Isu Terkini

Harga Rokok Murah, (Si)Apa yang Berpengaruh dan Terpengaruh?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Harga rokok yang murah di Indonesia berdampak pada meningkatnya perokok, terutama anak-anak dan keluarga miskin. Dengan harga rokok yang terjangkau apalagi dijual secara batangan, sebenarnya siapa yang berpengaruh dan apa yang dipengaruhi?

Sekadar informasi, pada 2015, Oxford Business Group mengungkapkan bahwa di Indonesia, rokok dapat dijual secara eceran dengan harga rata-rata US$ 0,10 (atau sekitar Rp1.000) per batang. Dari catatan itu, Indonesia menduduki rangking rokok termurah peringkat 10 dari 36 negara Asia Pasifik.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menggelar diskusi publik dengan nama Ruang.Temu Edisi #2 dengan tema “Rokok Murah: Si (Apa) yang Berpengaruh dan Terpengaruh?” di Tierspace, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 6 September 2018.

Diskusi tersebut menghadirkan para peserta dengan latar belakang social change-makers dan penggerak komunitas lifestyle. Ada pun tiga pemantik diskusi itu adalah Nurul Luntungan (CISDI), Yasha Chattab (Pakar Komunikasi Pemasaran), dan Laila Munaf (Pendiri Sana Studio dan Pegiat Gaya Hidup Sehat).

Sementara moderator untuk diskusi kali ini adalah Sari Soegondo dari IDCOMM. Dalam diskusi tersebut, topik utama yang dibahas adalah soal harga rokok di Indonesia, yang cenderung murah dari perspektif komersil. Lantas, apakah harga rokok yang murah itu adalah untuk kepentingan branding? Lalu apa saja upaya masyarakat untuk meninggalkan budaya merokok?

Baca Juga: Polemik Harga dan Cukai Rokok, Masih Perlu Dinaikkan atau Biarkan?

Berikut rangkuman diskusi Ruang.Temu Edisi #2 dengan tema “Rokok Murah: Si (Apa) yang Berpengaruh dan Terpengaruh?” yang juga dihadiri Asumsi.co.

Jumlah Perokok Anak-anak dan Perempuan Meningkat

Nurul Luntungan, sebagai pemantik pertama yang berbicara sekaligus membuka diskusi mengatakan bahwa perokok laki-laki masih mendominasi dalam segi jumlah terbanyak di Indonesia. Namun, jumlah perokok anak-anak dan perempuan justru terus meningkat.

“Jadi kalau jumlah perokok di Indonesia itu 3:10 dan didominasi oleh laki-laki. Yang meningkat setiap tahunnya itu adalah perokok anak. Jadi trennya memang perokok anak itu meningkat,” kata Nurul di Tier Space, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 6 September 2018.

Menurut Nurul, walaupun harga rokok dinaikkan, tren untuk menjadi perokok masih tetap ada lantaran rokok masih akan mudah untuk diakses.

Apalagi jika kita melihat data yang ada, bahwa tingkat merokok di kalangan anak-anak pada usia 10-14 tahun di Indonesia itu meningkat drastis. “Kalau perokok anak itu meningkat tidak ada pengaruh yang signifikan ya terhadap harga rokok.”

Selain anak-anak, perokok di kalangan perempuan juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di mana tingkat perokok perempuan pada tahun 2013 adalah 12 kali lebih tinggi dibanding tahun 1995.

Meningkatnya perokok di kalangan perempuan ini tentu dipengaruhi beragam faktor, misalnya saja faktor lingkungan sosial yang diisi banyak perokok aktif, sehingga mau tidak mau ada dorongan secara tidak langsung hingga akhirnya keinginan untuk merokok itu muncul.

Nurul memperkuat argumennya bahwa untuk mengubah perilaku perokok memang perlu dibarengi dengan sisi ekonomi. Menurut Nurul, branding dan image yang diciptakan perusahaan rokok melalui iklan (misalnya) memang sangat kuat, harganya sendiri di Indonesia rata-rata 14.000/bungkus.

