Isu Terkini

Body-positivity Seharusnya Radikal

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Dari dulu yang selalu gue denger dari orang adalah hal jelek tentang tubuh mereka, akhirnya gue pun terbiasa ngelakuin hal yang sama—mengkritik dan menjelek-jelekkan.”

Aktor film Tara Basro mengunggah foto tubuhnya di Instagram. Ia tidak menyembunyikan stretch marks di paha dan lipatan perutnya. Lewat foto tersebut, ia mengajak orang untuk mencoba mencintai dan percaya dengan diri sendiri. “Andaikan kita lebih terbiasa untuk melihat hal yang baik dan positif, bersyukur dengan apa yang kita miliki dan make the best out of it, daripada fokus dengan apa yang tidak kita miliki,” katanya lewat caption Instagram.

Unggahan Tara Basro dipuji banyak orang. Tak banyak figur publik yang berkenan memamerkan ketidaksempurnaannya ke publik, terlepas dari tubuh manusia yang secara normal bisa berjerawat, punya stretch mark, bergelambir, dan lainnya. “Sesenang itu melihat public figure yang nggak menutup-nutupi lipatan di perut,” kata sebuah akun media sosial.

Tak lama kemudian, muncullah ontran-ontran baru. Sebuah berita memuat pernyataan Kabiro Humas Kominfo Ferdinandus Setu bahwa institusinya akan memeriksa apakah unggahan itu tergolong pornografi–sehingga melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE. Sejumlah media lain menyampaikan ulang berita tersebut dan ramailah orang berpendapat di media sosial.

Kami tak mau membahas urusan itu. Yang jelas, sebagai seorang pesohor, aktivitas dan perilaku Tara dapat memberikan pengaruh besar. Ika Vantiani, seniman yang banyak menyoal isu perempuan, mengatakan ia mengapresiasi langkah Tara untuk menyebarkan kecintaan atas diri sendiri dan body-positivity. “Tara Basro itu seorang aktor, public figure, dan punya pengikut besar sekali. Ini bisa menjadi pesan kepada perempuan bahwa seorang Tara Baso saja bisa struggling untuk mencintai tubuhnya sendiri,” kata Ika kepada Asumsi.co (4/3).

Sebagai perempuan pada umumnya, Tara juga melalui proses panjang untuk dapat mencintai dirinya. “Kalau diperhatikan, banyak yang merespons bahwa, ‘oh, ternyata, Tara juga mengalami hal yang sama sebagai perempuan.’ Menurutku itu effort yang penting dari seorang tokoh seperti Tara Basro,” lanjut Ika.

Body-positivity untuk Siapa?

Hingga saat ini, standar kecantikan perempuan dikonstruksi secara sempit. Perempuan cantik kerap digambarkan sebagai perempuan yang berkulit cerah, bertubuh langsing, berambut lurus, dan tubuh non-disabilitas. Hal ini dilanggengkan dalam iklan produk kecantikan, fashion, media, film, dan budaya-budaya populer lain. Seberapa sering, misalnya, kita melihat perempuan gemuk jadi karakter utama di film? Seberapa sering perempuan berkulit gelap jadi model di produk kecantikan?

Studi Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2019) karya L. Ayu Saraswati menjelaskan alasan di balik obsesi perempuan Indonesia terhadap kulit terang. Konstruksi di balik cantik = berkulit terang telah mengakar lama di Indonesia. Kulit cerah “bagai cahaya rembulan” adalah deskripsi bagi tokoh Sita dalam epik Ramayana. Kulit cerah juga diperkuat oleh kolonialisme Belanda, Jepang, hingga pengaruh budaya populer dari Amerika setelah masa kemerdekaan. Banyaknya produk-produk pencerah kulit yang beredar hingga kini juga ikut melanggengkan itu.

Angela Meadows dalam The Conversation juga memaparkan lelucon, stereotip, dan penggambaran-penggambaran negatif lain tentang orang gemuk di TV, film, hingga kartun membuat orang terbiasa untuk memperlakukan dan memandang orang gemuk secara negatif. Diskriminasi itu tak selalu bersifat agresif seperti memukul atau melecehkan, tetapi bisa jadi dalam bentuk kecil—seperti menggerutu ketika duduk di sebelah orang gemuk di tempat umum, menghakimi orang gemuk yang sedang makan, dan lain-lain.

Menurut Ika, body-positivity seharusnya dapat menyentuh bentuk tubuh yang lebih beragam lagi. “Kalau kita bicara soal tubuh perempuan, di Indonesia, kita masih bilang bahwa tubuh Tara Basro itu bagus. Dan fakta bahwa kamu Tara Basro, kamu bisa melakukan apa saja dan orang akan tetap menyukaimu,” tutur Ika.

