Isu Terkini

Kalau Nasi Sudah Jadi Bubur

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Beberapa hari lalu Vice Indonesia menerbitkan berita tentang seorang bos geng pelajar di Tangerang yang diburu polisi karena perkelahian antara kelompoknya dan kelompok lain pada Minggu, 9 Juni 2019, mengakibatkan kematian.

Redaktur pelaksana media tersebut, Ardyan M. Erlangga, menikah kemarin (selamat, Bung!) dan kecil kemungkinan dia mengucapkan ijab kabul sambil membayangkan gir motor yang diikat sabuk taekwondo dan diputar-putarkan. Tetapi saya memikirkan berita itu sampai hari ini. Bukan perkara tawurannya, yang tak pernah saya alami, melainkan: si buron, remaja 16 tahun bernama Dea Imut, mungkin akan masuk penjara, tempat yang jelas tak menyimpan keimutan jenis apa pun. Berapa lama ia bakal dikurung? Apakah dia akan kehilangan tahun-tahun terbaiknya?

Para orangtua, atau setidaknya orangtua saya sendiri, sering menggunakan cerita-cerita seperti itu buat mengantarkan nasihat. “Kalau nasi sudah jadi bubur, cuma bisa menyesal,” kata ibu saya. Tetapi apakah orang yang dihukum karena bersalah pasti menyesal? Dan apa yang disesalinya? Hukuman atau kesalahannya?

Saya ingin percaya bahwa setiap orang, kecuali segelintir saja yang punya masalah kimiawi tertentu di otak mereka, sanggup menyesali kesalahan–dengan atau tanpa hukuman. Dasarnya ialah kenyataan bahwa diri bukanlah sesuatu yang beku. Ia bisa berubah, berkembang, membaik, seiring laju hidup.

Dua pekan lagi, saya bakal berumur 28 tahun. Kadang saya mendengar orang mengatakan bahwa mencapai usia itu adalah sebuah kemenangan, meski saya tak pernah tahu terhadap apa. Beberapa teman sebaya bilang: tahun ke-27, kalau bukan yang terberat, merupakan salah satu yang paling menentukan, dalam hidup mereka. Tetapi saya hanya tahu: sepanjang tahun ini saya gembira dan kecewa karena banyak hal, menangis dan tertawa karena banyak peristiwa. Secara umum sama dengan yang sudah-sudah. Bedanya, tentang tahun-tahun yang lebih lampau, mata saya lebih awas menilai, juga lidah saya lebih luwes bicara.

Kata George Saunders dalam pidatonya saat melepas wisudawan Syracuse University pada 2013 (pidato itu kemudian dibukukan dengan judul Congratulations, By the Way), ada tiga manfaat orang-orang tua bagi anak muda: meminjamkan duit, menjadi bahan tertawaan, dan memberitahukan hal-hal yang disesalinya dalam hidup. Tentang yang terakhir, kata Saunders, “Kadang, seperti yang kalian tahu, orang-orang tua bercerita meski tidak ditanya. Dan kadang mereka tetap bercerita walaupun kalian sudah bilang jangan.”

Sebulan lalu, seorang rekan saya di Asumsi, yang sebelas tahun lebih muda, memanggil saya “Om.” Mungkin ini waktu yang tepat untuk menceburkan diri ke kolam pemandian air panas dan mulai bicara soal penyesalan, meski tidak ditanya….

Sebelas tahun lalu, saya tinggal di rumah kontrakan yang pada atapnya terpacak sebuah tiang besi, dan pada tiang itu bendera Partai Keadilan Sejahtera berkibar-kibar. Kamar yang saya tempati tak kalah hebat: pada salah satu temboknya ada poster Intifada Palestina berukuran besar, dan pada sisi lainnya ada lubang akhir zaman yang bisa mengeluarkan kecoa terbang kapan saja. Tetapi ongkos sewa kamar itu murah dan itulah satu-satunya tempat yang ditawarkan oleh pemandu saya, seorang tetangga yang lebih dulu kuliah di Jogja.

“Insyaallah hanif,” kata si pemandu saat memperkenalkan saya kepada kawan-kawannya. Saya menanyakan apa arti hanif. “Orang yang lurus. Lurus di jalan Allah,” katanya. Dan hanya dalam beberapa hari, latihan para penghuni baru rumah itu, mahasiswa-mahasiswa semester pertama di UGM dan UNY, untuk menjadi kader-kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dimulai.

