Isu Terkini

Jakarta, Kenapa Kita Tidak Berdansa?

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Berapakah penghasilan minimum untuk hidup layak di Jakarta? Kalau Anda melajang, kata penulis Ika Natassa dalam sebuah twit, 10 juta rupiah saja. Pada twit berikutnya, dia menyampaikan anggaran kasar, mulai dari biaya sewa tempat tinggal hingga alokasi tabungan. Kalau mau tinggal di tempat eksklusif, katanya, harus punya gaji 20 juta supaya lega. Rangkaian twit itu mewabah dan orang beramai-ramai menanggapi Ika: sebagian mengejek kemampuannya berhitung, sebagian lagi menghakimi gaya hidupnya.

Berkisar dari komentar ke komentar, saya menemukan seseorang mengatakan,”Gaji saya cuma 4 juta. Hidup saya nggak layak, dong.” Saya menekan tombol like dua kali untuk orang itu dan kecemasannya. Seandainya ontran-ontran itu terjadi lima tahun lalu, kata-kata sedih tersebut mungkin saja berasal dari saya.

Lima tahun lalu, saya menjalani pekerjaan tetap pertama di Jakarta dengan gaji 4 juta rupiah per bulan. Di luar pajak dan kewajiban lain-lain, perusahaan memberikan diskon 500 ribu rupiah karena hampir setiap hari saya menempelkan jari di mesin pencatat kehadiran pada waktu paling mustajab untuk berdoa, yakni sepertiga terakhir malam, alih-alih pagi dan sore.

Apa istilah untuk menyebut orang yang memiliki uang berjuta-juta? Jutawan, tentu saja. Dan selaku jutawan, saya bisa menyewa sebuah kamar yang jendelanya tidak bisa ditutup, makan tiga kali sehari, dan membeli sekaleng Bintang buat menyempurnakan me time–artinya duduk-duduk sambil mendengarkan lagu “Indonesia Pusaka” yang disetel berulang-ulang oleh tetangga saya–setiap malam. Hidup terasa cukup dan satu-satunya yang tidak saya miliki cuma harapan.

E.B. White, dalam esainya yang terkenal, “Here is New York”, mengatakan bahwa ada tiga New York. Satu milik orang-orang yang bercokol di dalamnya sejak lahir atau kanak-kanak, satu buat para pekerja yang umumnya datang dari kawasan-kawasan satelit, dan satu lagi milik para perantau. Saya kira begitu pula kota-kota raksasa lain di seluruh dunia, termasuk Jakarta. Warga asli memberi Jakarta identitas, rombongan pekerja ulang-alik memberinya kesibukan, dan para perantau memberinya gairah. Semuanya, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma, adalah Homo jakartensis.

Saya seorang pendatang, tetapi tak ingin selamanya begitu. Saya hendak menetap sebagaimana urusan-urusan penting dan kesempatan-kesempatan terbaik menetap di kota ini. Namun, rencana itu memerlukan harapan besar, dan harapan, pada titik tertentu, menuntut keleluasaan finansial.

Berita buruknya: hari-hari ini, rata-rata orang di seluruh dunia menggunakan 49,3% penghasilan untuk mencicil rumah, jauh lebih berat dibandingkan 17,5% pada 1996, misalnya. Dan dalam lima tahun terakhir, menurut Real Estate Indonesia (REI), harga rumah di perkotaan naik 10 hingga 30% meski rata-rata inflasi hanya sebesar 5%. Maka, hasil survei Kompas pada 2017 wajar belaka: 61% warga berumur 25-35 tahun di tujuh kota besar Indonesia belum memiliki rumah.

Khusus di Jakarta, yang akan menjadi salah satu kota dengan penduduk terbanyak di dunia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, hampir separuh penduduk tak punya rumah, dengan backlog alias kekurangan tempat tinggal sebanyak 1,3 juta hunian.

Lima tahun lalu, saya tak sanggup membayangkan masa depan yang aman di Jakarta. Dan kalau saya saja, yang tumbuh besar dalam keluarga kelas menengah, belajar di salah satu universitas terbaik di negeri ini, dan punya pekerjaan dengan gaji di atas upah minimum merasa terancam, bagaimana dengan orang-orang miskin?

Oh, mereka terperosok makin dalam.

Menurut BPS, ketimpangan ekonomi telah banyak berkurang dibandingkan pada 2014, tetapi di sisi lain, saya–yang kini berpenghasilan sesuai standar minimum Ika Natassa–bahkan mulai merasa hanya sanggup membeli rumah bersubsidi, seperti banyak orang dengan kemampuan ekonomi setingkat. Pertama, aturan soal batas penghasilan bisa disiasati dengan memisahkan gaji dalam dua rekening. Kedua, saya tak sanggup mengejar kenaikan harga di perumahan-perumahan biasa, yang diperlekas oleh kebiasaan orang-orang berduit untuk menjadikan rumah sebagai instrumen investasi.

Jadi, di manakah orang-orang miskin semestinya tinggal? Bagi kelas menengah-atas Jakarta pada umumnya, jawaban untuk pertanyaan itu terang-benderang: di mana saja asalkan tak dekat-dekat sini.

