Isu Terkini

Cuaca Ekstrem Pertanda Krisis Iklim

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Kota DKI Jakarta dan sekitarnya dilanda hujan lebat yang menyebabkan banjir besar di berbagai wilayah pada 1 Januari 2020 lalu. Banjir secara merata melanda wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung Barat, Cikampek, hingga Cipali — membuat lebih dari 30.000 warga mengungsi dari rumah mereka.

Sawung, warga Bekasi, mengaku ini adalah kali pertama rumahnya dilanda banjir. “Pertama kali kena banjir,” katanya. Pengakuan serupa juga dikatakan banyak warga lain. Tak mengherankan, sebab curah hujan termasuk dalam kategori ekstrem. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat intensitas hujan yang mencapai 377 mm/hari ini jauh lebih tinggi dari curah hujan yang menyebabkan banjir di tahun-tahun sebelumnya.

Tingkat curah hujan yang pernah menyebabkan banjir besar di Jakarta pada 1996 hanya sebesar 216 mm/hari. Sementara banjir pada tahun 2002 berintesitas hujan sebesar 168 mm/hari, tahun 2008 berintensitas 250 mm/hari, tahun 2013 berintensitas 100 mm/hari, tahun 2015 berintensitas 277 mm/hari, dan 2016 dengan intensitas 100-150 mm/hari.

“Hujan kali ini bukan hujan biasa,” kata Agus Wibowo selaku Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi BNPB.

Mengapa cuaca ekstrem ini tiba-tiba muncul? Apakah ada kaitannya dengan krisis iklim?

Krisis iklim memang tak dapat langsung disimpulkan sebagai penyebab fenomena cuaca ekstrem. Namun, berbagai studi menunjukkan krisis iklim berkontribusi terhadap meningkatnya frekuensi dan intensitas sebuah fenomena cuaca.

Laporan “Explaining Extreme Events of 2011 from a Climate Perspective” menganalogikan krisis iklim sebagai steroid yang dikonsumsi oleh atlet olahraga. Setelah menggunakan steroid, seorang atlet jadi mencetak gol 20% lebih banyak dari biasanya. Kita tak bisa mengetahui pasti apakah cetakan gol tersebut disebabkan oleh steroid atau kemampuan si pemain. Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa penggunaan steroid telah meningkatkan probabilitas cetakan gol menjadi 20%.

Di kawasan Jakarta dan sekitarnya, hal ini terbukti dengan intensitas hujan dan banjir yang lebih ekstrem daripada biasanya. Greenpeace pun mengonfirmasi hal itu. “Fenomena curah hujan ekstrem yang turun dalam waktu singkat secara saintifik sudah diidentifikasi sebagai salah satu fenomena krisis iklim,” kata Leonard Simanjuntak selaku Kepala Greenpeace Indonesia, dilansir oleh Tirto.id.

Suhu permukaan air laut yang tinggi menyebabkan banyaknya air laut yang menguap ke udara. Intensitas hujan pun jadi lebih tinggi. “Magnitudo maupun frekuensinya bisa menguat atau bertambah secara signifikan karena pemanasan global yang menyebabkan temperatur air laut, tanah, maupun udara naik. Temperatur yang naik menghasilkan energi lebih besar,” lanjutnya.

Carbon Brief telah mengkaji lebih dari 230 studi terkait fenomena cuaca di berbagai dunia selama 20 tahun ke belakang. Hasilnya, 68% fenomena cuaca ekstrem disebabkan atau diperparah oleh krisis iklim, 43% di antaranya adalah gelombang panas, 17% adalah kekeringan, dan 16% adalah banjir. Fenomena ini bukan lagi jadi prediksi belaka, tetapi memang telah terjadi dalam skala global.

Hujan badai menyebabkan daerah Texas dilanda banjir besar pada September 2019 lalu. Dikabarkan bahwa lima orang meninggal dunia dan lebih dari 1.000 mesti dievakuasi dari tempat tinggal mereka. Fenomena ini seharusnya hanya terjadi selama sekali dalam 1.200 tahun, tetapi probabilitasnya menjadi meningkat karena krisis iklim.

Begitu pula dengan gelombang panas yang melanda Eropa pada Juli 2019 lalu. Suhu udara Perancis mencetak rekor sebesar 42,6 dan 46 derajat Celcius—menyebabkan lebih dari 1.500 orang meninggal dunia. Para ilmuwan berpendapat fenomena ini hampir tidak mungkin bisa terjadi jika tidak dipengaruhi oleh krisis iklim. Probabilitasnya sendiri adalah satu dari 100.

Sementara itu, gelombang panas dan kebakaran di Australia yang masih terjadi hingga kini telah membuat 10 orang meninggal dunia, lebih dari 4 juta hektar lahan terbakar, dan lebih dari 900 rumah hancur. Kebakaran ini pun telah membuat kualitas air di Sydney sama dengan merokok 37 batang dan menyebabkan 480 juta hewan mati.

Kenaikan suhu yang mencapai 1 derajat Celcius sejak tahun 1910 jadi salah satu penyebab parahnya gelombang panas di Australia. Kenaikan suhu ini pun tak terelakkan di Indonesia. BMKG mencatat suhu udara rata-rata hingga bulan September 2019 mencapai 27,9 derajat Celcius, lebih tinggi dari suhu udara rata-rata normal sebesar 26,94 derajat Celcius.

Dalam skala global sendiri, rata-rata suhu dunia pada 2019 telah mencetak rekor sebagai suhu terpanas sepanjang sejarah sejak 1850. Laporan World Meteorological Organization (WMO) menunjukkan rata-rata suhu global pada 2015-2019 naik sebanyak 1,1 derajat Celcius di atas era pra-industri (1850-1900) dan 0,2 derajat Celcius lebih hangat dari periode 2011-2015.

Jika tidak ada perubahan terhadap aktivitas manusia di bumi, WMO memperkirakan suhu permukaan bumi akan meningkat sebesar 3 derajat Celcius di akhir abad. Padahal, kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius saja akan membuat bencana alam akan lebih parah dan lebih sering terjadi.

Carbon Brief memperkirakan gelombang panas ekstrem akan terjadi 14% lebih sering jika suhu dunia meningkat setinggi 1,5 derajat Celcius. Frekuensi hujan ekstrem juga akan meningkat hingga 17%. Jika suhu meningkat sedikit lebih tinggi dari itu, frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem akan berkali-kali lipat lebih mengkhawatirkan. Peningkatan suhu hingga 3 derajat Celcius juga akan hewan dan tumbuhan punah, termasuk juga sumber makanan manusia.

Lantas, apakah dunia telah bersiap untuk membatasi peningkatan suhu dunia hingga 1,5 derajat Celcius? Nyatanya, jika industri masih terus mengeluarkan emisi gas rumah kaca dan pembakaran hutan masih terus terjadi, kita tak akan ke mana-mana selain diterpa oleh bencana alam yang lebih parah lagi.

Share: Cuaca Ekstrem Pertanda Krisis Iklim