Budaya Pop

Gundala: Pahlawan Tak Mesti Super

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Semesta Gundala (2019) itu jauh dari kata damai. Film ini dibuka dengan adegan perseteruan: Bapak Sancaka (Rio Dewanto) memimpin aksi demo buruh pabrik yang berakhir ricuh. Selanjutnya, adegan demi adegan dihiasi dengan perkelahian dan konflik antar warga. Sekelompok buruh dan aparat penjaga pabrik kembali berseteru, Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) dikejar dan dikeroyok oleh sekelompok preman, Sancaka besar (Abimana Aryasatya) berkelahi dengan sekelompok preman pasar.

Walaupun cerita Gundala berpusat pada Sancaka yang punya kekuatan super, adegan Sancaka mengeluarkan jurus petir itu sendiri bisa dihitung jari dibandingkan dengan adegan-adegan adu fisik. Sebagaimana Carol (Brie Larson) dalam Captain Marvel (2019) yang kekuatan utuhnya baru keluar di akhir film, Sancaka pun mesti banyak belajar dan beradaptasi sebelum ia bisa benar-benar menguasai kekuatannya.

Selama proses tersebut, Gundala untungnya tak terjangkit penyakit yang sama dengan kebanyakan film Indonesia yang bertema bela diri. Film-film seperti The Raid (2011), Headshot (2016), maupun The Night Comes For Us (2018) punya masalah serupa: saking fokusnya pada adegan-adegan perkelahian, plot cerita pada film itu sendiri jadi diabaikan. Tak peduli siapa, latar belakang, atau motivasi karakter-karakternya—yang utama adalah saling hantam, bunuh, dan darah bercipratan.

Dalam Gundala, kita dituntun lebih dahulu untuk mengetahui siapa itu Sancaka. Film ini memperlihatkan masa kecil Sancaka beserta latar belakang ekonominya. Sancaka tinggal di rumah petak yang sempit dan dengan pencahayaan remang. Karena bapaknya adalah pemimpin demo buruh, kita pun jadi bisa menebak bahwa bapak Sancaka tak digaji dengan layak oleh pabrik tempatnya bekerja.

Kita juga bisa paham mengapa Sancaka punya banyak kebimbangan sebelum akhirnya ia memilih untuk peduli: pengalaman-pengalaman masa lalunya mengajarkan bahwa peduli akan membuatnya celaka.

Sancaka Bukan Dewa

Sebenarnya, hingga akhir film, kita belum tahu apa atau siapa sebenarnya Sancaka. Mengapa Sancaka selalu diincar oleh petir? Apakah Sancaka adalah jelmaan dewa, utusan dewa, setengah dewa, atau anak dewa? Entahlah. Namun, yang pasti, dengan kekuatan supernya itu, Sancaka tidak serta merta didewakan oleh karakter-karakter lain di sekitarnya.

Film-film Indonesia yang berpusat pada seorang tokoh penting punya kecenderungan untuk mengagumi tokoh tersebut secara berlebihan. Lihatlah bagaimana Fahri (Fedi Nuril) dalam Ayat-ayat Cinta 2 (2017) yang sudah dianggap seperti Tuhan. Orang-orang mengagumi sifat baik, pintar, dan derwamannya. Perempuan mencuri-curi flirting kepadanya. Semua orang antara ingin menikahi atau menyembahnya.

Pola serupa terlihat pula pada film-film biopik seperti Habibie & Ainun (2012), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), hingga A Man Called Ahok (2018). Sebagai tokoh yang menjadi panutan banyak orang, film seakan otomatis menjadikan karakter-karakter utama tersebut tanpa cela dan seolah-olah jadi sumber jawaban bagi segala pertanyaan.

