Isu Terkini

Di Balik Kisruh Menguatnya Dolar terhadap Rupiah

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Hari ini (4/9), Rupiah akhirnya menyentuh angka Rp 15.000,00 per Dolar Amerika Serikat (Dolar AS). Melemahnya Rupiah ini seolah menjadi kelanjutan dari tren yang sudah terjadi sejak awal 2018. Meskipun ada pihak-pihak seperti eksportir yang diuntungkan, melemahnya Rupiah tentu merupakan kerugian secara keseluruhan. Apalagi kebutuhan impor Indonesia masih relatif tinggi. Hal ini tidak lepas dari andil Amerika Serikat dalam membuat kebijakan perdagangan. Imbasnya, Indonesia dan negara-negara lain merasakan dampak kenaikan dolar secara nyata.

Kebijakan Proteksionis Trump

Salah satu yang mengakibatkan Dolar AS terus menguat terhadap Rupiah adalah proteksionisme ekonomi yang menjadi sifat utama kebijakan yang diterapkan Donald Trump semenjak ia menjabat menjadi Presiden Amerika Serikat. Selama ini, Amerika Serikat merupakan negara yang amat mengkampanyekan pentingnya perdagangan bebas. Beberapa presiden sebelum Trump, meskipun berasal dari partai yang sama, seperti Bush, merupakan seseorang yang mendukung perdagangan bebas. Alasannya, sederhana. Perdagangan bebas dapat menciptakan produk yang lebih murah, karena hambatan tarif dan non-tarif telah dihapuskan. Amerika Serikat, sebagai negara dengan beragam produk yang dikonsumsi secara global, tentu dapat mengambil keuntungan dari hal ini.

Namun ternyata, Trump melihat hal lain. Ia merasa bahwa ekonomi Amerika Serikat hanya dapat bertumbuh jika mengimplementasikan kebijakan yang bersifat proteksionisme. Perdagangan bebas merupakan hal yang tidak adil, karena meningkatkan defisit neraca perdagangan impor-ekspor dan penggangguran di Amerika Serikat. Berbanding terbalik dengan perdagangan bebas, proteksionisme mengkampanyekan pentingnya tarif dan non-tarif sebagai hambatan guna menjaga produk lokal dari serbuan barang murah impor dan menghambat pabrik pindah ke luar negeri. Dengan proteksionisme, harapan Trump adalah pabrik dapat kembali ke Amerika Serikat untuk menciptakan lapangan kerja dan defisit neraca perdagangan dapat berkurang.

Lantas, kenapa Dolar AS bisa terus menguat? Kebijakan proteksionis menyebabkan perusahaan-perusahaan berbendera Amerika Serikat akan mengembalikan pabrik-pabriknya ke Amerika Serikat. Tujuannya supaya biaya produksi tetap terjaga pada level terrendah. Dengan begitu, perusahaan yang seharusnya membayar biaya produksi dengan mata uang negara lain, kini harus membayarnya dengan Dolar AS. Selayaknya hukum permintaan, permintaan membuat harga naik. Membayar buruh dengan Dolar AS berarti meningkatkan permintaan. Hasilnya, nilai dari Dolar AS pun juga turut meningkat.

Perang Dagang dengan Tiongkok

Salah satu dampak kebijakan proteksionisme adalah terjadinya perang dagang dengan Tiongkok. Tiongkok dianggap Donald Trump sebagai negara yang paling diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas. Dalam situs Gedung Putih, Trump menilai Tiongkok telah melakukan perdagangan yang tidak adil. Ketidakadilan ini dilihat dari bagaimana defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap Tiongkok mencapai $375,23 miliar. Trump pun tidak senang dan akhirnya ia menerapkan kebijakan menaikkan tarif untuk impor baja dan alumunium dari Tiongkok.

Lalu, bagaimana bisa perang dagang memperkuat Dolar AS? Ketidakpastian ekonomi global yang disebabkan perang dagang membuat para spekulan memilih untuk mengembalikan uangnya menjadi Dolar AS. Dengan logika yang sama seperti sebelumnya, permintaan Dolar AS yang meningkat akibat spekulan membuat nilai Dolar AS menguat dibandingkan mata uang lainnya.

Kenaikan Suku Bunga The Federal Reserve

Untuk memperkuat Dolar AS dengan meyakinkan para spekulan menabung menggunakan Dolar AS, The Federal Reserve sebagai bank sentral AS memilih untuk meningkatkan suku bunga. Suku bunga yang meningkat tentu membuat para spekulan yakin untuk menyimpan uang dengan Dolar AS, karena suku bunga yang tinggi berarti nilai kembali yang tinggi juga. Uang-uang yang tadinya disimpan di negara lain, kini kembali disimpan dalam bentuk Dolar AS. Nilai Dolar AS pun meningkat, sehingga membuat nilai mata uang lain melemah.

Indonesia Tidak Sendirian

Sebenarnya, fenomena melemahnya mata uang ini merupakan fenomena global yang juga terjadi di beberapa negara lain. Di Turki pada pertengahan bulan Agustus 2018, Lira melemah hingga 20 persen terhadap Dolar AS. Mata uang Afrika Selatan, Rand, juga terus melemah di beberapa waktu terakhir. Selain Turki dan Afrika Selatan, Argentina juga mengalami hal yang sama. Peso Argentina terus mengalami pelemahan terhadap Dolar AS, hingga mencapai titik 50 persen di tahun 2018 ini.

Share: Di Balik Kisruh Menguatnya Dolar terhadap Rupiah