General

Dampak Buruk Format Pilkada Melalui DPRD Menurut Wiranto

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung oleh masyarakat dinilai memiliki dampak negatif, sehingga DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri sempat memunculkan wacana pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Apakah wacana perubahan format pilkada tersebut bakal berdampak baik?

Sebelumnya, wacana pilkada melalui DPRD itu sendiri sudah dibahas oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) di Gedung DPR, Jakarta, pada 6 April lalu. Baik Tjahjo maupun Bamsoet sama-sama punya pandangan yang sama soal wacana pergantian format pilkada tersebut.

Namun, beda halnya dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto. Menurut politisi Partai Hanura tersebut, pilkada melalui DPRD justru akan memudahkan masuknya politik uang di parlemen.

Pilkada Melalui DPRD Rentan Politik Uang

Wiranto beralasan bahwa mudah masuknya politik uang lantaran jumlah anggota DPRD jauh lebih sedikit ketimbang rakyat di daerah terkait. “Karena mudah sekali ber-money politic karena jumlah [anggota DPRD]-nya sedikit,” kata Wiranto di Kantor Menkopulhukam, Jakarta, seperti dinukil dari CNN Indonesia, Selasa, 11 April.

Wiranto mengatakan kondisi rentannya politik uang terjadi di DPRD itulah yang membuat munculnya ide pilkada langsung pascareformasi—yang sampai hari ini masih berlaku. Pilkada langsung dianggap solusi tepat menghilangkan politik uang.

Baca Juga: Alasan DPR dan Pemerintah Berencana Ubah Format Pilkada Jadi Dipilih DPRD

Pilkada langsung juga dinilai bisa membuat para kandidat akan berpikir ulang soal semakin besarnya biaya yang harus dikeluarkan jika ingin melakukan suap lantaran banyaknya pemilih.

“Kemudian dilemparkan kepada suatu pemilihan langsung dari rakyat dengan harapan money politic akan habis karena terlalu mahal,” tutur Wiranto.

Maka dari itu, Wiranto menganggap jika banyak kepala daerah hasil pilkada langsung terjerat korupsi, maka tak serta merta bisa menyalahkan sistem pilkada langsung tersebut. Ia yakin bahwa yang harus diubah adalah karakter politisinya.

“Kalau sistem diubah, tapi tabiat atau kelakuan manusianya enggak diubah, ya sama saja amburadul juga,” ucap sosok kelahiran Yogyakarta pada 4 April 1947 silam tersebut.

Atas pertimbangan tersebutlah, Wiranto meminta semua pihak agar tak terburu-buru dalam mengambil keputusan, termasuk memunculkan wacana Pilkada melalui DPRD. Sebab, hal itu akan berdampak pada hak masyarakat dalam berdemokrasi.

“Dalam proses demokrasi saat ini, untung ruginya bagaimana,” ujarnya.

Baca Juga: Resmi Ditahan KPK, PAN Pecat Zumi Zola dan Tak Beri Bantuan Hukum

Pilkada Melalui DPRD Harus Dikaji Lagi

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan bahwa wacana Pilkada melalui DPRD perlu dikaji lebih dalam lagi oleh presiden baru kelak. Untuk saat ini, bukan saat yang tepat untuk melakukan pembahasan pilkada melalui DPRD tersebut.

“Itu sudah terlambat lah. Nanti kalau sudah ada presiden baru, kita kaji dengan lebih dalam,” kata Fadli.

Menurut Fadli, pilkada melalui DPRD akan membuat anggaran lebih murah dan lebih efisien. Selain itu, pilkada melalui DPRD juga memiliki potensi korupsi yang lebih kecil dibanding pilkada langsung.

“Ya, harus ada mekanismenya. Dan kalau ketahuan harus ada diskualifikasi [calon kepala daerah] semacam itu. Kalau potensi [korupsi] itu selalu ada, tapi itu lebih kecil,” ujarnya.

Ketua DPR RI dan Mendagri Bahas Wacana Pilkada Melalui DPRD

Sebelumnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa wacana kontestasi pilkada yang dipilih DPRD dimunculkan lantaran pemilihan langsung oleh masyarakat memiliki banyak permasalahan. Jika hal itu terus dilakukan, Bamsoet khawatir akan merusak masa depan bangsa.

“Terkait dengan pilkada langsung yang kita pilih dalam sistem demokrasi kita ini setelah kami evaluasi ternyata banyak masalah yang kita hadapi,” kata Bamsoet.

Selain itu, menurut Bamsoet, besarnya biaya kampanye dan biaya penyelenggaraan pilkada langsung menjadi dasar diwacanakannya pilkada oleh DPRD. Berdasarkan data Kemendagri, politisi Partai Golkar itu menjelaskan bahwa biaya penyelenggaraan pilkada langsung bisa mencapai Rp18 triliun.

“Kalau [Rp18 triliun] itu digunakan untuk biaya pembangunan lebih bermanfaat bagi masyarakat barangkali itu pilihan yang baik,” ucap sosok kelahiran Jakarta pada 10 September 1962 silam tersebut.

Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa memang setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk memilih pemimpin daerah mereka hingga Presiden. Meski begitu, Tjahjo juga tak menampik bahwa pilkada langsung justru menguras biaya negara dan para calon kepala daerah.

Baca Juga: Calon Kepala Daerah Millennial Masih Tersandung Isu Korupsi di Pilkada 2018

Besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam kontestasi politik itu lah yang kemudian berdampak pada tingginya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah itu sendiri. Potensi korupsi sulit dicegah lantaran sebagian kepala daerah terpilih ingin mengembalikan modal kampanye yang besar, lantaran besaran gaji tak bisa menutupi itu semua.

“Seorang mau ikut Pilkada habisnya kalau mau jujur puluhan miliar. Padahal tidak sesuai dengan apa yang didapat. Intinya ini masih dalam tahap diskusi,” kata Tjahjo.

Nah dari banyaknya kasus korupsi kepala daerah itulah ia menilai ada wacana untuk melakukan evaluasi bahkan merombak sistem pilkada langsung. Meski begitu, Tjahjo sendiri mengatakan bahwa hal itu masih sebatas wacana yang perlu dikaji secara mendalam.

“Kami bagian mitra DPR mendengar aspirasi DPR. Mari kita bahas bersama. Kan masih tahap awal,” ujarnya.

Share: Dampak Buruk Format Pilkada Melalui DPRD Menurut Wiranto