Sancaka untungnya tak diperlakukan berlebihan oleh orang-orang di sekitarnya. Alih-alih dipandang dengan penuh hormat dan didewakan, Sancaka lebih berperan sebagai teman dan sahabat. Sancaka adalah teman slash gebetan bagi Wulan (Tara Basro), abang bagi adik Wulan, dan orang yang masih perlu diingatkan atau diberi nasihat bagi Pak Agung (Pritt Timothy), rekan kerjanya yang lebih senior.

Sancaka bukan menjadi tempat bertanya, ia sendiri punya banyak pertanyaan tentang dirinya. Pak Agung sempat meragukan Sancaka yang mengklaim bahwa ia telah berhasil melawan 30 orang preman yang hendak mengeroyoknya. Ia perlu diingatkan berkali-kali—oleh Wulan dan Pak Agung—hingga akhirnya mau menggunakan kekuatan supernya untuk membantu orang-orang di sekitarnya. “Yang saya tahu pasti, kedamaian tak akan berlangsung lama,” bilang Pak Agung kepada Sancaka yang hendak pergi meninggalkan kotanya.

Gundala pun tak serta merta menjadikan Sancaka kuat dan tak bisa dikalahkan. Film ini memperlihatkan proses yang dilalui Sancaka sebelum ia bisa mengendalikan kekuatannya. Ia merasakan berkali-kali disambar petir sebelum akhirnya menemukan cara agar listrik bisa mengalir ke tubuhnya tanpa merasa sakit. Ia kebingungan dengan kekuatannya yang kadang muncul kadang hilang, sebelum akhirnya sadar kekuatannya juga butuh di-charge ulang. Sancaka memang bisa mengalahkan 30 orang tanpa luka yang berarti, tetapi ia juga bisa pingsan ketika dipukul dengan pentungan besi.

Maka, kesan kagum terhadap karakter Sancaka itu datang bukan dari ucapan orang-orang yang selalu memujinya, tetapi karena penggambaran karakter Sancaka itu sendiri yang mudah bikin orang lain relate.

Bahkan, Gundala tak membuat keberhasilan Sancaka melawan musuh di akhir film dirayakan dan diselamati oleh orang banyak. Sancaka memecahkan misi utamanya di tempat yang sepi. Ia tak datang ke tempat ramai di mana para ibu hamil sedang mengantri disuntikkan serum.

Keberhasilan Sancaka itu hanya diketahui oleh segelintir orang. Sebab, sebagaimana ia menjawab pertanyaan Ridwan Bahri (Lukman Sardi) ketika ditanya siapa sebenarnya ia, Sancaka adalah bagian dari rakyat. Ia tak merasa perlu dianggap lebih tinggi dari orang lain.

Menjadi Relevan

Sebagai film yang mengawali cinematic universe (jagat sinema) Bumi Langit, Gundala mengambil keputusan menarik dengan banyak memperlihatkan konflik masyarakat yang familiar dengan permasalahan di Indonesia.

Tawuran antar warga, demo buruh pabrik, dan penjarahan toko-toko elektronik terjadi di mana-mana. Tulisan “anti pendatang” dan dua pemilik toko beretnis Cina yang tokonya hendak dijarah mengingatkan kita pada Kerusuhan Mei 1998. Belum lagi kasus pengadaan vaksin anti serum amoral besar-besaran yang mengingatkan pada kasus korupsi produksi vaksin flu burung untuk manusia pada 2008-2010.

Dalam usahanya untuk menjadi relevan tersebut, Gundala juga ikut menyentil peran aparat kepolisian yang pada dasarnya tak berperan apa-apa. Sebagai pihak atau lembaga yang seharusnya menjaga situasi masyarakat aman dan tentram, Gundala justru mengambil keputusan untuk tak memperlihatkan sosok polisi sama sekali.

Percakapan tentang polisi hadir satu kali ketika Sancaka menyarankan kepada Wulan untuk menyerahkan kasus pembakaran pasar kepada mereka. Usul tersebut langsung ditolak oleh Wulan. “Terus? Emangnya polisi bisa ganti rugi?” ucap Wulan, seolah tak percaya polisi dapat membantu melakukan investigasi, apalagi menangkap pelakunya.