Mirisnya, lantaran harga rokok murah dan tingkat konsumsi terhadap rokok itu sendiri terus meningkat, BPJS Kesehatan pun ikut terkena imbas. Bayangkan saja, BPJS harus menanggung biaya lebih besar untuk meng-cover penyakit akibat rokok.

“Sekarang BPJS Kesehatan sedang defisit. 25% biaya BPJS dibebani oleh penyakit-penyakit akibat rokok. Pemasukannya 150 Triliun tapi yang dikeluarkan 600 Triliun untuk biaya pengobatan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok,” ujar Nurul.

Ada Gempuran Hebat dari Sisi Komunikasi Pemasaran Rokok

Sementara itu, menjamurnya rokok murah dan meningkatnya para perokok dari kalangan anak-anak dan perempuan, tak lepas juga dari gempuran iklan-iklan rokok yang beredar di ruang publik. Komunikasi pemasaran rokok ikut berperan dalam meningkatnya jumlah perokok.

Menurut Yasha Chatab, semakin banyak regulasi yang diciptakan, maka orang-orang atau para perokok justru merasa semakin di-challenge oleh kehadiran regulasi-regulasi tersebut. Terlebih, aturan-aturan soal pengendalian tembakau dan rokok di Indonesia sendiri masih longgar dan belum terlalu kuat.

“Dari segi komunikasi dan regulasi, masih perlu reinforcement karena memang bagaimanapun industri rokok masih perlu hidup,” kata Yasha.

Lalu, dari sisi gaya hidup sehat, Laila Munaf mengungkapkan bahwa untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia, maka perlu kampanye dan edukasi soal hidup sehat tanpa rokok secara masif dan berkelanjutan.

“Untuk menyadarkan perokok yang ada di lingkungan orang yang menggiati hidup sehat, mungkin mudah. Tetapi, untuk skala lebih besarnya mungkin kita harus memperbanyak kampanye dan edukasi hidup sehat karena memang masih banyak orang di sekitar yang ignorant,” kata Laila.

“Ibaratkan kampanye mengenai pengurangan penggunaan plastik yang marak di sosmed, mungkin bisa digunakan juga untuk mengampanyekan hidup sehat tanpa rokok.”

Menurut Laila, hidup sehat itu sebenarnya tidak hanya sekedar olahraga teratur, makan sehat, atau tidur cukup saja. Lebih dari itu, usaha untuk tidak merokok juga menjadi pelengkap sempurna dari pola hidup sehat.

Lalu, Apa Solusinya?

Sebagai final statement, ketiga pemantik memang menyoroti soal harga murah rokok. Untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia, memang harga rokok sendiri harus dinaikkan termasuk dibarengi dengan kampanye yang kuat.

“Kampanye mengenai hidup sehat kurang efektif untuk mengurangi habit yang sudah dibangun bertahun-tahun. Sehingga kenaikan harga rokok memang diperlukan,” kata Yasha.

Sementara Laila juga menegaskan bahwa untuk mengurangi jumlah perokok, dua hal penting, yakni kampanye dan edukasi, harus dijalankan berbarengan. “Semua harus berjalan berbarengan. Kampanye dan edukasi mengenai bahaya merokok iya, dan kenaikan harga juga iya,” kata Laila.

Lalu, senada dengan Yasha dan Laila, Nurul menambahkan bahwa perubahan sendiri bisa digerakkan oleh masyarakat terkait bahaya rokok ini. Apalagi selama ini, peran pemerintah selama ini untuk mengontrol peredaran rokok memang tak terlalu kuat.

Demand untuk merokok memang sangat didukung dengan industri + harganya sangat murah. Perubahan itu bukan terjadi dr regulasi pemerintah, tp dari masyarakat. Jd pertanyaannya adalah “What can we do about this?”.

Setidaknya ada tiga poin kesimpulan yang dihasilkan dari diskusi kali ini. Pertama, mari kita mulai mendiskusikan rokok dari segi ekonomi. Lalu, kedua, kampanye edukasi perlu dilakukan namun tetap dibarengi dengan kontrol kebijakan. Ketiga, harga rokok sebaiknya dinaikkan setinggi-tingginya.

Share: Harga Rokok Murah, (Si)Apa yang Berpengaruh dan Terpengaruh?