Isu Terkini

Indonesia Bisa Belajar dari Pemilu Presiden Sri Lanka 2019

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Sri Lanka, sebuah negara pulau di Asia Selatan, baru saja menggelar pemilihan umum pada Sabtu (16/11/19). Panglima Militer Sri Lanka pada era perang, Gotabaya Rajapaksa, terpilih sebagai presiden setelah mendapatkan lebih banyak suara ketimbang Sekertaris Kabinet Sajith Premadasa.

Sekitar tujuh bulan lalu, pada Minggu (21/04/19), Sri Lanka dihantam serangkaian serangan bom bunuh diri yang dilakukan serentak di sejumlah titik yakni di Kolombo, Negombo, dan Batticoloa. Namun, negara dengan sistem pemerintahan republik presidensial itu bangkit dan kini berhasil menyelenggarakan kontestasi politik, sampai akhirnya punya presiden baru.

Seperti dikutip dari Reuters, Komisi Pemilihan Umum Sri Lanka mengumumkan pada Minggu (17/11/19) bahwa Gotabaya berhasil memenangkan pemilu dengan keunggulan 52,5 persen suara. Sementara rivalnya Premadasa hanya mendapat 41,99 persen suara.

Gotabaya bukanlah figur asing di kancah perpolitikan Sri Lanka. Sosok yang berpangkat terakhir Letnan Kolonel ini dikenal sebagai orang yang berjasa mengalahkan kelompok separatis Tamil. Ketika pemberontakan Tamil terjadi pada 10 tahun silam, Sri Lanka dipimpin oleh kakak Gotabaya yakni Mahinda Rajapaksa.

Yang tak mengejutkan, Gotabaya menunjuk Mahinda sebagai Perdana Menteri (PM) usai Pemilu 2019. Mahinda diketahui pernah menjabat sebagai Presiden Sri Lanka selama dua periode berturut-turut, sejak 2005 hingga 2015. Dalam rezim Mahinda, Gotabaya menjabat sebagai Sekretaris Menteri Pertahanan.

Penunjukan tersebut dilakukan setelah Ranil Wickremesinghe mengundurkan diri dari jabatan PM menyusul kekalahan partainya. Gotabaya berjanji akan memimpin Sri Lanka dengan baik demi memberi rasa aman kepada 22 juta jiwa penduduknya.

Baca Juga: Polemik Wacana TNI/Polri dan ASN Ikut Pilkada Tanpa Harus Mundur

Dalam komentar pertamanya, Gotabaya membuat sebuah catatan perdamaian yang menekankan bahwa dirinya merupakan seorang pemimpin bagi seluruh masyarakat Sri Lanka, apa pun etnis dan agama mereka.

“Karena kita akan menjalani sebuah perjalanan baru, kita semua harus ingat bahwa seluruh masyarakat Sri Lanka adalah bagian dari perjalanan ini. Mari kita berbahagia dengan damai, penuh martabat dan disiplin dalam bersikap seperti yang kami kampanyekan,” kata Rajapaksa melalui akun Twitter pribadinya.

Sistem Pemilu ‘Contingent Vote’ di Sri Lanka

Ketua KPU Sri Lanka Mahinda Deshapriya menyebut angka partisipasi pemilih atau pengguna hak pilih pada pemilu kali ini cukup tinggi, yakni mencapai 80 persen dari 15,99 juta orang yang terdaftar pada Pemilu Sri Lanka 2019.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, yang menyaksikan Pemilu Sri Lanka sebagai pengamat internasional, mencatat beberapa hal dari pesta demokrasi di sana.

“Pilpres Sri Lanka diikuti 35 capres, dari jalur parpol maupun independen. Pemilih hanya memilih capres, tanpa wapres. Meski ada 35 calon, di lapangan hanya ada dua calon dominan dari dua partai besar,” kata Titi saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (21/11/19).

Menurut pengamatan Titi, surat suara di Pemilu Sri Lanka hanya berupa daftar nama tanpa foto, tidak penuh dengan warna-warni mewah seperti surat suara Pemilu di Indonesia. Lalu, waktu pemungutan suara dimulai pada pukul 07.00 pagi dan ditutup pukul 17.00 sore.

Penghitungan suara sendiri dilakukan terpusat di Counting Center yang dimulai pukul 19.00 malam pada hari yang sama dan langsung selesai keesokan harinya. Titi menyebut Sri Lanka punya Postal Vote untuk pegawai pemerintah (termasuk polisi dan tentara) yang bertugas pada hari pemungutan suara, baik sebagai petugas pemilu maupun pengamanan.

Baca Juga: Partisipasi Politik Semu

“Di sana, jumlah pemilih per TPS itu berkisar paling sedikit 700-an orang sampai dengan 3.000-an. Pemilih perlu menempuh perjalanan beberapa saat sebelum tiba di TPS. Hanya bisa memilih kalau nama ada dalam DPT yang dibuktikan dengan salah satu dari tujuh penanda identitas yang diakui KPU,” ucap Titi.

Sri Lanka sendiri menganut sistem pemilu yang dikenal dengan nama Contingent Vote atau “suara kontingen” yang dimodifikasi, satu-satunya di dunia. Di mana pemilih di surat suara memberi tanda angka untuk menentukan preferensi capresnya dari pilihan pertama, pilihan kedua, dan pilihan ketiga, atau tanda X kalau cuma punya satu preferensi.

