Isu Terkini

Indonesia dan Hukuman Alternatif Pengguna Narkotika

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang tegas menyatakan perang terhadap narkotika. Bahkan, Jokowi tak segan mengeksekusi mati siapa saja yang tersangkut kasus narkotika. Sayangnya, kebijakan itu menimbulkan pro dan kontra, hingga sejumlah pihak meminta adanya hukuman alternatif yang lebih manusiawi.

Global Commission On Drug Policy (GCDP), Komisi Global untuk Kebijakan Narkoba, meminta pemerintah Indonesia menghentikan hukuman mati dalam mengatasi pemberantasan narkotika. Ruth Dreifuss, salah satu petinggi GCDP, menilai hukuman mati bahkan tak memberi dampak apapun terhadap peredaran narkotika.

Narasi perang terhadap narkotika justru menempatkan penekanan berat pada penggunaan praktik-praktik penegakan hukum narkotika yang punitif (menghukum). Namun, semestinya, hal tersebut tak lantas menghilangkan pentingnya aspek kesehatan pemulihan ketergantungan narkotika dari diskursus publik yang ada.

Unsur HAM Mesti Jadi Pijakan Kebijakan Narkotika

Ruth mengatakan, daripada menerapkan hukuman penjara, pemerintah dan pihak-pihak terkait mestinya bisa memahami bagaimana pengobatan terhadap pengguna narkotika. Menurutnya, kebijakan narkotika itu harus rasional dan berpijak pada unsur-unsur hak asasi manusia (HAM).

“Indonesia adalah negara demokrasi yang terus berkembang. Namun justru mengalami kendala dalam mengatasi persoalan narkotikanya,” kata Ruth saat berbicara dalam Public Seminar bertajuk “Sustainable Development In Indonesia: What Can Be Learned From Global Best Practice In Drug Control?” di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Rabu (29/01).

Ruth menyebut kebijakan problematik narkotika dengan mengganjar hukuman mati tentu sangat tidak manusiawi. Di Indonesia sendiri, eksekusi mati terhadap terpidana narkoba bahkan digaungkan sendiri oleh Presiden Jokowi.

Misalnya pada Jumat (21/07/17) silam, saat memberi sambutan di acara penutupan Mukernas PPP di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Jokowi memerintahkan Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menindak tegas pengedar narkoba di Indonesia. Bahkan bila perlu ditembak mati di tempat.

“Sekarang memang Polri, BNN betul-betul tegas. Sudah lah tegasin saja, terutama pengedar narkoba asing yang masuk kemudian sedikit melawan sudah langsung ditembak saja. Jangan diberi ampun,” kata Jokowi.

Tindakan tegas itu diambil lantaran Jokowi menilai kondisi peredaran narkoba di tanah air betul-betul sudah sangat mengkhawatirkan. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan ada 18 orang bandar narkoba yang dieksekusi mati di era pemerintahannya. Namun ia tetap memerintahkan ada tindakan lebih tegas, terutama bagi pengedar narkoba dari negara asing.

Sehari sebelumnya atau pada Kamis (20/07/17), Kapolri saat itu Tito Karnavian menginstruksikan kepada pasukannya untuk menembak mati bandar dan pengedar narkoba yang melawan saat akan ditangkap. Praktis, ucapan Jokowi dan Tito itu langsung membuat Indonesia dinilai akan mengikuti langkah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte dalam memberantas narkoba.

Sekadar informasi, sejak menjabat pada 30 Juni 2016, Duterte berusaha memenuhi janji-janji kampanyenya, termasuk memberantas peredaran narkoba di Filipina. Berdasarkan data Human Rights Watch, selama enam bulan sejak Duterte menjabat, sudah lebih dari 7.000 orang tewas, yang diduga sebagai pengedar hingga pengguna narkoba.

Public Seminar bertajuk “Sustainable Development In Indonesia: What Can Be Learned From Global Best Practice In Drug Control?” di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Rabu (29/01/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Menariknya, bukan hanya aparat keamanan Filipina saja yang bergerak dalam operasi perang melawan narkoba tersebut. Rakyat biasa juga bergerak dengan hakim sendiri (vigilante). tercatat hingga April 2017, setidaknya ada 2.500 orang yang diduga pengedar/pemakai narkoba tewas di tangan polisi, sementara 3.600 dibunuh vigilante.

