Isu Terkini

Di balik #AsumsiDistrik: Rayuan Sunda Kelapa

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Meski dijunjung sebagai kearifan dan disampaikan dari generasi ke generasi, sebuah petuah belum tentu benar. Perintah untuk belajar dari kegagalan, misalnya, saya kira justru menyesatkan.

Di balik setiap perbuatan keliru, ada sangat banyak kemungkinan mengapa ia keliru, dan mengujinya satu per satu ialah perkara yang menghabiskan waktu sekaligus menyiksa syaraf. Di sisi lain, belajar dari keberhasilan jauh lebih masuk akal: kita bisa mulai dengan meniru, seperti anak-anak belajar bicara.

Seorang balita tak harus paham mengapa ketela dinamai ketela, bukan kelepon atau Boutros Boutros Ghali, tetapi kemampuan membunyikan kata tersebut membawanya selangkah lebih dekat untuk mengucapkan pisang, apel, dan jerapah; dan pada akhirnya memahami bahwa setiap kata mewakili benda yang berbeda.

Dalam episode terbaru Asumsi Distrik, saya mewawancarai Bondan Kanumoyoso, seorang sejarawan, kurator museum, dan pengajar di Universitas Indonesia. Saya senang karena Bondan menjelaskan pentingnya memelihara warisan sejarah di pelabuhan Sunda Kelapa dengan perspektif pembelajar keberhasilan.

Venesia, kata doktor lulusan Universitas Leiden itu, berkembang menjadi salah satu kota paling modern di Eropa tanpa mengubur kanal-kanal yang telah menjadi bagian dari identitasnya selama berabad-abad. “Atau coba lihat Cina,” ujarnya, “yang kini merupakan raksasa ekonomi dunia.”

Kata Bondan, Beijing takkan jadi apa-apa tanpa Forbidden City. Itu pernyataan yang menarik, tetapi apa, sih, urusan memelihara sejarah dan identitas, pekerjaan ruwet yang belum tentu menghasilkan uang, dengan hasrat menjadi bangsa yang canggih dan kaya raya? Bukankah lebih masuk akal kalau kita bersimpuh saja dekat kaki para bos perusahaan raksasa, berharap kecipratan dana untuk memacak pilar beton lebih banyak lagi di Jakarta?

Merawat representasi sejarah, termasuk situs-situs penting di masa lalu, adalah bagian penting dalam pemeliharaan memori kolektif, ujar Bondan. Dan hanya dengan memori kolektif yang kukuh, suatu masyarakat dapat menyusun serta mempertahankan identitasnya.

Daya yang dikandung identitas tak main-main. Tanpa memori kolektif yang menyakitkan sebagai bangsa terjajah, dan kemudian identifikasi diri sebagai “kaum terperintah,” saya kira takkan pernah ada kebangkitan nasional di Indonesia, takkan ada tekad yang berkobar untuk merdeka dalam kepala para pendiri bangsa kita.

Dalam Istanbul: Memories and the City (2003), novelis Turki Orhan Pamuk membicarakan bagaimana kotanya selalu dilingkupi hüzün, perasaan kehilangan dan terputus dari kejayaan Turki Utsmani sekaligus harap-harap cemas terhadap kebaruan.

Istanbul dimutakhirkan dengan cetak biru pinjaman dari negeri-negeri Barat, tetapi tak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang ukiran-ukiran kuno, istana para pasha, jalan-jalan yang menyerupai labirin jika dipandang dari ketinggian, dan minaret-minaret megah yang menggentarkan.

Memori kolektif yang murung itu, menurut Pamuk, menguatkan Istanbul pada masa-masa sulit. “Ia juga mendorong kami untuk membaca kehidupan dan sejarah Istanbul secara terbalik, memungkinkan kami berpikir bahwa kekalahan dan kemiskinan bukanlah akhir sejarah, melainkan permulaan yang terhormat,” tulisnya

Demikian pula orang-orang Finlandia, yang mendapat kekuatan dari Kalevala, identitas kebangsaan mereka, untuk membebaskan diri dari pendudukan Rusia dan menjadi yang terbaik dalam berbagai urusan.

Saya kira, hal-hal semacam itulah yang dimaksud Bondan ketika dia menyebut sejarah sebagai pemandu untuk menyongsong hari depan.

Pelabuhan Sunda Kelapa, yang pernah menjadi bandar dagang penting bagi Kerajaan Pajajaran dan Kesultanan Banten, dan kemudian menjadi landasan Batavia, kini sepi, berdebu, dan kelihatan bisa menyerah kapan saja. Namun, ia belum selesai.

Di sana, ada komunitas Sunda Kelapa Heritage (SKH) yang bersikeras merawat apa-apa yang tersisa. Syamsudin Ilyas, salah satu anggotanya, bercerita bagaimana pada tahun lalu warga menjaga Museum Bahari siang dan malam karena cemas museum yang baru terbakar itu diincar para penjarah.

