General

Fahri Hamzah: Demokrasi adalah Sistem yang Ribut

Dinda Sekar Paramitha — Asumsi.co

featured image

Menjelang akhir masa kerja DPR periode 2014-2019, publik dikagetkan dengan beberapa RUU yang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Selain RUU, revisi KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan payung hukum pidana Indonesia juga mendadak dikabarkan akan disahkan DPR. Berbagai pasal di dalamnya kontroversial dan membuat banyak orang protes.

Akhirnya, berbagai elemen masyarakat turun ke jalan dan gedung DPR menjadi salah satu titik demo. Fahri Hamzah, selaku Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019, juga diserang publik. Pernyataannya dalam program Mata Najwa mewabah.

Maka, Pangeran Siahaan mendatangi ruang kerjanya dan berbincang-bincang di hari terakhir Fahri sebagai wakil rakyat di Senayan (30/9). Dalam episode “Pangeran, Mingguan pekan ini, Pangeran menanyakan apakah DPR masih berpihak pada rakyat. Apalagi, RUU dan RKUHP yang sedang menjadi kontroversi itu dikatakan pedemo tidak mewakili suara rakyat.

“Tidak mungkin satu keputusan DPR itu bisa disetujui semua orang, meskipun di DPR itu sudah disetujui semua fraksi,” katanya. Bagi Fahri, hal ini lumrah saja terjadi mengingat setiap masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Misal saja ketika RKUHP nanti disahkan, pastinya akan muncul lagi kontroversi di tengah masyarakat.

“Ini proyeksi dugaan saya, ya. Kalau RUU KUHP itu dibaca, nanti, itu di antara konflik berikutnya yang bisa muncul adalah salah paham antar agama,” tuturnya kepada Pangeran. Lagi-lagi, prediksinya berdasarkan beda kepentingan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Selain kepentingan, pemikiran tiap orang pun berbeda sehingga persetujuan dan ketidaksetujuan muncul meskipun sudah mencapai kesepakatan.

“Itu biasa. Dan itulah sebabnya, demokrasi itu memang satu sistem yang ribut. Kalau di negara totaliter, enggak ada ribut. Karena pemerintah enggak butuh konsultasi dengan masyarakat. Dan kerjanya enggak perlu diketahui masyarakat,” katanya.

Kalau begitu, siapa yang mewakili suara rakyat jika tiap kelompok masyarakat mewakilil kepentingannya pribadi? Fahri malahan menjawab dengan mengaitkan pada aksi massa dari mahasiswa yang terjadi dalam minggu-minggu terakhir di bulan September ini. “Mahasiswa juga tidak mewakili rakyat. Dia mewakili kesementaraan [dari] opini dan isu yang berkembang. Masyarakat juga banyak yang tidak tahu [tentang] apa yang sebenarnya sedang diperdebatkan itu.”

Satu pesan Fahri bagi para mahasiswa dan elemen masyarakat yang turun ke jalan, jangan sampai senjata mencampuri adu pemikiran. Nyanyian “Hati-hati, hati-hati provokasi” bukanlah jingle aksi massa semata.

“Jangan sampai dalam situasi galau, dalam suatu kacau, itu kemudian yang relevan itu yang punya senjata karena yang enggak punya senjata itu enggak relevan kalau sudah kacau. Kalau kita bicara udah kayak Wamena, misalnya tuh, itu udahlah kelompok sipil mau sepintar apa pun udah enggak ada gunanya. Yang ada gunanya adalah yang pegang senjata,” kata mantan aktivis 98 ini.

Fahri sendiri tidak ingin senjata mendominasi Indonesia lagi. Ia ingin kata-katalah yang menjadi wadah dalam menyampaikan pendapat bagi satu sama lain. Sebagai mantan demonstran di era Orde Baru, Fahri menilai bahwa demonstrasi merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi. “Bangsa itu masih hidup kalau ada demonstrasi… kalau di dalam [negara] demokrasi, itu kita [wakil rakyat] denger. Makanya dibuatlah sistem perwakilan ini,” katanya.

