Budaya Pop

Copyleft & Creative Commons, Dua Alternatif Terhadap Hak Cipta

Admin — Asumsi.co

featured image

Satu hal yang agak luput pekan lalu adalah persoalan penghargaan pencipta konten terhadap karya pencipta konten lainnya. Saling unggah, saling repost, dan penggunaan hasil karya orang lain secara serampangan adalah persoalan pelik yang kini mesti kita hadapi bersama. Hak cipta, dengan serangkaian peraturannya yang amat kompleks dan menyeluruh, sebetulnya ada untuk menjadi acuan diskusi semacam ini.

Namun, jauh sebelum selebgram saling tuding akibat pencatutan karya yang sembarang, keterbatasan hak cipta telah diprediksi. Hukum internasional soal hak cipta memang tegas dan rinci, tetapi ia dinilai kurang luwes untuk menghadapi gelombang yang diciptakan internet. Kini, kekhawatiran tersebut terbukti. Bagaimana caranya kita mengaplikasikan logika kaku hak cipta kepada jagad dunia maya saat ini yang penuh dengan meme, dubbing, dan persebaran berita secara viral melalui media sosial?

Bayangkan, misalnya, bila laman meme kesayanganmu mesti minta izin satu per satu kepada pemilik hak cipta gambar yang mereka plesetkan. Ambyar, kan? Atas dasar inilah, sekumpulan ahli legal dan filsuf mulai meramu beberapa alternatif terhadap hak cipta. Lebih tepatnya, mereka membayangkan metode lain yang dapat mengembangkan hak cipta, sekaligus menyesuaikannya untuk era digital di mana penyebaran informasi akan lebih cepat, luwes, dan egaliter.

Pada dekade 1980-an, muncul tawaran pertama: copyleft. Mulanya, nama lisensi ini hanyalah kebalikan dari istilah bahasa Inggris dari hak cipta, yakni copyright. Lisensi tersebut diprakarsai oleh sekumpulan periset dan ilmuwan komputer yang merasa bahwa hukum hak cipta yang ada saat itu akan menghalangi pengembangan piranti lunak komputer.

Sebelumnya, semua hak cipta dipegang oleh pemilik hak cipta. Bila seorang pemrogram bikin piranti lunak yang jenius bukan main, tetapi mereka mengundurkan diri atau putus kontrak dengan perusahaan yang memegang hak cipta atas program tersebut, Stallman dkk tidak berhak melanjutkan kerja mereka. Program brilian tersebut mesti ngendon di gudang perusahaan, tak tersentuh oleh siapapun juga. Panas karena hal ini, pada 1985 seorang pemrogram bernama Richard Stallman merumuskan lisensi copyleft pertama: GNU General Public License.

Kalau kamu memilih menggunakan lisensi copyleft untuk karyamu, maka siapa saja berhak mendistribusikan, menggunakan, atau memodifikasi karya tersebut. Syaratnya satu: hasil karya apapun yang dibikin orang dari karya copyleft kamu harus disebarkan dengan lisensi copyleft pula. Jadi, kalau kamu bikin lagu keren dengan lisensi copyleft, kawanmu boleh me-remix lagumu menjadi karya baru. Tetapi, hasil remix kawanmu itu tidak boleh ditahan dengan hak cipta. Kawanmu juga harus pakai copyleft. Logika inilah yang disebut dengan istilah “share-alike”.

Pada permulaan abad 21, sekumpulan pemikir seperti Lawrence Lessig mengembangkan lebih jauh lisensi copyleft dan menghasilkan lisensi bernama Creative Commons. Apabila copyleft mentok pada persoalan share-alike, Creative Commons lebih kompleks lagi. Karya kamu boleh disebarkan dan dipakai secara luas oleh publik asal siapapun yang memakainya mencantumkan sumber (dikenal dengan istilah atribusi, atau BY). Kamu juga boleh memastikan bahwa karyamu tidak digunakan dalam karya komersil, alias non-commercial atau NC. Kamu boleh memastikan bahwa karyamu hanya bisa disebarkan sebagaimana adanya dan tidak boleh diubah bentuknya, alias non-derivative atau ND. Dan terakhir, kamu bisa memastikan bahwa karyamu disebarkan dengan cara share-alike atau SA.

Semua ini menghasilkan enam jenis lisensi Creative Commons, yang ditulis dengan bentuk rumus yang rumit macam soal matematika. Misalnya CC-BY-SA, di mana karya tersebut boleh disebarluaskan dengan mencantumkan sumber (BY) sekaligus harus dengan lisensi yang persis sama (SA). Atau CC-BY-NC, di mana karya tersebut boleh dipakai secara bebas asal mencantumkan sumber dan tidak untuk kepentingan komersial (NC).

Ribet memang, tetapi intinya begini: dalam lisensi Creative Commons, kamu dapat mempertahankan sebagian hak kamu sebagai pencipta karya untuk memastikan bahwa integritas karyamu terjaga. Karena itulah Creative Commons sering menggunakan istilah “some rights reserved”, alih-alih “all rights reserved” yang banyak dipakai oleh hak cipta.

Lebih jauh lagi, baik copyleft maupun Creative Commons dipersatukan oleh beberapa perkara. Pertama, kepercayaan bahwa informasi semestinya mudah dipergunakan oleh publik, terutama publik yang tidak memiliki sumber daya dan uang untuk mengaksesnya secara legal. Serta kedua, pemahaman bahwa hukum hak cipta, suatu hari nanti, harus dikembangkan lebih jauh.