Pemuda Islam yang baik adalah yang sedikit tidurnya, kata seorang murabbi alias pembimbing. Maka kami mengikuti liqa atau pengajian dalam kelompok-kelompok kecil di kampus, di masjid-masjid, dan di rumah, juga berbagai pelatihan kepepimpinan dan kegiatan organisasi. Saya pernah merayap-rayap seperti biawak di sebuah kali dangkal berbatu di daerah Kaliurang, ikut membakar baliho bergambar George Bush dalam demonstrasi, dan menancapkan bendera-bendera PKS di sepanjang Jalan Affandi pada jam tiga pagi.

Sampai sekarang, teman-teman sekelas di kampus senang menceritakan sebuah adegan dari masa ospek setiap kali kami berkumpul. Waktu itu kakak-kakak tingkat menyuruh kami maju bergiliran buat memperkenalkan diri. Itu bukan pengalaman biasa buat saya, yang seumur hidup hanya menggunakan bahasa Melayu dialek Bangka, termasuk di sekolah, dan tidak pernah berbicara di depan umum. Tekanan itu bertemu sifat berterus-terang yang tak kenal tempat, dan hasilnya ialah bunyi-bunyian berikut: “Saya Dea Anugrah. Saya Cina tapi Islam, dan saya gemar membaca teori-teori konspirasi.”

Minyak rambut saya meleleh bersama keringat.

“Terus, terus, ingat nggak kelen tasnya Dea?” kata Chandra Siagian, salah satu kawan kuliah yang paling akrab dengan saya, seorang peranakan campuran Batak-jet pump, yang keahlian utamanya ialah mengisap apa-apa yang terkubur jauh di dalam tanah lalu menyemburkannya kencang-kencang. “Ada patch bendera Palestinanya, oi!” katanya, lalu tertawa memakai jatah empat orang.

Namun, kelurusan di jalan tarbiyah itu cuma bertahan sebentar. Semester berikutnya, meski tetap tinggal di rumah itu karena sudah membayar sewa buat setahun, saya tak pernah lagi mengikuti kegiatan para penghuni lain. Saban waktu salat subuh tiba, misalnya, pintu kamar saya digedor-gedor. Dan saya, yang biasanya tidur pagi, cengengesan saja sambil menyumpal kuping dengan headset. Saya menukar majalah Sabili dan Eramuslim Digest dengan buku-buku Islam Pembebasan, terutama karya-karya Ashgar Ali Engineer dan Ali Shariati, kemudian menukarnya lagi dengan buku-buku yang membicarakan ide-ide pembebasan, tanpa Islam, dan seterusnya, dan seterusnya.

Suatu kali, sepulang kuliah, saya menemukan kertas bertuliskan “KALAU SAMPAI TERCIUM ASAP ROKOK, JANGAN SALAHKAN KAMI” tertempel di dinding lorong depan kamar saya. Ancaman itu hadir tanpa aba-aba, seperti saya yang melintas di depan beberapa murabbi saat mereka menggosipkan bokong Agnes Monica di depan televisi, hanya tak mengejutkan.

Para penghuni rumah itu kemudian pergi satu demi satu. Beberapa orang lulus kuliah. Sisanya, termasuk kawan-kawan yang sebaya saya, mungkin hijrah ke kontrakan baru bersama-sama. Suatu malam, selain lampu meja di kamar saya, semua lampu di rumah itu tak bisa dinyalakan, dan barulah saya menyadari bahwa saya sendirian di bangunan lapuk dua lantai itu. Bau bangkai tikus menguar ke mana-mana dan berhari-hari saya tidak berhasil menemukan sumbernya.

Uang kiriman dari orangtua saya waktu itu Rp500 ribu per bulan, dan lebih dari separuhnya sudah saya tukar dengan buku-buku. Maka, jangankan buat menyewa tempat tinggal baru, urusan makan pun kadang saya mesti memakai siasat 1:1, yaitu sehari makan dan besoknya cuma minum air galon, berselang-seling. Kadang, saya menumpang makan di kos-kosan teman saya Rozi Kembara, yang hampir sama miskinnya dengan saya.

