Isu Terkini

Generasi Prekariat Indonesia: Berpendidikan dan Terancam

Wildanshah — Asumsi.co

featured image

Ijazah bukan jalan pintas menuju pekerjaan. Banyaknya lulusan universitas, pada satu sisi, justru membuat status sarjana semakin tak berharga. Lulusan-lulusan baru berebut mata pencarian dengan senior-seniornya, juga dengan orang-orang yang pendidikannya lebih rendah. Tak jarang kita mendengar para sarjana mengeluh lebih sulit mendapatkan pekerjaan daripada orang-orang tanpa ijazah perguruan tinggi, padahal biaya kuliah mahal.

Di Jakarta, misalnya, sarjana-sarjana itu berusaha mendapatkan kerja, rela berdesakan, menanggung kemacetan, pindah dari satu kantor ke kantor lainnya untuk menawarkan diri. Mahalnya biaya tempat tinggal diakali dengan berbagi kasur dengan teman. Kadang dua hingga tiga orang pencari kerja bersempit-sempit di satu kamar demi mencari pekerjaan.

Menurut berbagai laporan dan kajian ketenagakerjaan, setiap tahun jumlah pengangguran berijazah meningkat. Dan saban tahun juga, kampus-kampus di Indonesia–terlepas dari kualitas pendidikannya–meluluskan lebih banyak mahasiswa demi keuntungan. Maka, tak ajaib jika OECD menyatakan Indonesia akan menjadi negara dengan jumlah sarjana muda terbanyak pada 2020.

Prediksi lembaga itu soal jumlah sarjana tepat, namun kesimpulannya bahwa anak-anak muda berpendidikan bakal memperluas lapangan pekerjaan ada baiknya ditimbang kembali. Pada kenyataannya, orang masih lebih senang mencari kerja daripada membuka lapangan pekerjaan. Situs pencarian kerja dan pendaftaran ASN toh tetap diandalkan oleh generasi milenial yang katanya mengutamakan fleksibilitas. Permasalahan lain: ijazah bukan jaminan penguasaan ilmu, ia hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah bersekolah.

Generasi Prekariat

Sarjana muda yang menganggur lambat laun akan merintangi perekonomian Indonesia. Lebih jauh, rupa-rupa persoalan sosial-politik menjadi risiko yang patut dipertimbangkan bersama-sama. Anak-anak muda semakin lama semakin pesimistis memandang hidup. Jika dahulu status sarjana adalah jaminan memperoleh pekerjaan impian, hari ini mereka dipaksa menerima pekerjaan apa pun yang tersedia, meski dengan upah dan kontrak kerja yang tidak jelas.

Tak sedikit muda-mudi yang bekerja tanpa jaminan hak-hak pekerja. Karena tidak memiliki pilihan lain, mereka menerima kenyataan dan berhenti bermimpi. Untuk bertahan hidup dan mendapatkan status sosial, mereka rela bekerja di sektor-sektor informal yang rentan dan biasanya tak disertai jaminan hari depan.

Dalam situasi tersebut, alih-alih menjadi proletar, generasi berpendidikan di Indonesia menjadi prekariat. Istilah itu dipopulerkan Guy Standing dalam buku The Precariat: the New Dangerous Class (2014) yang mulai mendapatkan relevansinya di situasi Indonesia sekarang. Menurut Standing, prekariat adalah seseorang yang menjadi “pekerja rentan” dengan  jam kerja, jaminan kerja, kontrak kerja, lingkungan kerja, upah kerja, mekanisme kerja,  atau  sistem kerja yang tak menentu. Sebaliknya, meski sama-sama memerlukan peningkatan kualitas hidup, kaum proletar atau kelas pekerja lebih memiliki “kejelasan kerja, hak pekerja, bahkan jaminan masa depan.”

Fenomena prekariatisasi melekat pada generasi muda Indonesia hari ini, yang diantaranya tercermin dari nasib  para pekerja kontrak (outsourcing), pekerja magang (intership), pekerja lepas (freelance), pekerja paruh waktu (part time) atau menjadi mitra kerja dari perusahaan, lembaga masyarakat maupun pemerintah. Merekalah generasi prekariat, individu-individu yang kapan saja dapat disingkirkan dengan mudah atas nama kepentingan dan keuntungan yang ditopang oleh sistem Labour Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga kerja fleksibel yang bertujuan mengalihkan risiko dan  meminimalisir kerugian  pemberi kerja dengan menjaminkannya kepada tenaga kerja.

Api dalam Sekam

Bonus demografi membuat generasi muda menjadi warga negara mayoritas di Indonesia. Sayangnya, anak muda menjadi semakin frustrasi di tengah lapangan kerja yang semakin sempit, berebut dengan kawanan sendiri sembari ditekan tuntutan orangtua. Di sisi lain, jumlah para pencari kerja yang melimpah dari generasi muda membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan, dengan dalih uji kompetensi, untuk menerapan sistem kontrak dan upah murah.

Ini gejala umum banyak anak muda saat memasuki dunia kerja. Menurut Wyn & White dalam Rethinking Youth (1997), keberhasilan anak-anak muda melewati masa transisi diukur dari kesanggupan mereka untuk menyelesaikan pendidikan, mendapatkan pekerjaan layak, dan membangun keluarga.

Dalam prosesnya, transisi tidak  semudah dan semulus yang kita bayangkan, karena ia selalu terkait dengan konteks perubahan sosial dan kelas sosial di mana mereka tumbuh dan berinteraksi. Merujuk Risk Society (1992) karya Ulrich Beck, mereka menghadapi moderitas tingkat lanjut, moderitas yang berbeda dengan yang sebelumnya, menuju sebuah masyarakat risiko.

Pada moderitas awal, individu relatif lebih mudah mendapatkan kepastian hidup. Namun, dalam moderitas lanjut, hidup dipenuhi risiko ketidakpastian. Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa kini kehidupan sosial semakin terindividualisasi, dengan seluruh risiko struktural: risiko mental, risiko sosial dan risiko ekologis kini ditanggung oleh individu.

Anak muda prekariat dalam masyarakat risiko dituntut untuk berjuang lebih keras, kokoh meski dihantam ancaman berlapis, dan merencanakan masa depannya sendiri yang semakin tidak pasti. Pertanyaannya: apakah mereka benar-benar harus menderita sendirian? Apa yang dapat dilakukan pemerintah?

Share: Generasi Prekariat Indonesia: Berpendidikan dan Terancam