Di film yang kebanyakan latar tempatnya terletak di jalanan, rumah kumuh, dan pabrik koran itu, karakter-karakter yang hadir di Gundala kebanyakan adalah preman, anak jalanan, warga yang ketakutan, dan media yang lewat liputannya mengamini kondisi suram kota tersebut.

Orang-orang yang berperan sebagai wakil rakyat justru berjarak dari situasi riil di lapangan. Ferry Dani (Arswendy Bening Swara) lebih banyak mengomel tentang perilaku sewenang-wenang Pengkor (Bront Palarae), si anggota termuda perwakilan rakyat lebih mementingkan egonya dengan terang-terangan memusuhi Pengkor tanpa tahu pasti seberapa berbahayanya ia, anggota-anggota perwakilan rakyat lain pun tak mempertanyakan dampak spesifik dari serum amoral itu.

Gundala memperlihatkan situasi rapat perwakilan rakyat yang membahas persetujuan pengadaan serum pencegah serum amoral itu. Tak ada orang yang mempertanyakan apa makna amoral itu sendiri. Argumen-argumen yang menginginkan serum itu diadakan lebih berfokus pada hal-hal yang sama abstraknya, seperti “saya ingin masuk surga”, “semua orang ingin anaknya bermoral”, dst.

Hal serupa pun terjadi pada rapat rahasia yang dihadiri oleh orang-orang dari berbagai sektor yang punya concern atas persebaran serum. Membicarakan tentang penting atau tidaknya pengadaan serum bagi ibu hamil, kebanyakan dari pihak yang hadir di rapat ironisnya adalah orang tua dan laki-laki. Bahkan, hanya Ferry Dani yang mempertanyakan maksud dari amoral itu sendiri. “Pornografi? LGBT? Saya baru peduli jika korupsi juga termasuk,” ucap Ferry.

Gundala memang banyak mengeluarkan kata “ketidakadilan” dan “moral” tanpa benar-benar memberikan contoh spesifik perilaku-perilaku yang menggambarkan kata tersebut. Disengaja atau tidak, hal ini tentu jadi membingungkan bagi penonton. Namun, mengingat keabstrakan sistem hukum kita sekarang ini, mungkin Gundala sedang mengkritik realitas tersebut.

Sebutlah UU ITE dan pasal-pasal karetnya, yang saking abstraknya malah berakhir memidanakan orang-orang yang sedang mengkritik tindakan-tindakan menyeleweng pemerintah, perusahaan, atau orang-orang yang berkuasa. Orang-orang yang paling vokal berteriak “menjunjung moral” malah mencederai hak asasi orang lain, seperti rencana penetapan RKUHP yang justru berpotensi memidana korban perkosaan, atau fraksi PKS yang menolak RUU PKS dengan alasan tidak cocok dengan budaya ketimuran.

Gundala yang banyak berefleksi dengan lingkungan sekitarnya ini menjadi penting, mengingat masih banyak film Indonesia di bioskop yang berpaling dari permasalahan di sekitarnya. Warkop DKI yang terkenal kritis terhadap Orde Baru malah berakhir diadaptasi menjadi film yang banyak mengobjektifikasi perempuan.

Sebagaimana Black Panther (2018) yang secara kritis dan relevan membahas isu refugee di Amerika Serikat, sangat disayangkan jika film pahlawan super (atau disebut pula dengan patriot) Indonesia berakhir sekadar memamerkan kekuatan dan kualitas CGI. Untungnya, walaupun Gundala punya jalan cerita yang cukup rumit untuk dipahami dalam sekali menonton, film ini paham pentingnya alur cerita yang masuk akal dan punya konteks yang relevan. Kita pun jadi bisa berharap film-film jagat sinema Bumi Langit selanjutnya tak melupakan hal itu.

Share: Gundala: Pahlawan Tak Mesti Super