General

Dampak Mengerikan Sederet Pasal Karet UU MD3

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Hai, guys. Kalian pada ngikutin enggak, sih, perkembangan revisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang biasa disebut UU MD3? Nah, UU MD3 ini sedang jadi sorotan nih karena ada beberapa poin yang dinilai kontroversial. Apa aja?

Melalui sidang paripurna, pada Senin, 12 Februari, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyepakati pengesahan revisi UU MD3 yang kontroversial itu menjadi undang-undang, meski diwarnai dengan sejumlah aksi walkout dari fraksi NasDem dan PPP. Melalui UU tersebut, kekuasaan DPR pun otomatis bertambah dan hal itu cenderung berdampak mengerikan.

Beberapa poin yang jadi sorotan soal meluasnya kekuasaan DPR itu adalah soal munculnya kewenangan melakukan pemanggilan paksa, memiliki imunitas, serta melakukan langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan martabat DPR. Gimana menurut kalian, mengerikan enggak, sih?

Agar lebih jelas, mari kita bahas satu per satu detil pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3 tersebut, serta dampaknya secara luas baik bagi penegakan hukum maupun masyarakat alias kita-kita ini.

Apa aja sih pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU MD3?

1. DPR bisa memanggil paksa orang atau lembaga dengan bantuan polisi

Kekuasaan DPR ini diatur dalam Pasal 73 Ayat 4, yakni dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Pengkritik DPR bisa dipidana

Poin ini terdapat dalam Pasal 122 huruf K, yaitu DPR bisa mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

3. Pemanggilan anggota DPR oleh KPK atau Polri harus dengan persetujuan Presiden RI

Poin ini terdapat dalam Pasal 245 yang mengatur tentang pemanggilan dan permintaan keterangan penyidik kepada DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Beberapa poin kontroversial lainnya

Selain bertambahnya kekuasaan DPR RI melalui tiga poin kontroversial di atas, ternyata ada lagi nih beberapa poin yang jadi sorotan karena berpotensi memberikan dampak kurang baik. Apa aja itu?

1. Pimpinan MPR bertambah menjadi 8 orang

Poin ini terdapat dalam Pasal 15 mengenai Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri atas satu orang ketua dan 7 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. Sebelumnya, pimpinan MPR ada 5 saja.

2. Penambahan pimpinan DPR menjadi 6 orang

Poin ini terdapat dalam Pasal 84 mengenai Pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan 5 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Sebelumnya, pimpinan DPR ada 5 saja dari lintas fraksi.

3. Penambahan pimpinan DPD menjadi 4 orang

Poin ini terdapat dalam Pasal 260 mengenai Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terdiri atas satu orang ketua dan 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD. Sebelumnya, pimpinan DPD ada 3 saja.

4. DPD berwenang mengevaluasi Perda

Poin ini tertuang dalam Pasal 249 ayat 1 huruf J mengenai DPD yang kini mempunyai wewenang dan tugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (Raperda) dan peraturan daerah (Perda).

Siapa aja sih pihak yang setuju dan tidak setuju dengan UU MD3?

Tak semua fraksi di DPR RI setuju dalam pengesahan revisi UU MD3 menjadi undang-undang. Setidaknya ada 10 partai politik yang mendukung pengesahan UU MD3, mereka adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Lalu, hanya ada dua fraksi yang menolak pengesahan UU MD3, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Apa sih dampak pasal-pasal kontroversial itu?

1. Terkait kewenangan DPR memanggil paksa orang

Pasal ini berpotensi besar membuat DPR sebagai lembaga hukum yang berhak memanggil paksa pihak-pihak yang dinilai tidak kooperatif. Padahal sebagai sebuah lembaga, pemanggilan dengan cara seperti ini rawan diwarnai kepentingan-kepentingan politik individu, partai politik, maupun kepentingan DPR sendiri.

