Isu Terkini

Jakob Oetama Tutup Usia, Mewariskan Jurnalisme Penuh Kehati-hatian

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Tokoh pers Indonesia sekaligus pendiri grup Kompas Gramedia, Jakob Oetama, meninggal dunia pada usia 88 tahun, hari ini, Rabu (9/9), pukul 13.05.

Menurut keterangan Direktur Kompas Gramedia Rusdi Amral, mendiang disemayamkan di Gedung Kompas Gramedia dan akan dimakamkan pada hari Kamis (10/9), di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. “Karena Bapak juga pemegang penghargaan Bintang Mahaputra [Utama], Bapak akan dikebumikan di Makam Taman Pahlawan di Kalibata, besok siang,” ujarnya.

Jakob Oetama, lahir pada 27 September 1931, mengawali kariernya sebagai jurnalis dengan menjadi redaktur di majalah mingguan Penabur pada 1956. Malang melintang dalam dunia jurnalisme, ia dan rekannya PK Ojong menerbitkan majalah Intisari pada 1963.

Masih bersama PK Ojong, dua tahun kemudian, atas dorongan rekan-rekannya di Partai Katolik dan Jenderal Ahmad Yani, ia mendirikan surat kabar harian untuk menyaingi pamor Harian Rakjat besutan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terbit sejak 1951. Berniat menamai koran itu Bentara Rakjat, mereka akhirnya sepakat menggunakan nama Kompas setelah menerima masukan dari Soekarno.

Jakob berhasil membawa Kompas bertransformasi dari surat kabar yang “hanya” empat halaman dan enam iklan pada 28 Juni 1965 menjadi salah satu pemasok kabar terbesar di Indonesia, baik di dunia cetak maupun digital. Oplah harian cetaknya yang hanya 4.828 eksemplar saat terbit pertama kali naik lebih dari seratus kali lipat menjadi 530.000 eksemplar pada puncak kejayaannya di tahun 2004.

Setelah sukses dengan Kompas, Jakob turut mendirikan surat kabar yang mewartakan berita-berita Indonesia dalam bahasa Inggris, The Jakarta Post, pada 1983. Pada tahun 2006, mimpinya yang tak sampai untuk menjadi guru mendorongnya untuk mendirikan Universitas Media Nusantara.

Jakob juga aktif dalam sejumlah organisasi pers. Ia tercatat pernah menjabat sebagai pembina pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan penasihat Konfederesi Wartawan ASEAN. Berbagai penghargaan juga telah diraihnya. Pada 1973, ia mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah Indonesia. Pada 2003, Universitas Gajah Mada menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi.

Di bawah kepemimpinan Jakob, keluarga Kompas terus berbiak. Anak-anak perusahaan lahir satu demi satu, mulai dari media massa, percetakan, hingga universitas. Imperium media bernama Kompas Gramedia Group yang mulanya mengurus segala tetek-bengek redaksinya di rumah pribadi tersebut kini menempati menara setinggi 223 meter berlantai 53.

Hingga akhir hayatnya, Jakob memandu Kompas mengarungi berbagai rezim dan situasi politik. Di dunia yang rawan pembungkaman, Kompas berhasil bertahan dan berkali-kali terhindar dari masalah seperti pemberedelan berkat “jurnalisme kepiting”-nya. Ia menyajikan jurnalisme yang lugas, berkualitas, mematuhi rambu-rambu, namun senantiasa penuh kehati-hatian.

Baginya, berani tak berarti harus berteriak dan mengacungkan kepalan. Sekali waktu, ia rela mengambil jalan yang tak heroik, yang juga berseberangan dari pandangan PK Ojong, demi kelangsungan Kompas. Itulah peristiwa penghentian penerbitan surat kabarnya pada 20 Januari 1978. Berselang dua pekan, tepatnya 6 Februari 1978, Harian Kompas kembali terbit setelah penandatanganan surat permintaan maaf dan pernyataan kesetiaan kepada pemerintah Orde Baru dengan kop surat tertanggal 28 januari 1978.

Hingga kini, corak itu terus dipertahankan oleh media-media yang dibidani Jakob. Alih-alih menunjukkan keberpihakan, mereka berupaya memperluas cakupan informasi untuk didistribusikan. Tidak perlu memukul tepat di wajah untuk menunjukkan ada yang salah. Barangkali, bagi Jakob Oetama, obrolan panjang berikut segala kerumitannya adalah jalan terbaik.

Share: Jakob Oetama Tutup Usia, Mewariskan Jurnalisme Penuh Kehati-hatian