Baca Juga: Kriminalisasi Pengguna Narkoba Sebabkan Berbagai Masalah Baru

Di Indonesia sendiri, pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana narkoba diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta peraturan lain yang setingkat, seperti Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Di era pemerintahan Jokowi, eksekusi mati terjadi pada tiga gelombang pada rentang 2015-2016. Eksekuti pertama kali dilakukan pada 18 Januari 2015 lalu terhadap enam terpidana kasus narkoba. Lalu, tiga bulan kemudian atau pada 29 April 2015, Jokowi kembali mengeksekusi mati delapan orang. Eksekusi terakhir terjadi pada 29 Juli 2016 terhadap empat terpidana mati.

Namun, pemerintah tak menggelar eksekusi mati kepada terpidana narkoba di sepanjang 2017. berdasarkan data Amnesty International, per Desember 2019, masih ada 90 terpidana mati kasus narkoba yang belum dieksekusi.

Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan tidak adanya eksekusi mati pada 2017 lalu, lantaran terkendala faktor yuridis, yang berkaitan dengan Putusan MK yang menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 yang mengatur pembatasan waktu pengajuan grasi ke presiden.

Isi dari putusan tersebut adalah membebaskan terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja. Selain itu, Putusan MK juga ikut mengubah aturan sebelumnya, yakni pengajuan grasi dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

Sekadar catatan, Laporan Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan tindak pidana khusus per November 2018 masih didominasi kasus narkotika. Dari total 256.273 penghuni, sebanyak 74.037 di antaranya adalah pengedar dan 41.252 penghuni lainnya adalah pengguna narkoba.

Hukuman Tegas Bisa Picu Kriminalitas Lain

Ruth mengatakan, hukuman tegas yang diterapkan dalam kasus narkotika justru hanya menimbulkan kriminalitas lain seperti korupsi, hingga perdagangan manusia. Berdasarkan kajian data dan testimoni yang dilakukan GCDP, tidak sedikit pengguna narkotika menyuap pihak peradilan untuk membebaskan atau setidaknya meringankan hukuman.

Ruth pun menampik jika pemikiran seperti ini menimbulkan sikap permisif terhadap pemberantasan narkotika. “Seharusnya kita memberantas orang di level atas (bukan sekadar pengguna narkotika), karena pengguna itu bisa kapan dan di mana saja bermunculan,” kata mantan Presiden Swiss tersebut.

Lebih jauh, Ruth juga menyoroti tingginya kriminalisasi terhadap pengguna narkotika. Menurutnya, dengan adanya kriminalisasi, pengguna narkotika akan merasa khawatir untuk berkonsultasi dan meminta pertolongan agar bisa terbebas dari jerat narkotika.

Dalam hal ini, kriminalisasi yang dimaksud adalah selalu menerapkan hukuman penjara bagi pengguna narkotika. Padahal, sudah bukan rahasia umum lagi kapasitas penjara di Indonesia sudah melebihi ambang batas. “Harusnya kita mampu menyediakan akses obat bagi pemakai. Hentikan kriminalisasi yang justru memebankan penjara,” ujarnya.

“Tidak ada “silver bullet” untuk semua masalah. Namun, penting diketahui bahwa dekriminalisasi adalah jawaban yang patut dipertimbangkan. Kriminalisasi pemakaian akan melahirkan penjara yang sesak dengan pemakai narkotika. Kriminalisasi adalah halangan untuk akses kesehatan. Kriminalisasi juga adalah akar korupsi penegakan hukum.” Menurutnya, dekriminalisasi adalah langkah pertama untuk reformasi kebijakan narkotika. Di samping itu, hukuman mati harus dihapuskan.

Sementara itu, Mantan Perdana Menteri dan Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, yang juga Komisioner GCDP, mengatakan bahwa GCDP memiliki misi untuk mendorong kebijakan narkotika yang lebih humanis, berbasis bukti ilmiah, dan dapat memperbaiki kualitas hidup manusia atau masyarakat.