Mereka pernah mengadakan pertunjukan kebudayaan dan mengundang para pejabat ke kapal pinisi untuk mengingatkan bahwa penanda historis tersebut tak boleh dibiarkan hilang. Dan dalam beberapa tahun terakhir, Ilyas menyediakan pendidikan jurnalistik dasar bagi anak-anak di pesisir utara Jakarta, sebab ia percaya bahwa warga patut dan berhak menyampaikan kisah-kisah mereka sendiri.

Ada juga Udin dan Nompo, dua bekas pelaut yang menjadi pengemudi sampan dalam 30 tahun terakhir. Saat mereka mulai menetap di Sunda Kelapa, bandar itu berkilauan karena gairah. Kapal-kapal pinisi penuh muatan lekas datang dan pergi, para kelasi turun beramai-ramai dan minta diseberangkan ke pasar, bendera dan samanera berwarna-warni berkibar di mana-mana.

“Sekarang yang ke pasar biasanya cuma koki, satu orang,” kata Nompo. Hari-hari ini, kebanyakan penumpang ialah turis, yang datang untuk melihat-lihat dan memotret kapal-kapal pinisi. Sayangnya, menurut Ilyas, para pengunjung tak bisa berlama-lama di Sunda Kelapa karena tak ada fasilitas penunjang pariwisata. Saya mencoba membuka pintu-pintu toilet portabel di Sunda Kelapa, dan memang semuanya terkunci.

Bahkan kapal-kapal pinisi, menurut Muslimin Damin alias Daeng Mus, anggota lain SKH, bisa habis dalam sepuluh tahun ke depan. Katanya, biaya pembuatan kapal tak lagi terjangkau sejak pemerintah memberantas pembalakan hutan. “Oke, silakan pembalakan liar distop, tapi kan semestinya diatur juga, misalnya, hutan khusus untuk menyuplai bahan-bahan baku pembuatan kapal,” ujarnya.

Secara turun-temurun, keluarga besar Daeng Mus adalah pemilik dan pengelola kapal-kapal pinisi. “Tapi seterusnya apa? Illegal logging berhenti, kayu muatan dan bahan baku kapal nggak ada lagi, tapi hutan-hutannya dibabat juga untuk perkebunan sawit!” katanya.

Saya bilang, saya melihat banyak pinisi di Sunda Kelapa memuat semen. “Sekarang begitu,” kata Daeng Mus. “Itu pun karena para pengusaha berbaik hati. Mereka memercayakan barang cuma karena hubungan baik dengan pemilik-pemilik kapal selama berpuluh-puluh tahun.”

Pada 2014, sejarawan yang saya kagumi, Hilmar Farid, menyampaikan pidato cemerlang dan menggugah di Taman Ismail Marzuki. Judulnya Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik, merujuk novel Pramoedya Ananta Toer tentang pergolakan di Nusantara selepas kejatuhan Majapahit pada akhir abad ke-15. Pidato Hilmar menggugat pembangunan ekonomi yang bertumpu di daratan sekaligus mengajak kita membayangkan laut dan ekonomi maritim sebagai masa depan gemilang.

Tak sampai setahun berselang, Hilmar dilantik menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kabar itu tentu membuat saya gembira. Gagasannya tentang kemaritiman, saya kira, sedikit banyak terserap juga dalam program Nawacita Presiden Joko Widodo.

Saya menceritakan pidato tersebut kepada Daeng Mus dan mengutip seruannya agar orang-orang Indonesia kembali menghadap, bukan memunggungi laut seperti selama ini.

“Benar itu!” kata Daeng Mus. “Apartemen yang tinggi-tinggi itu semuanya menghadap ke laut.”

Kata-kata pahit itu mengusik pikiran saya. Lima tahun setelah pidato, empat tahun setelah Hilmar menjadi bagian dari pemerintahan, ketika seharusnya cita-cita mulai terwujud, mengapa orang-orang yang sejak dulu hidup dari laut, tinggal dekat laut, menjalankan “ekonomi maritim” tanpa disuruh-suruh oleh negara, justru menanggapinya secara sinis?

Selagi meninggalkan Sunda Kelapa, saya membaca ulang Arus Balik Kebudayaan dan menemukan kata-kata ini: “Kita perlu belajar tentang Majapahit, tapi bukan tentang kejayaannya, melainkan kejatuhannya….”

Dan pada paragraf lain: “Sesuatu yang sudah dipatok sebagai besar dan hebat akan sulit dicari kekurangannya, padahal justru dalam kekurangannya itu kita bisa menarik pelajaran yang berharga.”

Share: Di balik #AsumsiDistrik: Rayuan Sunda Kelapa