Budaya Pop

Dua Garis Biru: Tak Mudah, tapi Mereka Bahagia

Dinda Sekar Paramitha — Asumsi.co

featured image

Dara dan Bima adalah sepasang kekasih yang masih duduk di bangku SMA. Menempuh pendidikan di sekolah yang sama, Dara dan Bima dikenal sebagai sepasang kekasih dan teman-teman mereka senang dengan hubungan “cinta monyet” ini. Begitu pula dengan kedua keluarga, mereka mendukung dan percaya dengan hubungan yang dijalin keduanya.

Namun nampaknya gelora asmara antara keduanya membuat mereka terbawa suasana. Dara dan Bima mencoba berhubungan seksual dan kemudian Dara mendapati dirinya mengandung. Sikap orang-orang di sekitarnya pun berubah. Bima yang masih remaja itu dipaksa orangtua Dara untuk bertanggung jawab.

Kisah Dara dan Bima ini merupakan cerita dalam film “Dua Garis Biru” arahan Gina S. Noer. Cerita mereka bisa jadi salah satu contoh dari maraknya kejadian hamil di luar nikah. Berawal dari hubungan pacaran, kemudian lanjut pada hubungan sanggama dan menghasilkan buah hati. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Menurut Elizabeth Santosa, seorang psikolog, salah satu penyebabnya adalah kurangnya edukasi seks di Indonesia. Di lingkungan keluarga, ia sering menemui orangtua yang bingung mendidik anaknya soal seks.

“Dia [orangtua] jadi keblinger, ‘Aduh, takutnya nanti anaknya kalau tanya nggak bisa jawab gimana, ya? Aduh, kalau malah jadi nanya-nanya lagi gimana, ya? Mana yang tepat, ya? Saya salah apa nggak, ya? Ini masalah tabu soalnya Mbak Lizzie,’” katanya dalam video Asumsi.co.

Lalu, apakah benar kisah yang dialami Dara dan Bima juga dialami pasangan muda lainnya?

Pakai Kondom: “Aduh, Nggak Usah Deh

Adalah Maria (nama samaran). Di tahun 2014, Maria sedang kuliah tingkat akhir jurusan Perhotelan di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Di tahun terakhir itu, ia diwajibkan mengambil praktik kerja.

Untuk itu, Maria memutuskan mengambil praktik kerja di Pulau Dewata. Banyaknya hotel tingkat internasional dan turis yang datang menjadi alasan utama Maria berani meninggalkan keluarga kecilnya di Jakarta. Meski ia merupakan anak satu-satunya, ayah dan ibu Maria tetap mendukung keputusan itu. Akhirnya, Maria memulai karir perhotelannya di Banyan Tree, Ungasan, Bali.

Di resor bintang lima itu, Maria bertemu dengan Putu (nama samaran), seorang pria asli Bali. Konon katanya, Putu naksir Maria duluan. Putu memang melancarkan jurus PDKT-nya dan akhirnya membuat Maria terpikat.

Singkat kata, Maria dan Putu berdua berpacaran. Ke mana-mana berdua. “Kerja bareng dan lain-lain. Ya… most likely we lived together gitu.”

Seiring berjalannya waktu, makin banyak kegiatan yang dilakukan bersama. Kedua keluarga mereka pun mengetahui hubungan ini. Meski berbeda keyakinan, kedua keluarga Maria-Putu tetap menyambut baik hubungan serius pertama bagi Maria ini.

Satu hal yang mereka tidak ketahui, Maria dan Putu juga berhubungan seks. Itu pun baru dimulai sekitar satu tahun setelah kami berpacaran. Kos Maria menjadi tempat di mana mereka biasa melakukan hubungan itu.

Awalnya, mereka sempat menggunakan kondom untuk “bermain aman”. Namun rasanya tidak nyaman sehingga akhirnya mereka memutuskan tak menggunakan “pengaman” apapun. Kebetulan, Maria selalu teratur datang bulan. Kalender itu lah yang menjadi andalan mereka berdua untuk berhubungan seks.

Untuk mendapatkan “keamanan ekstra”, Maria bercerita kalau ia sempat terpikir menggunakan KB. “Either taking pills atau injection. Yang jelas, spiral enggak. Tapi Putu kemudian bilang, ‘Gue enggak mau lo ngerusak badan lo dengan kayak gitu untuk, for the sake of pleasure. Mending depending ke kalender aja’.” Maria akhirnya mengurungkan niat tersebut.

Mengingat mereka rutin berhubungan, Maria juga rutin mengecek kondisi tubuhnya dengan test pack. Putu selalu ada di samping Maria untuk melihat hasil test pack tersebut. Untungnya, hasil test pack selalu negatif.

