Budaya Pop

Gabber Modus Operandi: “Band Indonesia Suka Bersikap Kayak Kedutaan”

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Sebagai makhluk berzodiak Cancer, saya tentu sudah terbiasa menangis. Sering, tapi sedikit saja. Namun, ketika festival musik mentereng Primavera Sound 2020 mengumumkan penampil finalnya, tangis saya tumpah seperti hujan awal tahun. Sekarang, di kamar saya, air sudah setinggi lutut.

Hajatan tersebut tak hanya menampilkan megabintang seperti Lana Del Rey, The National, The Strokes, Beck, Kacey Musgraves, Brockhampton, hingga Tyler, The Creator. Musisi muda yang menghasilkan album-album gemilang seperti Black Midi, Boy Harsher, Lingua Ignota, 100 Gecs, dan Otoboke Beaver pun akan terbang ke Spanyol bulan Juni nanti.

Dan di atas semuanya, jika kamu jeli, kamu akan mendapati satu nama yang menggemparkan di tengah rombongan tersebut. Sambutlah, satu-satunya perwakilan Indonesia di Primavera Sound: Gabber Modus Operandi.

Selama dua tahun terakhir, Gabber Modus Operandi telah menggemparkan panggung-panggung lokal maupun mancanegara dengan musik elektronik mereka yang rancak. Racikan joget galak mereka telah mengambyarkan venue pilih tanding seperti Unsound di Polandia, Boiler Room Session di Nyege Nyege Festival Uganda, serta CTM Festival di Berghain, Ka’bah-nya musik techno.

Alkisah, Kasimyn (DJ, produser) dan Ican Harem (MC) bekerjasama sejak Kasimyn jadi DJ langganan di konser-konser punk bawah tanah Denpasar, Bali. Selagi Kasimyn memainkan seleksinya dengan BPM luar biasa cepat dan volume memekakkan telinga, Ican bakal merebut mic dan berimprovisasi.

Keduanya bukan orang baru di kancah musik bawah tanah lokal. Sebelum pindah ke Bali, Kasimyn dikenal sebagai vokalis grup punk United by Haircuts di Jakarta. Adapun Ican pertama mengemuka di scene seni rupa dan musik eksperimental Yogyakarta, saat ia satu tongkrongan dengan pentolan Jogja Noise Bombing dan memprakarsai grup “black metal karaoke boy band” bernama Cangkang Serigala. Eratnya afinitas mereka dengan dunia seni rupa muncul sejak dari nama–Gabber Modus Operandi adalah plesetan dari Geber Modus Operandi, kolektif seniman lintas disiplin yang beroperasi di Jogja pada dekade 1990-an.

Gabber Modus Operandi adalah hasil kawin silang sekian banyak genre yang sama-sama agresif, cepat, dan penuh adrenalin. Mulai dari lepasan musik elektronik macam gabber, hardcore techno, dan Chicago footwork, pengaruh grindcore dan noise music yang memanggil kembali arwah DIY punk mereka, hingga plesetan musik tradisional lokal macam jathilan dan dangdut koplo.

Dalam sebuah wawancara dengan Bandcamp Daily, Kasimyn menyatakan pengaruh utama mereka adalah “musik tradisi yang mengelilingi kehidupan sehari-hari kami”, mulai dari musik ritual Calon Arang yang meramaikan tradisi folklor Bali, iringan joged Barongan, hingga Gamelan. Semuanya dibungkus dalam balutan visual yang kaya warna, teriakan dan improvisasi dari Ican Harem, serta selipan humor kelam.

Dari segi pendekatan estetik, Gabber Modus Operandi pun merayakan segala hal yang dituding kampungan dan murahan. Kasimyn menyampaikan bahwa mereka “berada di tengah yang suci dan banal, selagi merayakan akses internet 4G”, sementara Ican Harem berkelakar bahwa Gabber Modus Operandi adalah “Post-Alay Holistic Sound Healing.” Secara musikal, mereka memadukan tangga nada slendro dan pelog khas musik tradisi dengan teriakan penuh sumpah serapah dan sampel bunyi yang ramai seperti pasar udik.

Pada 2018, mereka merilis album perdana mereka, Puxxximaxxx di bawah naungan label daring legendaris YES NO WAVE, disusul album kedua HOXXXYA yang dirilis tahun lalu oleh label asal Shanghai, SVBKVLT.

Sore tadi, kami berbincang dengan Ican Harem tentang budaya alay, beach club Bali, serta pembubaran acara Rave Pasar yang mereka prakarsai akhir pekan lalu.

Istilah “Post-Alay Holistic Sound Healing” gagah sekali, bung. Boleh diceritakan muasalnya?