Ian Wilson, dalam “Pengalihan Isu Ketimpangan & Kemiskinan di Pilgub Jakarta“, mengatakan: “Hasrat memperoleh keamanan, gaya hidup mewah, dan kenyamanan berarti perluasan pemisahan hidup dari orang-orang miskin. Mereka mengurung diri di dalam rumah-rumah mewah berpagar, bangunan-bangunan apartemen yang menjulang, pusat-pusat perbelanjaan, dan kendaraan pribadi.”

Wilson juga menulis bahwa penataan ulang kota semasa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama–yang melibatkan penggusuran sejumlah pemukiman liar–populer di kalangan kelas menengah karena, salah satunya, mewakili hasrat mereka untuk bebas dari kekumuhan.

Salah satu konsekuensi terburuk pemisahan ruang hidup adalah distribusi air. Kita tahu mayoritas penduduk Jakarta, kaya maupun miskin, mengandalkan air tanah alih-alih jaringan PAM. Dari 1 miliar meter kubik konsumsi air per tahun di Jakarta, sekitar 630 juta meter kubiknya didapat dari sumur-sumur. Masalahnya, menurut riset Michelle Kooy dan Kathryn Furlong, pompa-pompa berkekuatan tinggi di lingkungan-lingkungan bisnis dan pemukiman warga kaya mengisap sebagian besar air tanah dalam. Itu menyebabkan penurunan permukaan tanah sekaligus meningkatkan risiko banjir.

Dan kalau banjir terjadi, cadangan air tanah yang tercemar pertama kali jelas di daerah-daerah kumuh, terutama di pesisir yang rendah. Coba tebak siapa yang tinggal di sana? Petunjuknya: jangankan alat-alat pengolahan air, membeli air minum dalam kemasan saja mereka sering tak sanggup.

Kerawanan ekonomi, bayangan berembun tentang masa depan, penyingkiran dari ruang-ruang hidup yang melekat dengan mata pencarian, ditambah ancaman kesehatan karena terpaksa minum air beracun, saya kira, lebih dari cukup buat menjepit saraf siapa saja. Dan dalam keputusasaan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak sekali lagu pop kita, yang tersisa tinggal “mengapa.”

“Mengapa kami menderita?” misalnya, adalah pertanyaan bertenaga besar yang gampang dimanfaatkan secara politis.

Semasa Orde Baru, pemerintah menjawab dengan cara menunjuk orang-orang Tionghoa. Belum lama ini, siasat serupa dipakai kembali. Menurut Wilson, jaringan pendukung Anies Baswedan pada pemilihan gubernur yang lalu “tidak segan-segan mengeksploitasi kecemasan dan penderitaan kaum papa dengan ceramah-ceramah yang mencampurkan kritik terhadap neoliberalisme dan demokrasi dengan kebencian terhadap ‘asing.'”

Sewaktu gelombang kemarahan itu bangkit ke permukaan sebagai hasil politik identitas yang brutal, berapa banyak di antara kita yang malah mengoceh soal keberagaman sampai berbusa-busa atau, lebih buruk lagi, menggoblok-goblokkan mereka?

Dua hari lalu, Jakarta berulang tahun ke-492. Saya mendatangi puncak perayaannya di Bundaran HI. Ramai sekali. Orang-orang berdesakan di sekitar panggung buat menyaksikan penampilan grup-grup musik terkenal dan pertunjukan lain-lain. Di sepanjang Jalan MH Thamrin, gelombang manusia tak putus-putus mendekati atau menjauhi pusat kerumunan. Namun, suasana yang saya rasakan sama sekali tak mengesankan pesta. Dalam pesta, orang membaur dan berdansa, bukannya sibuk dengan ponsel atau otopet masing-masing. Dalam pesta, lampu-lampu bersinar terang. Dalam pesta, kegembiraan menyala-nyala.

Saya kehilangan minat, lalu buru-buru mengambil sepeda motor yang terparkir di belakang bioskop Djakarta XXI. Sepanjang jalan, saya berpikir apakah orang-orang tidak berpesta sebagaimana mestinya karena merasa berbeda satu sama lain? Atau semata-mata karena memang tak ada pencapaian yang patut dirayakan dalam setahun terakhir?

Begitu tiba di kamar, saya membuka pintu balkon lebar-lebar dan menuang Jose Cuervo Especial ke dalam dua gelas. Langit bersih dan terang. Hampir dua tahun lalu, juga ketika langit bersih dan terang, saya bertanya kenapa orang-orang di Mexico City bisa berpesta kapan dan, sepertinya, untuk alasan apa saja. Teman saya Abraham Lobillo bilang bahwa saya beruntung datang ke kota itu beberapa pekan setelah gempa. Tidak terlalu cepat, tidak terlambat.

“Gempa, Bung. Gempa keparat itu mengeluarkan sisi terbaik kami,” katanya.

Saya menelan isi gelas pertama untuk Jakarta, sambil berharap ia senantiasa aman dari bencana. Kemudian gelas kedua, diiringi harapan lain, untuk diri sendiri. Lima tahun lalu, belum ada satu pun buku saya yang diterbitkan dan teman saya Sabda Armandio mirip sekali dengan Sujiwo Tedjo. Apa susahnya, sih, mencari sesuatu buat dirayakan? Kalau saja ada musik, asalkan bukan “Indonesia Pusaka”, dan dua atau tiga orang lain, asalkan bukan Pak Gubernur, saya tak berkeberatan menunjukkan joget T-Rex andalan saya.

Share: Jakarta, Kenapa Kita Tidak Berdansa?