Isu Terkini

Membangun SDM Papua dengan Memanfaatkan Jalur Trans-Papua

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Setiap rezim tentu memiliki orientasi kebijakan politik yang berbeda-beda. Setiap orientasi kebijakan itu pun, sudah memiliki rasionalisasi-rasionalisasinya masing-masing. Pada masa kepemimpinan Soeharto, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas. Alasannya, Indonesia perlu membangun infrastruktur demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah yang masih tertinggal. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lebih memilih untuk memastikan rakyat Indonesia mendapatkan akses kebutuhan dasar cukup. Kebijakan subsidi bahan bakar, jaminan kesehatan, dan pendidikan gratis lebih dipilih oleh SBY. Hal ini membuat rakyat Indonesia menikmati harga bahan pokok yang tak mahal-mahal amat. Di masa Jokowi saat ini, kembali pembangunan infrastruktur digencarkan. Salah satu yang paling menarik perhatian masyarakat adalah kebijakan Jokowi untuk menggencarkan kembali pembangunan jalan lintas pulau yang menghubungkan berbagai wilayah di satu pulau tertentu. Ada Trans Jawa, Trans Sumatera, dan yang lainnya.

Sebagai seseorang yang baru saja kembali dari liburan tahun baru 2019 menggunakan jalur tol Trans Jawa, saya begitu merasakan manfaat kebijakan infrastruktur era Jokowi ini. Perjalanan saya ke Yogyakarta pada liburan kemarin ditempuh lebih cepat dua jam dari biasanya. Sebelum ada jalur tol Trans Jawa, perjalanan ke berbagai kota di pulau Jawa harus ditempuh dengan jalur non-tol. Ada jalur pantura dan lintas selatan yang dapat dilalui. Meski begitu, kepadatan pulau Jawa yang terus meningkat setiap tahunnya telah memperparah kondisi lalu lintas di jalur-jalur tersebut. Kemacetan yang terus meningkat ini pun semakin menghambat konektivitas antar kota di pulau Jawa. Dibutuhkan jalur baru, yang bersifat bebas hambatan dan dapat meningkatkan konektivitas antar kota di pulau Jawa. Trans Jawa pun telah menjadi solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan 60 persen penduduk Indonesia yang bermukim di pulau ini.

Jika dilihat dari kaca mata orang Indonesia yang bermukim di Pulau Jawa, dapat dengan mudah kita katakan bahwa kebijakan pembangunan jalur lintas pulau adalah kebijakan yang tepat. Sering macetnya jalur Pantura dan lintas selatan selama musim mudik pun menjadi satu indikasi bahwa pembangunan jalan yang membelah pulau Jawa dibutuhkan. Masyarakat Pulau Jawa haus akan jalur yang tidak macet. Kita butuh jalan-jalan! Kita butuh akses! Namun masalahnya, menurut saya, justifikasi ini tidak bisa digunakan untuk kebijakan pembangunan jalur-jalur lintas pulau lainnya. Satu jalur pembangunan yang saya ingin kritisi adalah jalur lintas pulau Trans-Papua.

Jalur Trans-Papua adalah jalur yang menghubungkan Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua, membentang dari kota Sorong di Papua Barat hingga Merauke di Papua. Targetnya, akan tersambung sepanjang 4.330 kilometer jalan. Jalan Trans Papua ini jelas memiliki arti penting sebagai infrastruktur penghubung. Harapannya, Trans-Papua dapat menghubungkan bahkan sampai ke wilayah-wilayah yang terisolasi sama sekali. Pertumbuhan ekonomi pun dapat terwujud.

Sejauh ini, dari kaca mata kelas menengah urban yang tinggal di Pulau Jawa, pembangunan jalur lintas pulau akan menjadi satu solusi ekonomi yang jenius untuk warga Papua dan papua Barat. Mereka dapat berinteraksi lebih jauh, dengan waktu yang lebih singkat. Mereka dapat pergi ke kota, tanpa harus bersusah payah membelah hutan dan menempuh waktu berhari-hari. Secara kasat mata, Trans Papua akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan konektivitas yang lebih tinggi. Namun sebenarnya, anggapan ini adalah anggapan bias orang kota. Kenyataannya? Tidak sesederhana itu.

Hadirnya Jalur Lintas Pulau Tanpa Insentif untuk Menggunakan Jalur Tersebut

Jalan lintas Papua yang diinisiasi di era BJ Habibie dan digencarkan kembali di era Jokowi berangkat dari harapan bahwa kesenjangan dan keterbelakangan ekonomi dapat dientaskan hanya dengan satu jalur lintas pulau. Ini lah logika yang salah. Masalahnya, sebuah jalan hanya akan menjadi jalan tanpa adanya kepentingan yang mendorong untuk orang-orang lintas wilayah berinteraksi. Jika menggunakan logika kelas menengah pulau Jawa, tentu mudah. Kita biasa bepergian ke Bandung, Yogya, Semarang, dan kota-kota lainnya. Mungkin untuk urusan pekerjaan, atau sekadar liburan. Namun di Papua sana, tidak ada urgensi untuk melakukan itu. Tidak banyak kepentingan yang harus dilakukan secara lintas wilayah. Selama ini, yang dibangun hanya infrastrukturnya, tetapi tidak insentif untuk berinteraksinya. Akibatnya? Jalurnya ada, yang menggunakan tidak ada.

Lalu, apa yang seharusnya digunakan agar insentif untuk berinteraksi semakin meningkat? Satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan membangun sumber daya manusianya. Terlihat jelas bahwa sampai tahun 2017, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Provinsi Papua masih mencatat indeks pembangunan manusia paling rendah se-Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada keseriusan dari para pemangku kebijakan untuk memikirkan seperti apa sumber daya manusianya.

Dengan membangun sumber daya manusia, tentu akan semakin banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakatnya daripada hanya sekadar menjadi penonton dari pembangunan yang dilakukan. Akan tumbuh insentif untuk memanfaatkan jalur Trans-Papua yang sedang dibangun secara besar-besaran. Sehingga harapannya, tidak hanya jalurnya yang tersedia, tetapi juga ada manusia-manusia yang memang mampu untuk memanfaatkannya.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Membangun SDM Papua dengan Memanfaatkan Jalur Trans-Papua