja kepada enam anggotanya, di mana satu dari enam anggota tersebut diproses pidana. “Tapi publik tidak mengetahui enam anggota tersebut diberi sanksi karena menembak demonstran atau karena tidak mengikuti prosedur, seperti tidak ikut apel rutin dan membawa senjata api,” kata Rivan.

Lalu, catatan ketiga, adanya kebijakan pemerintah yang merumuskan Omnibus Law dengan tujuan ingin mencapai target kemudahan berbisnis dan iklim investasi. Sayangnya, hal ini justru berdampak buruk ke masyarakat dengan menekan kelompok yang dianggap menghambat kegiatan investasi.

Menurut Rivan, hal ini akan mendorong state actor (aktor negara) maupun non-state actor (aktor bukan negara) untuk berlaku sewenang-wenang. Ini terlihat pada luas hutan yang berkurang 2,6 juta hektare pada periode pertama Jokowi.

Catatan keempat, adanya upaya stigmatisasi kebebasan berekspresi, di mana negara kerap melakukan stigmatisasi pada mereka yang sedang menggunakan hak konstitusional sebagai warga negara. “Stigma yang sering disematkan adalah anarko, komunis, makar bahkan radikal. Stigma tersebut terjadi pada aktivis Papua, mahasiswa maupun PNS,” ucapnya.

Sementara catatan kelima, Kontras memandang tokoh-tokoh baru di pemerintahan periode kedua Jokowi yang menduduki kursi menteri strategis, juga dianggap kerap melakukan blunder dan kesalahan. Misalnya saja Menko Polhukam, Mahfud MD yang beberapa waktu lalu menlontarkan klaim yang cukup mengejutkan yakni bahwa tak ada pelanggaran HAM dalam era pemerintahan Jokowi.

Tak hanya Mahfud, pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin beberapa hari lalu juga jadi sorotan luas. Burhanuddin menyebut kasus Semanggi 1 dan 2 bukanlah pelanggaran HAM berat. “Selama masa 100 hari ini justru pernyataan yang kontradiktif keluar dari mulut-mulut pejabat publik,” ujarnya.

“Lalu, adanya alasan repetitif oleh negara atas upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu karena tidak cukup bukti, serta penyataan kontroversial yang menyangkal impunitas.”

Rivan dan KontraS pun melabeli tokoh-tokoh yang ada di pemerintahan Jokowi-Maruf tersebut sebagai sosok alih-alih menjaga marwah penegakan hukum, tapi justru memperlemah penegakan HAM di Indonesia. “Terlebih lagi upaya negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme yudisial semakin menguat. Yang mana wacana tersebut bertolak belakang dengan korban,” kata Rivan.

Share: Karut Marut Kondisi HAM di 100 Hari Kerja Jokowi-Maruf