“Menurutku, kalau kita bicara soal body-positivity, ini mestinya berlaku juga bagi perempuan-perempuan lain yang tubuhnya tidak seperti Tara Basro. Perempuan-perempuan plus-size, misalnya, yang tubuhnya tidak dianggap ideal,” lanjutnya.

Hal ini juga disepakati oleh Talissa Febra, aktivis gender dan queer.Body-positivity itu seharusnya radikal, karena untuk mencintai diri sendiri di dunia yang benci kita dan dunia yang diuntungkan dari kebencian kita ke diri sendiri itu adalah langkah radikal. Apalagi kalau kamu perempuan atau punya identitas yang termarjinalkan lainnya,” kata Talissa kepada Asumsi.co (4/3).

“Kita harus ingat kalau semua gerakan politik itu harus mengutamakan kelompok yang paling dirugikan dari sistem tersebut. Apa gunanya kalau gerakan ini malah menonjolkan orang-orang yang langsing, cantik sesuai standar?” lanjutnya. Tassa menekankan pentingnya menyerahkan panggung ke pihak-pihak yang memang diopresi dan dipinggirkan. “Sekarang fat-acceptance sudah turun derajat jadi body-positivity, yang malah memprioritaskan orang-orang yang sebenarnya diuntungkan oleh thin privilege.”

Bukan cuma Soal Insecurity

Semakin ke sini, semakin banyak brand yang berusaha untuk mempromosikan body-positivity. Model-model brand terkenal tak lagi sebatas orang berkulit cerah dan berwajah tirus. Dove, misalnya, melakukan kampanye “Dove Campaign for Real Beauty” yang merepresentasikan perempuan dengan berbagai bentuk tubuh sejak 2004. Hal ini kemudian diikuti oleh brand pakaian dalam Aerie yang memamerkan model dengan stretch marks dan selulit. Baru-baru ini, Victoria’s Secret juga melakukan hal serupa.

Baik Dove, Aerie, dan Victoria’s Secret memang memperbaiki permasalahan representasi tubuh di industri fashion dan mengajak pelanggannya untuk mencintai diri sendiri. Namun, sebagai bagian dari industri yang selama ini diuntungkan dari perasaan insecurity atas tubuh, mereka kerap mengabaikan fakta bahwa mereka adalah bagian dari permasalahannya.

Amanda Mull dalam Vox.com berjudul “Body Positivity Is a Scam” mengatakan bahwa representasi yang beragam adalah sebuah standar minimum. Dorongan untuk mencintai tubuh itu pun tidak seharusnya jadi tanggung jawab individu semata.

“Perusahaan-perusahaan ini memanipulasi opini publik dengan meyakinkan kita bahwa permasalahan kita bersifat internal, kemudian kita mengabaikan alasan-alasan riil di balik perasaan tidak nyaman seseorang atas tubuhnya,” ungkap Mull. Mull mencontohkan persoalan medis orang gemuk yang kerap tidak dianggap serius karena berat badan mereka. Begitu juga orang-orang kulit hitam yang kerap jadi target kekerasan aparat.

“Hal yang kita sering lupakan adalah kalau isu tubuh ini nggak cuma personal dan nggak cuma soal insecurity kita saja. Orang dengan kulit gelap sering dikaitkan dengan kotor, kusam, bau, yang kemudian berkontribusi ke lingkaran bias, diskriminasi, dan opresi. Orang yang gemuk dan orang dengan disabilitas seringkali tidak diakomodasi di ruang publik, misalnya kursi transportasi publik yang sempit, tempat dan transportasi publik yang tidak mudah diakses oleh orang dengan disabilitas fisik, dan lain-lain,” tutur Talissa.

Ika Vantiani menekankan bahwa perasaan insecurity atas tubuh adalah hal manusiawi. Ia juga pernah membuat karya bertajuk “I Love My Body, But…” (2017) yang berbicara soal ini. “Aku pernah bikin karya yang mengumpulkan foto-foto dari tahun 1800-an dari berbagai macam bangsa. Itu ilustrasi asli dan beragam yang memperlihatkan bentuk tubuh perempuan dari berbagai macam benua. Aku ingin bicara bahwa walaupun kita setiap hari terekspos terhadap body-positivity, self love, dan lain-lain, tapi tetap kita tidak mengingkari fakta bahwa ada suara di dalam tubuh kita yang kerap mengeluhkan bentuk tubuh kita. Itu sesuatu yang manusiawi. Jadi tidak apa-apa.”

“Tapi jangan sampai insecure itu yang mengendalikan keseluruhan cara kita melihat tubuh kita dan diri kita,” lanjut Ika.

Talissa pun menegaskan bahwa, “yang perlu dieksplor bukan hanya insecurity-nya, tapi kenapa insecurities itu ada.”

Share: Body-positivity Seharusnya Radikal