General

Emangnya Indonesia Butuh Pembangunan Infrastruktur yang Besar-besaran?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Setiap minggu pagi, salah satu yang saya paling senang lakukan adalah duduk di ruang tamu rumah milik keluarga saya. Minggu pagi adalah waktu dalam seminggu yang paling menjadi berkah buat saya. Tidak melakukan apa-apa, hanya duduk, bengong, sambil scrolling linimasa Twitter yang isinya penuh dengan intrik perpolitikan, atau selebtwit yang sedang mempromosikan produk-produk endorsement terbarunya. Karena nenek saya juga tinggal di rumah keluarga saya, terkadang ia menghampiri saya, menanyakan apakah sudah sarapan atau belum. Namun minggu pagi kemarin, pertanyaannya sedikit berbeda. Tiba-tiba ia menanyakan suatu hal berbau politik, “Hafizh, nanti pilih Jokowi lagi enggak? Nenek lihat di warta berita kalau jalan tol banyak yang baru, sama kereta MRT juga sebentar lagi selesai. Bagus, ya? Pilih lagi aja!”. Seketika, hati saya tertegun. Saya hanya mampu menjawab, “Aduh, bagaimana ya Nek, liat nanti ya, hehe”.

Jika ada satu hal yang saya dapat ambil dari cerita ini adalah bagaimana nenek saya, seseorang yang hanya lulusan sekolah memasak setara SMP, berumur 77 tahun, tiba-tiba bisa begitu paham akan kebijakan politik presiden dan bahkan sampai menyarankan saya untuk memilih kembali petahana. Saya bukannya ingin meremehkan kemampuan mencerna informasi nenek saya, tetapi ini artinya adalah bahwa Jokowi menjadi salah satu sosok preside istimewa. Buktinya, kebijakan infrastruktur Jokowi begitu terkenal, dibandingkan kebijakan yang lainnya. Sampai-sampai nenek saya ingin memilihnya lagi hanya dengan alasan tersebut.

Infrastruktur di bawah pemerintahan Jokowi memang menjadi satu prioritas. Saking prioritasnya, pendanaan untuk infrastruktur merupakan pendanaan yang diterakhirkan jika memang dibutuhkan pemotongan dalam rencana anggaran. Dikutip dari katadata.co.id dalam wawancaranya dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia lebih memilih untuk menurunkan biaya rutin terlebih dahulu jika memang harus ada pemotongan dalam rencana anggaran. “Bukan hanya infrastruktur, biaya rutin itu saja dulu yang pertama diturunkan. Biaya rapat, biaya perjalanan, itu bisa Rp 40 triliun. Kemudian bagaimana efisiensi dan pengencangan ikat pinggang di Kementerian dan Lembaga dan Daerah,” ungkap Jusuf Kalla.

Prioritas ini memang tidak hanya di ucapan belaka. Dari ujung Sumatera hingga ujung Papua, pembangunan jalan tol, waduk, hingga pembangkit listrik terus dibangun untuk menjamin bahwa tidak ada lagi daerah yang tertinggal secara infrastruktur. Mulai dari Trans Sumatera, Trans Jawa, Trans Papua. Semuanya ada peran serta negara dalam pembangunannya.

Menurut saya pribadi, tentu pembangunan yang sifatnya ekspansif ini bukan tanpa efek samping. Dari empat tahun pemerintahan Jokowi membangun infrastruktur, ada dua efek samping yang menurut saya perlu diantisipasi dan diwanti-wanti. Dua efek samping tersebut adalah terkait manajemen resiko dalam pembangunan infrastruktur yang masih begitu minim dan defisit anggaran negara yang membengkak.

Pertama, tentang efek samping yang menurut saya menjadi kekhawatiran di dua kubu, baik pemerintah maupun oposisi. Manajemen resiko merupakan sesuatu yang penting, namun beberapa kejadian kecelakaan proyek yang cukup sering terjadi di pembangunan infrastruktur era Jokowi telah menjadi momok yang seharusnya dapat diminimalisir. Sekurang-kurangnya, ada 14 kecelakaan proyek infrastruktur yang terjadi dari tahun 2016 hingga 2018. Sebuts aja robohnya crane, robohnya tanggul penyangga underpass Bandara Soekarno-Hatta, jembatan yang amblas sebelum digunakan, dan plafon Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang ambruk. Kecelakaan-kecelakaan ini memberikan indikasi adanya kuantitas yang lebih diprioritaskan daripada kualitas. Seolah-olah, tidak ada Standard Operating Procedure (SOP) yang menjadi bagian dalam pengerjaan. Karena jika memang ada (dan dipatuhi), tentu kejadian-kejadian tersebut dapat diminimalisir.