Namun di bulan Maret 2016, Maria sadar bahwa tamu yang biasanya datang rutin itu belum juga tiba. Putu langsung mengajak Maria membeli test pack dan mengeceknya bersama. Betul saja, pagi itu, test pack yang ia gunakan menunjukkan garis dua alias positif hamil.

“Otomatis ekspresi yang pertama came out dari gue adalah gue nangis. Karena, honestly, bingung what to do.”

Putu yang berada di sampingnya berusaha menenangkan Maria sembari bertanya langkah apa yang baiknya mereka ambil. Maria yang tak pantang menyerah pun ingin melakukan test pack sekali lagi. Ternyata, garis dua tersebut tak berubah.

Meski diawali dengan tangisan, Maria tetap bersyukur akan kemunculan garis dua tersebut. “Di sisi lain, gue ngerasa happy karena, kok gue sehat, ya? Bisa kayak gini [hamil],” kata Maria yang kini berusia 26 tahun. Ditambah lagi, Putu pun sudah menegaskan bahwa ia tak akan meninggalkan Maria. Janji Putu itu membuat Maria makin bersyukur akan keadaannya tiga tahun lalu.

Belum cukup yakin, Maria mengajak Putu ke dokter kandugan untuk mengeceknya sekali lagi dengan alat medis. “Jadi, alatnya dimasukin ke dalam… ‘Ini, memang ada nih embrionya’ [kata dokter kandungannya]. Nah, terus ya udah lah, bulan depan cek lagi, dikasih vitamin, terus asam folat untuk penguat janinnya sendiri.”

Sejak ia ditetapkan positif hamil oleh sang dokter, Maria dan Putu sadar bahwa akan ada persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Satu hal pasti, Putu memastikan tak akan meninggalkan Maria dan bertanggung jawab atas kejadian ini. “Kita enggak ada perbincangan untuk memusnahkan itu [aborsi]”.

Segala persiapan mempersiapkan kelahiran sang cabang bayi dilakukan dengan mempertanyakan banyak hal. Maria dan Putu mencoba membuat berbagai pertanyaan supaya mereka tahu cara memecahkannya bersama.

Bagaimana memberitahukan kedua belah pihak keluarga mengenai berita ini? Bagaimana mengatasi beda keyakinan di antara keduanya? Bagaimana sikap orang-orang sekitar ketika mendengar berita ini? bagaimana dengan kondisi keuangan Maria dan Putu?

“Emang sih kita sama-sama bekerja. But is it enough? Atau kita harus getting some loans? Karena raising a kid is not cheap,” jelas Maria. Metode untuk mengabarkan berita ini pada kedua orangtua mereka pun diperbincangkan. “Jadi mulai talking about the characters of our parents and how their reaction gitu kalau kita cerita”.

Di tengah pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Maria juga merasa galau pada tiga bulan pertama kehamilannya. “Kalau di rumah atau di mobil, di jalan setiap kerja tuh ya, almost every day I cried. Cried because of many things to think about and to talk about dan itu enggak bisa dalam sehari lo decide. Tapi once I got to work, like nothing happened. Jadi mood gue tuh langsung switched. Udah, back to work, enjoying life with my work and my friends, gitu.”

Meski galau, Maria masih bisa mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut satu per satu. Salah satunya adalah keputusan mengenai beda keyakinan Maria-Putu. Maria yang menganut agama Katolik memutuskan mengikuti keyakinan Putu, Hindu.

Setelah keputusan tersebut, muncul lagi ragam pertanyaan terkait keputusannya pindah keyakinan. “Dengan gue ikut dia, apa aja tuh kendala-kendala yang akan gue temukan? How hard it is to be a Balinese? What do you have to do? What is the family like? What is the society like?”

Maria yakin, meski ia sudah menetap di Bali selama lebih dari satu tahun, penyesuaiannya untuk menjadi pengikut agama Hindu tak akan semudah membalikkan telapak tangan.

Memasuki trimester kedua kehamilannya, barulah Maria dan Putu memutuskan memberitahukan pihak keluarga masing-masing. Keluarga Putu menjadi tujuan pertama. Dengan badannya yang sudah mulai membesar, Maria tak gentar menghadap keluarga Putu dan memberitahukan keadaannya saat itu.

“Akhirnya ngomong ke keluarga dia dulu. And then my family later. Because we were thinking, dengan rentetannya itu, nanti keluarga dia yang bakal men-take care gue. Karena gue mengikuti dia.”

Beruntung, keluarga Putu dapat menerima kabar tersebut dengan baik. Mungkin, cerita Maria, sikap terbuka keluarga Putu disebabkan peristiwa yang Maria-Putu alami biasa terjadi di Bali. Maria mengatakan bahwa ada banyak pasangan di Bali yang hamil di luar nikah.

Ini dianggap untuk mengetahui apakah keduanya sehat secara seksualitas atau tidak. Jika terjadi kehamilan, pihak keluarga malahan akan merasa bersyukur. Sebab itu menjadi tanda bahwa mereka dapat memberikan keturunan.