Selain ribut, Fahri juga menjabarkan bahwa ada beberapa kunci dalam sebuah negara demokrasi. Ialah pengelolaan pikiran, adanya opini, dan penggunaan otak oleh sang pemimpin yang dibutuhkan. Bagaimana bentuk ketiganya di Indonesia?

Demokrasi = Pengelolaan Pikiran

Mantan anggota DPR sebanyak tiga periode ini mengatakan kalau sebuah demokrasi itu harus mampu mengelola pikiran. Menurutnya, pemerintahan Presiden Jokowi masih lemah dalam melakukan hal ini. “Dia bukan pemimpin intelektual… kosakatanya, bukan kosakata kaum intelektual. Personally, he’s not an intellectual. Dia enggak ngerti perdebatan ideologi dan sebagainya.”

Namun, Jokowi sudah dipilih rakyat. Untuk periode 2019-2024 pun Jokowi terpilih lagi sebagai Presiden RI dan akan dilantik pada 20 Oktober mendatang. “Karena begitulah cara kita menghargai suara rakyat,” sebutnya.

Sayangnya lagi, ia menilai bahwa tim juru bicara Jokowi tidak ada yang pasang badan dan membuat reputasi orang nomor satu di Indonesia itu tergerus sebelum ia dilantik untuk kedua kalinya. “Sebenernya ini manajemen pemerintahan. Bagaimana mengelola pikiran-pikiran. Demokrasi itu adalah tentang mengelola pikiran. Itu kemelahan pemerintahan ini.”

Lanjut lagi, konflik-konflik yang terjadi belakangan ini, seperti di Papua, juga menandakan bahwa pemerintahan sekarang belum mampu mengelola pikiran. “Kita belum tahu daerah-daerah lain. Kalau liat hasil Pilpres… mengembalikan memori tentang sistem federal. Prabowo tuh menangnya tuh di negara pasundan, di negara Indonesia timur, negara Sumatera timur. Itu semua konsepsinya adalah negara federasi. Itu fakta. Apakah kita mau terima atau tidak, faktanya seperti itu. Nah, ini yang menandakan bahwa NKRI-nya belum stabil.”

Lalu, bagaimana cara membuat NKRI menjadi stabil? Ia hanya menjawab secara singkat, “perlu pikiran”.

Demokrasi = Opini

Bagi Fahri, cara menjaga stabilitas NKRI juga dengan menghargai pilihan rakyat. Siapa pun pemimpin yang dipilih rakyat Indonesia, haruslah dihargai. Namun ia mengingatkan bahwa pemerintah terpilih tidak boleh memanfaatkan kondisinya.

Ia tetap mengingatkan kalau negara demokrasi itu berbeda dengan negara yang pemimpinnya berasal dari “darah”. Maksud Fahri, “darah” di sini berlaku bagi negara yang pemimpinnya terpilih karena hubungan keluarga. “Kalau kamu raja dan kamu punya anak, terpaksa anakmu adalah pemimpin,” jelasnya.

“Kalau dalam demokrasi, opini. Rakyat masuk ke kotak suara, dia nyoblos. Sementara rakyat sendiri punya pikiran yang berubah-ubah. Hari ini Anda dipilih, 60%. Besok, approval rate Anda tinggal 20%. Nah, ini yang harus dikelola dalam demokrasi tuh menjadi asyik.”

Dalam mengatur sebuah negara demokrasi pun, sang pemimpin harus menggunakan otaknya, menurut Fahri. Terlebih, presiden sebagai pemimpin memegang kekuasaan tertinggi. Kepada Pangeran, Fahri menjelaskan contoh nyata mengenai mengurus komisi antirusuah Indonesia yang kita kenal dengan KPK.

Fahri sendiri dikenal lantang bersuara untuk membubarkan KPK sejak lama. Bahkan ia berani mengatakan kalau pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dilakukan oleh presiden dalam waktu satu tahun. “Dia bisa bikin Perppu hari ini, mengatur apa yang tidak bisa diatur… Dia bisa atur bagaimana supaya orang itu tidak bersentuhan dengan uang. Itu semua memerlukan kecerdasan. Makanya ngurus negara itu pakai otak. Dalam demokrasi kita pakai otak. Dan kita bisa atur.”

Share: Fahri Hamzah: Demokrasi adalah Sistem yang Ribut