Ketika kejadian-kejadian tersebut terjadi, tentunya masyarakat tidak hanya curiga terhadap proses pengerjaan, tetapi juga enggan menikmati. Terutama di awal peluncuran. Infrastruktur yang seharusnya dibangun untuk masyarakat, justru menjadi sesuatu yang ditakutkan oleh masyarakat.

Kedua, tentang efek samping yang lebih sering menjadi kekhawatiran kubu oposisi, yaitu defisit anggaran. Kubu oposisi senang sekali menggoreng berita ini. Karena memang, defisit anggaran adalah sesuatu yang pantas dikritisi, sehingga hal ini adalah hal yang wajar. Namun digorengnya isu ini bukanlah dampak terburuk yang harus dikhawatirkan. Dampak terburuk adalah ketidakmampuannya negara untuk hadir karena seluruh uang telah dikerahkan untuk infrastruktur. Belum lagi multiplier effect (efek domino) di masyarakat yang seringkali hadir jauh lebih lambat daripada yang diprediksi. Ketidakmampuan memiliki anggaran yang kuat dalam menjalankan negara, ditambah produksi masyarakat yang masih stagnan karena belum terkena dampak domino ekonomi, dapat menjadi formulasi ideal runtuhnya satu perekonomian negara.

Berarti, Indonesia sebenarnya tidak butuh dong, pembangunan besar-besaran? Jawabannya adalah tetap butuh. Karena terlepas dari segala risiko yang mungkin diterima di atas, pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah suatu kewajiban yang statusnya fardhu ‘ain. Sesuatu yang wajib, dan harus disegerakan bila mampu. Sekarang Indonesia sudah mampu. Keterlambatan pembangunan infrastruktur dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, karena krisis di tahun 1998, telah membuat Indonesia jauh tertinggal. Apalagi, ketika Indonesia sedang membangun, negara-negara di tetangga tersebut juga tidak tinggal diam. Mereka juga terus membangun. Jika Indonesia tidak mempercepat langkahnya, tentu akan tetap ketinggalan. Dalam wawancaranya dengan katadata.co.id, Jusuf Kalla mengatakan, “lihat saja Jakarta, negara lain sudah bangun subway, kita malah baru mulai. Orang sudah lama pakai kereta, kita baru bangun LRT. Kita serba ketinggalan. Jadi bukan kami berlebihan, tapi kita masih butuh. Apalagi dengan penduduk 250 juta. Singapura saja yang 5 juta penduduk, infrastrukturnya ada yang di bawah, ada yang di atas, lengkap semua.”

Keterlembatan pembangunan infrastruktur ini menurut Kalla terlihat dari bagaimana ketidakmampuan infrastruktur Indonesia menanggulangi kebutuhan yang ada. “Saya ulangi, infrastruktur itu investasi yang tidak berakhir. Bandara mungkin 5 tahun lagi perlu landasan pacu yang baru. Kita baru dua, menjelang tiga. Akhirnya kita kalah dengan Singapura dan Kuala Lumpur. Kenapa kami bangun lagi (pelabuhan) Patimban? Itu untuk mengatasi flow (arus) barang, karena terajdi kemacetan di Tanjung Priok. Makanya dibuat (pelabuhan) ke sebelah timur, karena industri tidak seimbang lagi dengan jalan,” ungkap Jusuf Kalla.

Untuk menutup tulisan ini, saya akan memberikan disclaimer bahwa saya bukan pendukung Orde Baru. Saya tidak sama sekali mendukung rezim tersebut dan mengutuk segala hal keji yang ada di dalamnya. Namun, jika ada satu, dan memang hanya satu, hal yang saya dapat ambil positifnya dari rezim tersebut, adalah bagaimana pembangunan infrastruktur tidak pernah lepas dari perhatian negara dan begitu diperhatikan. Karena memang infrastruktur adalah denyut nadi dari kemajuan suatu bangsa. Sebuah necessary condition agar yang lain dapat berjalan dengan lebih baik, dan menghasilkan sesuatu yang lebih optimal.

Share: Emangnya Indonesia Butuh Pembangunan Infrastruktur yang Besar-besaran?