Awalnya dari obrolanku dengan teman-teman Maternal Disaster untuk mengacu pada karya busana yang aku bikin. Sekitar 3-4 tahun lalu, aku prediksi budaya alay bakal naik lagi. Orang-orang bakal mulai merayakan kekampungan dan jiwa kampungan mereka, serta absurdnya budaya alay yang sempat naik di tahun 2000-an. Akhirnya, itu yang sempat kupakai untuk tema kreatif baju-bajuku. Bisa dibilang, alay itu kerak-kerak dari kebudayaan populer kita.

Ketika ketemu Kasimyn, kami sering ngobrol soal itu. Saat itu kami sudah mulai jamming, tapi belum tercetus ide bikin Gabber Modus Operandi. Istilah “post-alay” akhirnya kepikiran lagi. Kami menambahkan “sound healing” buat mengejek bule-bule kulit putih yang datang ke Bali buat cari kesembuhan. Sejak kapan sih Bali labelnya jadi healing banget? Padahal menurut kami ada banyak sisi lain dari kultur kita, dan ketika post-alay dan sound healing itu ditabrakkan, jadinya absurditas maksimal.

Apa yang kalian pelajari dari budaya alay?

Aku dan Kasimyn sama-sama berasal dari skena musik yang underground dan adiluhung bangetlah pokoknya. Kadang kami memandang sebelah mata alay. Semua orang pasti punya fase seperti itu.

Padahal kalau kami telaah lagi, orang-orang yang kita sebut alay ini selebrasinya lebih jujur dan murni ketimbang kita yang sok-sokan indie remuk. Alay pasti terasosiasi dengan dangdut, misalnya. Aku dan Kasimyn jadi sering nonton dangdutan di Denpasar. Dan ternyata dari segi bahasa tubuh, ekspresi mereka ketika nyanyi bersama, dan saat mereka merayakan suasana, mereka lebih selebrasi ketimbang kalau kita nonton Barasuara di depan dan merasa lebih pintar dari semua orang.

Apalagi untuk kami yang tinggal di Bali. Harus datang ke beach club dan merasa keren sekali. Cuk, apaan ini? Kami malah menemukan kenyamanan kembali di anak-anak yang katanya alay, dan kami mulai mengeksplor kultur ini lebih jauh. Sampai akhirnya kami bertanya, “Lho, apakah sebenarnya kami ini alay? Jangan-jangan ini identitas kita sesungguhnya?” Karena lebih nyaman, Mas. Ternyata nyambungnya dengan orang-orang ini, dengan yang dangdutan dengan organ tunggal yang absurd itu.

Di scene musik kita, perayaan terhadap budaya kitsch dan alay sudah agak naik juga.

Memang ada banyak. Gabber Modus Operandi, misalnya, mengambil dari segi eksperimental. Ada juga Prontaxan dari Yogyakarta yang merayakan subkultur yang beririsan dengan budaya alay. Ada juga Feelkoplo yang me-remix lagu-lagu indie dengan gaya koplo.

Memang ada yang merayakan musik ini secara ironis. Jadi untuk diejek, untuk lucu-lucuan. Tapi buat kami ini pleasure, bukan guilty pleasure. Kami merayakan hal yang memang kami sukai.

Dan sekarang eksperimentasi alay itu bakal menjejakkan kaki di Primavera Sound.

Sebenarnya itu gara-gara jejaring yang berhasil kami dapat di Eropa, Mas. Saat kami main di Unsound Festival di Polandia, di belakang panggung itu isinya booking agent semua. Tapi jejaring itu baru bakal bermanfaat kalau presentasi kau mantap. Kalau presentasi kau kayak krupuk, orang juga bakal malas memanggil kau, kan? Kadang, orang kita suka luput di masalah presentasi. Ada band bagus, tapi di panggung biasa saja. Dari segi stage presence, sekadar sok ganteng.

Buat Gabber Modus Operandi, kami merasa tiap kali manggung itu harus kayak di rumah sendiri. Panggung harus terasa seperti rumah dari segi bahasa tubuh dan gaya komunikasi kami. Agak kocak juga melihat band kita main di luar negeri lalu mendadak bawa bendera Indonesia. Kalau kamu main di rumah sendiri, nggak akan dibawa, kan? Buat kami, yang penting main seolah-olah kami main di Denpasar. Bawa saja elemen rumahan itu.

Nggak usah jadi duta. Kadang-kadang kita suka latah merasa kita ini kedutaan Indonesia. Kau manggung pakai batik, bawa bendera. Buat apa, sih?

Jumat (10/1), kamu mengorganisir Rave Pasar. Gabber Modus Operandi juga harusnya tampil di sana. Boleh diceritakan latarnya?