Ramos-Horta mengatakan di negaranya sendiri Timor Leste, secara natural dan kultural tidak punya preferensi atau tendensi terhadap penggunaan hukuman mati. “Maka dari itu, tidak pernah terbersit dalam benak Timor Leste untuk menerapkan penggunaan hukuman yang punitif ketika ingin mengatasi persoalan narkotikanya,” kata Ramos-Horta pada kesempatan yang sama.

Bahkan, Ramos-Horta menyebut di Timor Leste tak ada hukuman seumur hidup di penjara. Sebab, Timor Leste sendiri percaya akan sanctity of life. Sehingga kalau dilihat lagi, tingkat penyalahgunaan obat-obatan di negaranya justru sangat rendah, bahkan hanya akan menemukan ada empat hingga lima narapidana narkoba (pengguna) dalam sebuah penjara.

Ramos-Horta menyebut untuk penyelundup itu semuanya adalah warga negara asing, tidak ada yang berasal dari Timor Leste. Meski begitu, para penyelundup itu tetap tak terancam hukuman mati. “Pandangan kami, hukuman mati tidak menjawab persoalan dan bahkan menghentikan pengedaran narkoba.”

Ramos-Horta berharap pemerintah Indonesia menerapkan hukum yang lebih manusiawi terhadap pengguna narkoba serta menghentikan hukuman mati untuk pengedar, terlebih Indonesia adalah negara demokratis dengan masyarakat yang toleran. Menurutnya, hukuman mati yang berlaku terhadap pelaku pengedar narkoba di Indonesia belum terbukti efektif dalam memangkas jumlah peredaran narkoba.

“Mereka yang mengonsumsi obat-obatan terlarang ini hanya menjadi korban, beda halnya dengan pengedar. Sementara masih banyak negara, termasuk Indonesia, yang memenjarakan pengguna.”

Menurut Ramos-Horta, pengedar merupakan pelaku kriminal yang sebenarnya dan harusnya bertanggung jawab karena mendapatkan untung dari perbuatannya. Apalagi, lanjutnya, pengedar ini sama sekali tak tidak peduli dengan konsekuensi yang harus dijalani sang korban.

“Indonesia boleh saja tidak memaafkan para pengedar narkoba, tapi bagi pengguna, seharusnya berlaku aturan yang lebih berbelas kasih dan manusiawi. Oleh karenanya, kami merekomendasikan kepada Komnas HAM agar mendorong pemerintah membuat kebijakan yang memberi kesempatan lebih baik bagi pengguna untuk direhabilitasi, diperlakukan lebih manusiawi.”

Perlakuan yang manusiawi juga harus diberikan pada perempuan pengguna, lantaran mereka justru jauh lebih rentan, belum lagi sering dikelabui para pengedar. Bahkan, hampir semua perempuan pengguna narkoba yang menjalani hukuman di penjara dalam kondisi yang mengkhawatirkan, di mana mereka kerap mengalami penyiksaan.

“Kami mengajukan kepada pemerintah Indonesia agar hukum nasional terhadap kasus narkotika bisa sejalan dengan aturan Deklarasi Universal HAM PBB juga program Sustainable Development Goals (SDGs),” ujarnya.

Ramos-Horta pun mengatakan bahwa reformasi kebijakan narkotika di sebuah negara bisa dimulai dari pemimpinnya. Menurutnya, ketika ada sebuah permasalahan dilihat dari kacamata yang irasional, prasangka buruk, dan mengesampingkan partisipasi masyarakat, hal itu akan berujung pada kebijakan yang tidak produktif.

“Kondisi ini bisa dilihat di banyak negara. Tapi kita juga bisa mengamati bahwa ketika kepemimpinan yang kuat, dengan compassion, dan otoritas moral yang jernih, maka sebuah negara bisa mulai beranjak mengatasi masalah yang muncul secara lebih efektif.”

Share: Indonesia dan Hukuman Alternatif Pengguna Narkotika