2. Terkait pengkritik DPR bisa dipidana

Pasal ini justru berpotensi membungkam kritik publik terhadap kualitas kinerja wakil mereka di parlemen. Bukankah kritik dan masukan publik itu sangat penting, ya, guys? Sejauh mana batasan kritik yang dapat diterima dan yang dapat dipidanakan? Ini menjadi kontroversi karena garis tersebut masih belum jelas.

3. Terkait imunitas anggota DPR atau pemanggilan anggota DPR oleh KPK atau Polri yang harus dengan persetujuan Presiden

Pasal ini berpotensi mempersulit upaya penegakan hukum jika anggota DPR terindikasi melakukan tindak pidana seperti korupsi maupun pidana lain. KPK atau Polri akan kesusahan untuk memanggil anggota DPR karena harus meminta izin dari Presiden terlebih dahulu. Proses ini tentu akan memakan waktu dan melalui birokrasi yang panjang.

DPR dinilai ‘membunuh’ demokrasi

Revisi UU MD3 ini menjadi pembahasan sejak beberapa tahun lalu dan sudah diwarnai kontroversi sejak lama, hingga akhirnya disahkan pada 12 Februari kemarin. Kritikus menilai, DPR secara ramai-ramai membuat kemunduran dalam demokrasi, bahkan dianggap “membunuh” demokrasi itu sendiri. Situasi ini juga dinilai membuka jalan bagi hadir kembalinya otoriterisme seperti masa Orde Baru.

“DPR itu intinya ingin membuat lembaga superpower. Yang mampu melakukan apa saja sesuai kehendak hatinya,” kata Direktur Paramater Politik Indonesia Adi Prayitno kepada Asumsi, Selasa, 13 Februari.

Dengan bertambahnya kekuasaan DPR, Adi khawatir nantinya hak-hak dasar sebagai pemilik kekuasaan akan dengan mudah dirampas mereka yang ingin memiliki kekuasaan tanpa batas. Meluasnya kekuasaan DPR membuat lembaga dewan yang terhormat itu seperti ingin memiliki kekebalan hukum sekaligus mengendalikan hukum.

“Contohnya adalah saat DPR ini diberi kekuasaan untuk memanggil siapa saja dengan paksaan dan bantuan polisi untuk dihadirkan dalam rapat-rapat.DPR membuat hak-hak istimewa ini, mungkin karena mereka beberapa kali memanggil pimpinan KPK itu enggak pernah hadir kan,” kata Adi yang juga Dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

“Bunyi pasal ini terkesan powerful, otoriter, dan sewenang-wenang, apalagi sampai menggunakan jasa polisi untuk menghadirkan mereka,” ujarnya.

Adi berharap agar DPR memperjelas isi dari pasal-pasal itu agar tak terkesan menyeramkan. Agar nantinya DPR tak sewenang-wenang memanggil orang secara paksa tanpa mempertimbangkan isu atau kesalahan apa yang tengah terjadi.

“Kalau mau, sih, sebenarnya dalam bahasa undang-undang itu agar tidak terlalu menyeramkan harusnya ada statementstatement bahwa pemanggilan paksa itu hanya dilakukan terkait isu-isu penting yang penting dan signifikan, misalnya isu korupsi,” ucapnya.

“Karena bahaya juga DPR ini. Apalagi kalau tidak diterjemahkan secara detil, jadi bisa memanggil paksa siapa saja, orang atau institusi. Presiden pun bisa dipaksa untuk hadir. Hak istimewa yang diberikan kepada DPR ini memang jadi bagian dari kemunduran demokrasi,” katanya.

Menurut Adi, DPR sebagai lembaga wakil rakyat harusya tak perlu melakukan pemanggilan paksa terhadap orang atau lembaga dengan bantuan polisi. Terlebih, DPR sudah punya mekanisme sendiri soal pemanggilan pihak terkait, misalnya hak interpelasi di mana DPR bisa meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat.

“Enggak perlu lah DPR memanggil orang secara paksa apalagi minta bantuan polisi segala. Kan DPR punya mekanisme untuk memanggil menteri dan instansi-instansi terkait pemerintah jika memang dibutuhkan,” katanya.

Share: Dampak Mengerikan Sederet Pasal Karet UU MD3