Untuk memahami kesamaan yang pertama, kamu harus melihat secara seksama konteks di balik dirumuskannya kedua lisensi tersebut. Copyleft, abang dari duet ini, hadir karena sekumpulan pemrogram gerah akibat karya-karya mereka tidak dikembangkan oleh perusahaan komputer yang memegang hak ciptanya. Padahal, menurut mereka, banyak pemrogram lain di tongkrongannya–dan di seluruh penjuru dunia–yang mestinya bisa mengembangkan program tersebut lebih jauh dan memberi manfaat bagi publik secara luas.

Logika ini pun diaplikasikan geng copyleft maupun geng Creative Commons ke ranah-ranah lain. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan akses ke pengetahuan yang lebih layak hanya karena mereka tidak mampu membeli buku secara legal? Berapa banyak pekerja yang boncos karena harus mengeluarkan uang jutaan rupiah demi beli lisensi resmi Microsoft Office? Dalam pemikiran mereka, “bangga beli asli” memang keren. Tetapi tidak semua orang mampu melakukan itu, padahal mereka harusnya juga berhak untuk belajar, berkembang, dan mengakses pengetahuan yang tersebar luas.

Karena itulah copyleft maupun Creative Commons amat dekat dengan dunia pendidikan, teknologi, hingga kesenian. Semuanya adalah ranah di mana mereka merasa hasil karyanya semestinya mudah diakses publik supaya sebanyak mungkin orang dapat menerima manfaat dari hasil karyanya. Sejak awal, logika mereka adalah logika altruistik yang menyangkut ranah-ranah yang erat dengan kepentingan publik. Bukan ranah komersial.

Persoalan lain adalah relasi copyleft dan Creative Commons dengan hak cipta. Mau bagaimanapun juga, Creative Commons hanya dapat ada di dalam lingkup hak cipta. Mereka menjadi tawaran alternatif, tetapi tidak hendak membongkar pasang hak cipta itu sendiri. Dalam situs resmi organisasi Creative Commons internasional, mereka menyebut bahwa Creative Commons “hanyalah patch, perbaikan sementara, bukan perbaikan menyeluruh bagi sistem hak cipta”.

Sasaran sesungguhnya bagi gerakan copyleft maupun Creative Commons adalah reformasi hukum internasional mengenai hak cipta. Bagi mereka, logika kaku “all rights reserved” tak hanya akan kejang-kejang menghadapi terpaan bernama internet. Hukum hak cipta internasional yang masih kaku akan menghalangi publik mengakses informasi dan pengetahuan yang sebetulnya mereka butuhkan hanya karena informasi tersebut dilindungi oleh hak cipta. “Hukum hak cipta harus kembali para fitrahnya,” tulis Timothy Vollmer pada situs Creative Commons. “Yakni memberi ruang dan manfaat bagi partisipasi kreatif yang terbuka dalam masyarakat dan kebudayaan.”

Banyak musisi tenar telah bereksperimen menggunakan lisensi Creative Commons pada karyanya. Musisi internasional seperti Nine Inch Nails dan The Knife telah merilis album dengan lisensi Creative Commons. Sementara di Indonesia, wacana soal Creative Commons sempat ramai pada era 2000-an akhir hingga pertengahan 2010-an dengan menjamurnya netlabel, atau label daring yang menyebarluaskan karyanya dengan lisensi Creative Commons. Musisi independen kawakan seperti Frau, Efek Rumah Kaca, Senyawa, The Upstairs, hingga Adhitia Sofyan pernah merilis album, EP, atau single dengan lisensi Creative Commons di berbagai netlabel.

Tentu tak sedikit kritik yang dilayangkan terhadap copyleft maupun Creative Commons sebagai pengembangannya. Cibiran paling masuk akal adalah bahwa minimnya perlindungan komersial yang ditawarkan Creative Commons akan bikin orang enggan berkarya. Buat apa susah-susah bikin program yang ribet, musik yang butuh dana produksi mahal, atau buku yang njlimet-nya minta ampun, kalau karya tersebut boleh diacak-acak siapa saja tanpa ada jaminan kamu akan dikompensasi dengan uang sepeser pun?

Di sisi lain, sebagian kritikus justru beranggapan bahwa Creative Commons kurang ekstrem. Peretas dan aktivis Mako Hill, misalnya, beranggapan bahwa Creative Commons tidak dapat menjamin bahwa karya yang disematkan dengan lisensi tersebut akan benar-benar bebas, sebab lisensi tersebut tidak termaktub dalam hukum apapun dan tidak diatur oleh organisasi manapun. Memang ada organisasi Creative Commons internasional, tetapi mereka tidak berhak menjadi polisi Creative Commons yang memastikan karya tersebut beneran menaati aturan lisensi tersebut. Kuncinya, tidak ada pusat data yang merekam semua karya dengan lisensi Creative Commons, yang dapat dijadikan acuan misalkan ada perselisihan hukum.

Menariknya, apapun posisi kritikus mengenai Creative Commons, semuanya bersepakat bahwa hukum hak cipta internasional yang ada saat ini perlu dikembangkan untuk beradaptasi dengan tantangan-tantangan baru di era modern. Ketika metode persebaran informasi telah diubah secara drastis oleh internet, tidak masuk akal untuk bersikeras menggunakan hukum yang menjadi relik era analog.

Creative Commons, apalagi copyleft, adalah dua tawaran yang diajukan untuk menjadi titik tolak pengembangan hukum hak cipta. Mereka bukanlah harga mati, melainkan langkah pertama untuk perubahan yang jauh lebih mendasar dan menyeluruh di kemudian hari.

Share: Copyleft & Creative Commons, Dua Alternatif Terhadap Hak Cipta