“Capres yang mendapat preferensi satu (pertama) sebanyak 50 persen lebih menjadi pemenang. Kalau tidak ada yang dapat 50 persen + 1, maka dilakukan penghitungan preferensi kedua, sampai ada yg mendapat 50% + 1,” ujar Titi.

Dalam hal ada babak kedua, jika satu kandidat gagal memenangkan lebih dari 50 persen suara secara langsung, suara preferensi kedua akan ditambahkan ke penghitungan dua kandidat teratas untuk menentukan pemenang.

Pemungutan suara berlangsung sepanjang hari. Kalau ada pemenang langsung, hasilnya diumumkan segera pada keesokan hari. Jika penghitungan babak kedua diperlukan, yang belum pernah terjadi sebelumnya di Sri Lanka, maka hasilnya bisa memakan waktu satu hari lebih lama.

Lalu, dalam pemilihan, petugas TPS mayoritas guru atau pegawai pemerintah, dan kebanyakan adalah perempuan. Di banyak TPS, petugas registrasi pemilih juga bahkan mayoritas perempuan. Di Counting Center hampir semua petugas yang menghitung surat suara Postal Vote adalah perempuan.

“Jadi memang mayoritas perempuan dilibatkan dalam pemilu. Kotak suara dan bilik suara terbuat dari karton (cardboard) coklat, diikat pita pink dan dilakban dengan lakban berlogo KPU. Saat dikirim ke Counting Center, kotak suara dibungkus plastik bening.”

Baca Juga: Aturan KPU dalam Pilkada 2020: Pemabuk No, Eks Koruptor Yes?

Menurut Titi, secara keseluruhan pemilu berjalan aman, damai, dan tertib. Ada beberapa kekurangan, namun Titi menyebut bahwa hal itu tak terlalu berpengaruh pada hasil. Meski desain/layout TPS, khususnya lokasi bilik suara kurang menjamin kerahasiaan pemilih saat memberikan suara, menurut Titi dasarnya bukanlah intensi untuk curang.

Lalu, Titi juga melihat ada pemilih yang tidak masuk daftar pemilih sehingga tidak bisa menggunakan hak pilih. Pekerja migran yang tidak bisa memilih karena tidak difasilitasi pemilu luar negeri dan mereka tidak sanggup pulang. Adapula dugaan media swasta yang dianggap bias pada salah satu calon, serta beberapa sentimen kampanye yang dianggap kurang ramah pada minoritas.

“Tapi saya belajar soal keterlibatan perempuan yang tinggi sebagai penyelenggara pemilu, juga tingkat kepercayaan publik yang tinggi pada jajaran KPU. Sekadar informasi, mereka tidak punya Bawaslu di sana. Hasil pemilu bisa diketahui finalnya sehari setelah pemungutan suara dan calon yang kalah bahkan langsung mengakui kekalahan dan menghormati hasil pemilu.”

Pelajaran bagi Indonesia dari Pemilu Sri Lanka

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran bagi Indonesia dari penyelenggaraan Pemilu Sri Lanka 2019. Dari segi jumlah capres yang ikut serta dalam pemilihan, tentu Sri Lanka punya lebih banyak figur lantaran diikuti 35 capres, daftar semua nama capres bisa diklik di link ini. Sementara Indonesia, dari pemilu ke pemilu, figur yang ikut serta menjadi capres hanya itu-itu saja.

Pada Pemilu 2004, terdapat lima pasangan capres-cawapres yang ikut serta. Lalu, Pemilu 2009 hanya mengikutsertakan tiga pasangan capres-cawapres, sedangkan Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres, di mana pada dua edisi pemilu itu yang bertarung hanya dua orang yang sama yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

“Calon yang beragam bisa menekan polarisasi pemilih dan lebih mampu menampung keragaman ekspresi politik warga. Transparansi jadi kunci lahirnya kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu,” kata Titi.

Termasuk pula soal desain surat suara yang sederhana dan murah, tanpa foto warna-warni yang membengkakkan biaya. Terakhir, peran perempuan yang cukup besar sebagai petugas TPS. Di sana petugas KPS kebanyakan guru sehingga ketelitian dan kecermatan lebih terjaga.

“Mestinya Indonesia tidak perlu takut dengan banyak kandidat. Supaya masyarakat bisa punya banyak pilihan dan tidak terjebak pada politik identitas. Selain itu, hasil pemilu yang segera diumumkan juga membantu mencegah spekulasi dan kecurigaan pada proses penghitungan suara, sehingga potensi konflik juga bisa diredam,” ujarnya.

Tak hanya itu saja, yang tentu jadi pembelajaran penting dari Pemilu Sri Lanka adalah perilaku siap menang dan siap kalah yang diperlihatkan secara besar hati oleh capres yang kalah yakni Sajith Premadasa. “Sudah seharusnya capers yang kalah bisa menerima dan menghormati hasil pemilu dengan mengajak publik untuk sama-sama mendukung pemerintahan yang terbentuk sebagai hasil pemilu.”

Share: Indonesia Bisa Belajar dari Pemilu Presiden Sri Lanka 2019