Banyak pengalaman waktu itu, juga keputusan-keputusan yang saya ambil di dalamnya, kini terasa keliru. Memperkenalkan diri dengan ucapan “saya Cina tapi Islam” di fakultas filsafat, misalnya, tentu akan selamanya jadi salah satu perbuatan paling memalukan dalam hidup saya. Demikian pula soal keterlibatan saya di KAMMI. Tetapi saya tak menyesal, juga tidak kepengin mengubah apa-apa, sekalipun dapat kembali ke hari-hari itu. Di sisi lain, terlepas dari kekecewaan terhadap satu-dua orang, saya menyesal karena telah memutus pertemanan dengan orang-orang pertama yang menyambut saya di perantauan.

Saya menyesali urusan itu sebagaimana saya menyesal kerap ikut tertawa ketika seorang teman sekelas saya di sekolah dasar dihina karena rambutnya berbau sampah setiap hari. Atau dua tahun kemudian, di sekolah yang sama, ketika saya mengatakan, “Eit, eit, lihat ke mana sih?” kepada seorang teman yang bermata juling.

Tak ada hukuman yang saya terima untuk perbuatan-perbuatan jahat itu, tetapi saya tak pernah bisa melupakannya. Mungkin karena secara alamiah, seperti kata Saunders, usia menumbuhkan belas kasih. “Selagi menua, kita menyadari bahwa bersikap egois tak ada gunanya, bahkan tak masuk akal,” katanya. Perubahan itu membuat orang menilai kembali apa-apa yang sudah dilakukannya.

Gagasan-gagasan moral Saunders agaknya banyak dipengaruhi Buddhisme dan, hingga taraf tertentu, Katolikisme. Saya tidak paham keduanya, tetapi saya pernah membaca soal pentingnya belas kasih dalam karya-karya Arthur Schopenhauer.

Immanuel Kant, dalam Groundwork of the Metaphysic of Morals, mengatakan bahwa sebuah tindakan dapat dikatakan bermoral hanya jika orang yang menjadi sasaran perbuatan itu diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat. Dengan kata lain, tindakan tersebut harus steril dari kepentingan pelakunya.

Dan ia memperkenalkan imperatif kategoris, gagasan bahwa setiap manusia terlahir membawa semacam perintah Tuhan yang membuatnya rela bersusah-payah, bahkan berkorban, demi keselamatan dan kebaikan orang lain. Namun, karena didasari “perintah dari atas”, sistem itu secara otomatis mengandaikan sebuah hukum universal, di mana setiap orang dituntut memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain memperlakukannya.

Dan dari sisi mana pun, kata Schopenhauer dalam esainya “On the Basis of Morality”, sistem macam begitu jelas egoistik. Dia mengatakan ada satu nasib yang mengganduli bahu setiap orang di dunia, yaitu kehidupan, yang tidak bertujuan, dan karenanya merupakan rangkaian penderitaan tak kunjung padam. Selama puluhan tahun orang bisa mengumpulkan harta, tahta, cinta, popularitas, dan macam-macam lagi, tetapi yang menunggu sama belaka: kematian, tanpa makna lebih. Situasi itu melahirkan “Fenomena belas kasih (mitleid), yaitu keterlibatan langsung seseorang–tanpa kepentingan terpendam–dalam kubangan penderitaan pihak lain, dan berujung kepada bantuan simpatik untuk mencegah atau mengurangi penderitaan itu.”

Hanya tindakan-tindakan yang didasari belas kasih, kata Schopenhauer, yang mempunyai nilai moral. Sebab ia murni, bebas dari keakuan orang yang mengerjakannya. Namun, mungkinkah belas kasih menjadi landasan moralitas kita semua, dan kemudian menjadi jalan keluar untuk persoalan-persoalan orang banyak, mulai dari, katakanlah, kebiasaan tawuran antarpelajar hingga keterbelahan bangsa akibat pemilihan presiden?

Tentu saja tidak.

Menyesali perbuatan-perbuatan jahat, atau tepatnya ketidaksanggupan bertindak dengan dasar belas kasih, bukanlah urusan sulit. Bahkan sekalipun penyesalan itu amat besar sampai-sampai saya merasa harus menyembunyikannya di akhir tulisan: sebelum merantau, saya sering mengatakan bahwa semua orang Jawa harus diusir dari kampung halaman saya, karena mereka culas dan senang merebut kesempatan kerja para pribumi, dan seterusnya, dan seterusnya….

Yang luar biasa sulit ialah perkara setelahnya.

Share: Kalau Nasi Sudah Jadi Bubur