Sebenarnya, inisiatornya bukan cuma kami. Ada beberapa kolektif independen di Bali. Tiga tahun terakhir, musik eksperimental di Denpasar sebenarnya lagi naik. Salah satu produk yang mereka hasilkan ya Gabber Modus Operandi.

Tapi selama ini di Bali, kamu harus main di beach club atau nungguin DJ bule yang keren atau malah biasa-biasa saja. Jarang ada tempat yang akan mempresentasikan kami, itu pun berulang dan orangnya itu-itu saja. Kami harus menunggu ada gigs, karena siapa juga yang mau undang?

Kalaupun ada yang undang, pasti tipikal acara bawah tanah. Publikasi seadanya, yang datang itu-itu saja, dan sound system tidak mumpuni. Kami mau mencoba mematahkan semua itu. Sebenarnya bisa lho, cuk. Kamu produksinya masuk, publikasinya masuk, mending bikin saja sendiri. Nggak usah ada relasi sama beach club-beach club ini.

Enaknya di Rave Pasar, kami nggak mau ada bendera yang besar. Maunya ini untuk semua kolektif saja, supaya ada kesadaran bareng untuk membangun ekosistemnya. Kami juga sengaja enggak mau disponsorin di acara pertama. Supaya ada studi kasus buat anak-anak bahwa ketika semua kolektif patungan, acaranya bisa dipresentasikan secara maksimal.

Penampilnya pun ngeri semua. Krowbar, Gabber, Senyawa, Raja Kirik…

Kami sengaja mencari band yang nilai lokalnya kental, tapi nggak nasionalis. Nggak mesti pakai batik buat ngomongin Indonesia, kok. Ketika kamu melihat sampul album Swagton Nirojim-nya Krowbar, misalnya, itu anak black metal makan Chiki di depan warung. Itu nggak ada di negara mana pun selain Indonesia. Sebenarnya ini identitas lokal kita juga, lho.

Kamu nggak usah pakai sarung, pakai batik. Mengangkat nilai lokal itu nggak harus dengan cara yang perlente–harus pakai kebaya dan bikin Hari Kebaya Nasional. Budaya pop juga punya kelokalannya sendiri. Kita sudah mencapai sana, ekspresinya sudah seliar itu, dan kita punya sesuatu yang kuat untuk ditawarkan.

Tapi acara dibubarkan oleh polisi. Seperti apa insidennya?

Acara itu kami adakan di bekas gudang cuci mobil yang nggak dipakai. Sebagai pengorganisir, kami tentu minta izin sama pemilik gedung. Kami ceritakan konsepnya–ada penjualan tiket, dan kalau bisa sampai pagi. Pemilik tempat setuju dan bilang dia saja yang mengurus perizinan acaranya karena dia punya relasi di Polda. Kemudian izin turun dan tulisannya, acara dari jam 18.00 WITA sampai 13.00 WITA di hari berikutnya. Kami sudah senang banget!

Pas acara, ada Babinsa datang. Acara dia berhentikan paksa saat Senyawa baru manggung satu menit. Ternyata si pemilik tempat dan polisi ada miskomunikasi. Izin memang turun dari Polres, tapi Polsek dan Babinsa tidak diberitahu. Ketika kami tunjukkan surat izin ke Babinsa, acaranya boleh sampai jam 1 siang keesokan harinya, dia bilang ini pasti salah ketik. Harusnya selesai jam 23.00 malam. Dia juga mulai mempermasalahkan kenapa tidak diberitahu, kenapa ada jual alkohol, kenapa pakai tiket, padahal tiketnya sekadar buat nutupin biaya produksi.

Akhirnya apes saja. Pihak tempat merasa bersalah, polisi pun merasa bersalah, kami juga kurang cross check, akhirnya bubar jam sebelas. Sebenarnya sedih sih, tapi gapapa. Tinggal bikin lagi.

Yang penting sudah ketemu formulanya. Ada studi kasus anak-anak Denpasar bikin acara sendiri tanpa sponsor. Dengan mengandalkan itikad berkomunikasi antar kolektif, ternyata bisa jadi sesuatu yang hebat. Selama ini, jejaring kreatif kita sudah dipetakan dan dipegang semua oleh rokok. Jadi penting sekali untuk menunjukkan bahwa acara mandiri seperti ini bisa dilakukan asal komunikasi dalam sebuah jejaring telah terbangun.

Kan ini kolektif, mas. Walaupun amsyong, asal presentasi maksimal, ya gapapa.

Share: Gabber Modus Operandi: “Band Indonesia Suka Bersikap Kayak Kedutaan”