Lalu, bagaimana dengan keluarga Maria? Sebagai anak satu-satunya, Maria merasa cukup sulit untuk memberitahukan berita ini pada keluarganya. Beruntung, keluarga Maria bisa menerima kabar dari anak mereka.

Maria yang masih bekerja selama masa kehamilannya pun mendapat pertanyaan dari orang-orang di lingkungannya. Rekan-rekan kerjanya menjadi orang-orang pertama yang menyadari kehamilannya. Maria tidak memberitahukan ceritanya pada mereka, tapi beberapa dari mereka sadar akan adanya perubahan fisik Maria.

“Dan our first man yang notice itu adalah cowok loh!  Dan itu baru kayak jalan satu setengah bulan. ‘Kok kayaknya badan kamu kok tambah gendut?’ dia nanya. Awalnya gue bercandain. ‘Iya, banyak makan nih,’ [temannya berkata] ‘Kayaknya gendut beda’,” ceritanya.

Seiring berjalannya waktu, makin banyak rekan kerja Maria yang mengetahui kehamilannya. Di luar dugaannya, seluruh teman-temannya ikut berbahagia dengan kabar tersebut dan malah memberikan ucapan selamat. “Jadi temen-temen gue yang tau malah ‘Waah, congratulation!and they don’t ask anything more,” katanya.

Maria melanjutkan, teman-temannya malah antusias bertanya kapan ia dan Putu akan menikah. “Terus paling ada yang nanya, ‘Kapan married?’, “Tunggu aja tanggal mainnya,” gue bilang gitu. Jadi, dibawa fun aja.”

Maria dan Putu akhirnya menikah pada bulan ketujuh kehamilannya. Seperti diskusi mereka berdua, Maria akhirnya mengikuti keyakinan Putu. Mereka pun mengikat pernikahan mereka sesuai adat agama Putu. Prosesi pernikahannya juga sesuai dengan adat Bali, sesuai budaya keluarga besar Putu. Dengan perutnya yang sudah besar, Maria menikah dan dihadiri keluarganya yang datang dari Jakarta.

Cerita Maria dan Putu ini bisa dibilang sedikit berbeda. Ada beberapa cerita mengenai pasangan yang hamil di luar nikah dan menyebutkan bahwa mereka menikah sebelum perut sang perempuan makin besar. Namun Maria malah menikah ketika perutnya sudah terlihat sangat besar.

“Karena preparation-nya lama. Kayak misalnya kan gue harus convert. Harus daftar, cabut berkas, dan lain-lain. We’re not talking about just getting married legally. It has to be done properly.”

Maria bercerita kalau ia tak mau mengalami kejadian serupa dengan teman kerjanya yang juga hamil di luar nikah. “Karena, to be honest, di hotel kan juga ada [teman] yang kayak gitu, kan. Terus karena nggak legally done, anaknya tuh nggak punya akte.”

Ditambah lagi, adat Bali mengharuskan calon pasangan suami-istri untuk menikah di tanggal yang “baik” yang biasanya jatuh di hari kerja. “Udah gitu, lu mesti ke kayak pendeta gitu, kan. And then you asked. Oke, dia akan menerawang dan melihat tanggal baik dan lain lain. Oke dan came out dengan tanggal segitu.”

Menyesali Masa Lalu?

Di usianya yang sekarang menginjak usia 27, Maria mengingat kembali bagaimana ia menerima pendidikan seks kala berada di masa sekolah. Ia mengaku sedikit sekali mendapatkan informasi mengenai seks. Itu pun seputar perawatan alat vital tubuh, bukan soal kesuburan tubuh kita.

Begitu pula dengan ajaran seks dari keluarganya. Maria mengkaui bahwa kedua orangtuanya hanya mengingatkan dirinya sebagai seorang perempuan untuk menjaga dirinya baik-baik. “Tapi they were just reminding me, not tell me how to do it.”

Meski merasa kurang mendapatkan pendidikan seks, Maria tetap bersyukur dengan hidupnya sekarang. Ia menyadari bahwa hubungan seks yang ia lakukan dengan Putu bisa memiliki “efek samping”. “Actually, you know clearly the consequences… Tapi, ya, kalau dengan posisi gue sekarang, buat apa gue menyesali selain move on with that?”

Kelak, Maria dan Putu pun akan terbuka dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari anaknya. Baik itu mengenai seks ataupun masa lalunya. Untuk sekarang, Maria dan Putu mementingkan bagaimana anaknya menyadari bahwa ayah dan ibunya selalu ada untuk dia dan lengkap. “Yang penting dia tau dia punya orangtua yang utuh. Dia tau siapa bapaknya, dia tau siapa ibunya.”

Share: Dua Garis Biru: Tak Mudah, tapi Mereka Bahagia